HAKIKAT dari syariat puasa yang kita jalankan di bulan Ramadan adalah terjadinya perubahan pada diri pelaku puasa, terutama perubahan pada kualitas diri dan kualitas sikap religius yang semakin baik dan semakin sadar.
Kalau kita pernah membaca quoutes dari Ali bin Abi Thalib, “balas dendam terbaik adalah merubah diri menjadi lebih baik”. Maka kalau kita rujuk quoutes ini kaitannya dengan aktivitas puasa di bulan Ramadan, maka Ramadan tahun ini dapat kita jadikan sebagai bentuk balas dendam terbaik dari ketakwaan kita dari tahun-tahun sebelumnya.
Artinya, kita puasakan Ramadan tahun ini dengan sebaik-sebiknya dengan kualitas iman dan takwa yang terbaik, sehingga kualitas diri dan kualitas religius kita meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai upaya peningkatan kualitas ibadah di bulan Ramadan, kita perlu mengingat baik-baik, bahwa ada dua penegasan penting dalam hadis Nabi saw tentang amalan yang dapat membebaskan pelakunya dari dosa yang telah lalu, yakni qama (berdiri salat pada malam hari) dan shama (berpuasa di siang harinya).
Baca juga: Ramadan; Bulan yang Memuliakan
“Man qoma romadhona iimaanan wahtisaban qhufiro lahu maa taqoddama min dzambih“. Barang siapa berdiri (salat-menghidupkan) bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim)
“Man shoma romadhona imanan wahtisaban ghufiro lahu maa taqoddama min dzambih”. Barang siapa yang berpuasa bulan Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari).
Kedua aktivitas Ramadan yang ditegaskan dalam hadis di atas begitu penting untuk diperhatikan dan tegakkan dengan sebaik-baiknya, untuk meraih capaian yang baik selama Ramadan.
Akan tetapi ada satu hadis Nabi saw terkait dengan kualitas puasa yang penting juga kita renungkan, “kam min shoimin laisa lahu min shiyamihi illal ju’u wal ‘athosy ”. Betapa banyak orang puasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.
Mengapa ada statement seperti ini? Kira-kira di mana letak kesalahan pelaksanaan ibadah puasa yang kita jalankan, sehingga ada statement meragukan atau mempertanyakan kualitas ibadah puasa kita dari Nabi saw?
Sebagai otokritik terhadap diri kita masing-masing, bisa jadi selama kita menjalankan puasa, baru mempuasakan yang sifatnya jasadi dari dua unsur yang ada pada kita, yakni jasad dan batin. Kita baru sampai pada puasa dari makan, minum, dan hubungan seksual pada siang hari, belum sampai mempuasakan jiwa atau batin kita.
Setidaknya ada empat penyakit batin yang cukup besar pengaruhnya terhadap hati dan berimbas kepada kualitas iman yang perlu diperhatikan, yakni “pantang kelintasan, pantang kerendahan, pantang kekurangan, dan pantang kekalahan”.
Pantang kelintasan artinya tidak mau diatasi oleh orang lain; selalu hendak disanjung (lebih unggul). Tidak rela rasanya di dalam hati untuk berada di posisi bawah, selalu ingin di posisi atas, karena merasa lebih senior, merasa lebih pantas, dan merasa lebih bisa dibanding yang lain. Jika ada yang terlihat lebih unggul dari dirinya, atau ada orang yang berusaha mengungguli dirinya, dia merasa sakit hati, merasa tidak pantas dan tidak sopan.
Pantang kelintasan ini akan melahirkan rasa congkak, angkuh, dan sombong, oleh karena kita tidak rela disalip oleh orang lain dalam segala hal, sehingga kita berusaha memperlihatkan diri lebih dari siapa pun.
Pantang kerendahan, tidak mau berada di bawah, selalu mau disanjung, dijunjung tinggi. Sikap ini melahirkan penyakit jiwa yang tidak mau mengalah dalam segala hal, baik dalam berpendapat, dalam diskusi, dalam interaksi sosial, dalam menjalankan tugas di tempat kerja. Intinya sikap ini membuat pelakunya tidak mau diposisikan di bawah dalam segala hal dan dalam segala posisi.
Pantang kekurangan, tidak menerima kekurangan dan kelemahan diri, selalu merasa bisa dan selalu merasa lebih baik. Sikap ini sesungguhnya menandakan kita bahwa kita belum faham terhadap diri kita sendiri, belum mengerti kualitas diri kita sendiri, sehingga kita tidak rela rasanya apabila kurang dari siapa saja, kita selalu merasa lebih, kita selalu merasa hebat dan kita selalu merasa lebih tinggi dari siapa pun dalam segala hal.
Pantang kekalahan, tidak mau disalahkan dan dikalahkan, selalu ingin menang dalam segala hal. Sikap ini akan membawa kita kepada pribadi yang keras kepala, tidak mau mengalah, tidak mau berdamai. Inginnya kita selalu terdepan dalam segala situasi, kita tidak rela melihat orang lain sukses, tidak mau mendengar ada capaian orang lain lebih dari capaian kita.
Keempat penyakit tersebut, kata Prof Imam Suprayogo dalam kajian Musyawarah Jam’iyatul Islamiyah secara virtual ialah peyakit dasar pada manusia yang mengganggu kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah, sehingga membuat pelakunya menjadi orang yang sombong, orang yang merusak, dan orang yang pendendam.
Jenis penyakit dasar itulah yang penting untuk kita puasakan di samping mempuasakan yang sifatnya jasadi, menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual di siang hari.
Baca juga: Jilbabisasi Bulan Ramadan
Bentuk balas dendam ketakwaan di bulan Ramadan ini adalah bagaimana kita berusaha berpuasa dzahir dengan tingkatan tidak hanya awam, bahkan harus sampai ke tingkat khawasyul khawasy. Kemudian dilengkapi dengan upaya mengikis sedikit-demi sedikit pengaruh dari empat penyakit dasar yang menjangkit di dalam hati.
Maka penting bagi kita untuk berusaha mempuasakan dua unsur yang membentuk kualitas diri manusia yakni mempuasakan unsur dzahir dan sekaligus unsur batin. Dengan demikian, maka janji Allah untuk memperoleh ketakwaan dan janji Rasul untuk mendapatkan kesehatan sebagai capaian puasa akan dapat kita raih.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram