Dari Prasangka menuju Setara dalam Beragama

KARENA pengaruh pendidikan agama  sejak dini, terutama  di lingkungan sekolah dan masyarakat,  dulu  saya cenderung memandang negatif pada agama lain. Kurang lebih sama dengan penilaian kita tentang suku lain. Saya memandang bahwa selain agama yang saya anut pasti buruk, sesat, dan pasti masuk neraka.

Secara normatif,  berbagai dalil keagamaan jelas mengonfirmasi hal  itu. Bukan hanya  itu, semua agama di luar agama saya adalah musuh. Meski ada penganut agama lain bersikap baik terhadap saya tapi itu hanyalah modus belaka. Itu sandiwara. Mereka tidak benar-benar tulus. Mereka adalah musuh tuhan saya dan otomatis musuh  saya. 

Sebagai  musuh, mereka tetap menyimpan kebencian dan sewaktu-waktu hendak menghancurkan agama dan kaum saya.  Khususnya agama-agama misi seperti Katholik dan Protestan, permusuhan mereka terhadap agama saya  sangat nyata.

Berbagai cara mereka lakukan  agar pihak saya pindah keyakinan, sejak dari cara halus berupa pemberian bantuan, mendirikan sekolah,  rumah sakit, dan panti asuhan hingga yang kasar seperti gerakan pemurtadan maupun modus pernikahan beda agama.

Pada 1990, ketika  saya masih SMA, berkali-kali saya mengirim surat dan  mengingatkan kakak perempuan saya yang merantau di Jakarta agar waspada terhadap modus ini. Saya mewanti-wanti  agar jangan sampai menjalin hubungan dan berjodoh dengan pemuda dari agama lain.

Mereka juga  suka cari gara-gara dan tidak tahu diri sebagai minoritas. Mendirikan rumah ibadah saja suka provokatif. Kebaktian mereka menjengkelkan, berisik, dan mengganggu kenyamanan kami yang muslim. Waktu kuliah, ketika saya berkunjung dan terpaksa salat Magrib di  kos teman di Jalan Baji Ati, Makassar, saya kesal sekali mendengar koor (ketua) mereka yang sedang kebaktian di gereja dekat situ.

Saya memaki-maki mereka karena waktu ibadahnya  bersamaan waktunya dengan salat saya. Saya anggap itu kesengajaan. Apa susahnya sih menggeser jadwal kebaktian hingga tidak bersamaan dengan waktu salat Magrib kami?

Belum  lagi mereka suka makan babi dan anjing—binatang yang najisnya kategori super berat (mughalladhah) dalam agama saya. Kalau saya berdekatan dengan mereka, aroma tubuh mereka aneh bahkan menjijikan. Itu efek karena mereka mengonsumsi aneka binatang haram itu.

Mereka seperti kanibal: pemakan segala—tidak seperti agama saya yang hanya membolehkan menyembelih dan memakan binatang yang higenis dan terpilih seperti kambing dan  kerbau. Sebaliknya, jadi tambah terlihat aneh jika binatang yang jelas bagus dan baik seperti sapi justru dianggap tuhan dan haram disembelih, sebagaimana dalam kepercayaan umat Hindu. Sapi kok dianggap tuhan. Tuhan kok bisa disembelih.  Lucu kan?

Baca Juga  Cara Sebuah Masyarakat "Bersahabat" dengan Konflik

Agama mereka juga  tak punya syariat seindah agama saya. Mereka tak disunat, cara hidupnya tidak  teratur. Tidak ada syariat tentang thoharah (bersuci) misalnya mandi junub, istinja dan lain-lain. Meski terlihat rapi, cantik,  dan modis waktu berangkat ke gereja, tapi wajah mereka tampak kusam karena tidak pernah tersiram wudhu.

Pun, kendati  hidup mereka kaya dan  glamour di dunia,  namun  di akhirat mereka bakal sengsara abadi. Wajah cantik dan rupawan itu akan gosong dalam neraka. Orang-orang kafir itu, sebagaimana nubuwat kitab suci saya, malah dijadikan sebagai kayu api neraka. Saya kasihan dengan mereka.  

Baca juga: Konflik Palestina-Israel, Dialog Agama dan Citra Yahudi

Hingga  semester awal kuliah, saya meyakini betul berbagai konspirasi jahat di atas, apalagi diperkuat beberapa nubuwat kitab suci. Maka, semakin menyalalah kebencian saya kepada mereka yang berkeyakinan berbeda. Saya juga benci dengan sikap kepura-puraan umat agama lain yang  SKSD  alias  sok kenal sok dekat.

Pengaruh Bacaan dan Perubahan Sikap 

Pada saat yang sama, saya juga doyan membaca buku-buku polemis dan apologis tentang perbandingan agama. Tujuannya adalah untuk mendapatkan konfirmasi  dan  mengukuhkan klaim kebenaran agama saya  tadi. Saya senang membaca beberapa buku berisi pengakuan mualaf akan kebenaran Islam dan  sebaliknya, saya puas jika penulisnya mencela kesesatan agama lamanya.

Saya  membaca  beberapa judul buku sejenis seperti “Mengapa Aku Memilih Islam” atau  liputan di majalah Islam tentang tokoh tertentu yang akhirnya kembali ke pangkuan Islam. Istilah populernya, mereka yang telah mendapatkan hidayah. Biasanya, jika ada tokoh yang melakukan konversi agama akan mendapatkan liputan luas media (Islam).

Banyak orang penasaran dengan perjalanan rohani yang bersangkutan. Saya pernah mendapatkan foto copy buku  (kalau tak salah) berjudul “Dialog Islam Kristen tentang Status Ketuhanan Yesus”. Buku itu berisi debat seru seorang kiai  yang menguasai kristologi dengan seorang pendeta. Debat terbuka itu konon disaksikan oleh pengikut kedua agama masing-masing dan berlangsung beberapa hari.

Terjadi jual-beli serangan dan jawaban. Kedua kubu saling beradu argumentasi dan dalil, termasuk menunjukkan sejumlah kontradiksi dan kerancuan dalam agama lawan sembari memamerkan kelebihan dan keunggulan agama sendiri. 

Ibarat  duel  McReggor dan Khabib—dua petarung tinju bebas kelas dunia—pak kiai dan pendeta itu saling mengunci kelemahan lawan guna memetik poin. Caranya menghantam argumentasi lawan dan menunjukkan kerancuan logika, keyakinan dan isi kitab suci lawan dengan mengambil  atau mengutip  bagian tertentu dari kitab suci lawan tersebut.

Saya juga membaca  profil singkat Ahmed  Deedat, seorang kristolog kondang dari Afrika Selatan, serta belakangan kristolog  muda  lainnya  di Indonesia dengan nama kurang lebih sama:  Abu Deedat. Tentu saja paling fenomenal adalah menonton beberapa debat teologis Zakir Naik dengan beberapa lawannya.

Baca Juga  Tirakat dengan Al-Qur'an: Pengalaman Seorang Santri

Dalam konteks ilmiah, tentu tidak ada yang salah dengan debat dan polemik semacam itu. Boleh jadi itu akan menambah kemantapan akidah penganut agama bersangkutan. Tetapi belakangan saya sudah tidak menggemari debat semacam itu.

Kini fokus saya bergeser kepada bagaimana agama-agama di dunia saling bekerja sama untuk kemanusiaan maupun mengatasi krisis global seperti penghentian dan konflik antar negara, krisis ekologi, berpartisipasi dalam  isu HAM dan demokrasi, penguatan isu gender dan kaum marjinal, kelompok minoritas dan lainnya.

Saya juga merasa semakin tidak punya waktu lagi untuk mengotak-atik  kelemahan agama lain atau mempersoalkan kesesatan kitab sucinya karena mengamalkan ajaran agama sendiri saja saya  kewalahan. Begitu pun dengan membongkar kesesatan manhaj sejumlah kelompok dan sekte dalam  Islam sendiri: Ahmadiyah, Syiah, Salafi dan lainnya. Karena itu  tindakan negara—atas desakan otoritas keagamaan mainstream seperti MUI— yang terlalu jauh mengurusi wilayah privat keyakinan warganya melalui narasi ‘penyesatan’ sungguh kontraproduktif.

Baca juga: Menilik Sisi Lain Agama

Begitu pun  tindakan-tindakan pribadi saya kini, seperti beribadah dan melakukan kebajikan,  tidak  lagi  melulu bertumpu pada  moralitas ajaran agama yang saya anut,  tetapi  didasarkan pada spirit  moralitas yang lebih luas—semangat kemanusiaan dan spiritualitas yang lebih universal.

Saya tidak  lagi berpikir tentang pahala dan ancaman atau surga dan neraka. Kesalehan pribadi dan sosial  saya lebih untuk mengekspresikan rasa syukur dan terima kasih  atas karunia Tuhan atas  hidup saya. Dengan cara pandang seperti itu saya mendapati diri saya setara dengan mereka yang ‘lain’.

Dan sebaliknya, kesetaraan itu membuat saya tidak punya waktu lagi untuk  membenci dan memusuhi mereka. Untuk apa? Seperti  kata Bunda Theresa dari Calcuta, India,  “If  you judge people, you have no time to love them”![]

Ilustrasi: Depositphotos.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *