PERSOALAN mental health akhirnya jadi masalah yang diketengahkan dalam diskursus publik akhir-akhir ini. Problem ini menyasar kaum muda umumnya. Cakupan mental health memang cukup luas dan mendalam, tapi kesadaran kita masih sangat jauh – untuk tidak mengatakannya ogah – akan “penyakit” mental umumnya.
Perhatian kita akan kesehatan mental masih sangat minim, kita seolah-olah menormalisasi keadaan tersebut dengan beragam alasan yang sebenarnya artifisial belaka. Tanpa sadar, bahwa kesehatan mental memang perlu dan harus kita perhatikan dengan baik.
Resistensi ini terjadi, mungkin saja, karena upaya normalisasi tersebut erat kaitannya dengan wacana kuasa dan narasi dominan dari kebudayaan yang sudah mapan. Bahwa, jika terjadi problem mental bisa dijustifikasi dengan “kegilaan”.
Prasangka pejoratif ini berkembang seiring narasi kultural kita yang sangat dominan di lembaga pendidikan, agama, dan masyarakat dengan diskursus terkait kenakalan remaja, dekadensi moral anak muda, hingga training-training menjadi orang tua yang baik dan benar tanpa diberengi kesadaran persoalan mental lebih jauh.
Baca juga: Ke Mana Arah Pendidikan Kita?
Beberapa hari lalu, di salah satu kampus Islam negeri di Yogyakarta, terjadi aksi “bunuh diri” mahasiswa di salah satu fasilitas kampus. Menurut beberapa temannya, sebelumnya, dalam media sosialnya, ia mengungkapkan kekecewaannya karena ditinggal pergi oleh pacarnya. Kemudian ia meluapkan problem tersebut dengan meloncat dari fasilitas kampus tersebut. Hingga akhirnya, ia meninggal dunia.
Pertanyaannya? Sejauh mana, pendidikan kita menyasar problem-problem subtil terkait kesehatan mental yang dialami mahasiswanya. Jelas, problem tersebut tidak hanya dialami oleh seorang mahasiswa tersebut, mungkin saja dialami oleh sebagian mahasiswa dan civitas akademika di berbagai kampus, atau kamu juga yang sedang membaca tulisan ini.
Entah karena masalah dengan pacarnya, ekonominya, cuan-nya, akademiknya, atau yang lebih jauh relasi dengan temannya yang lain dalam skala yang lebih luas, dengan kehidupannya yang lebih kompleks yang dilibatinya dalam masyarakat.
Jelas, hal ini harus bisa dijawab oleh pendidikan kita dengan segala upayanya. Faktanya, pendidikan kita masih berkutat pada masalah-masalah penyediaan fasilitas, infrastruktur, atau layanan-layanan. Hal itu bisa dilihat dari kampus tempat anak di atas melakukan upaya “bunuh diri”. Walau sudah ada berbagai infrastruktur yang “ramah” difabel dan fasilitas berbagai layanan lain untuk mengakomodasi problem-problem mahasiswanya.
Hal tersebut bukanlah jaminan bahwa kampus tersebut sudah peka dan memperhatikan masalah-masalah yang dialami civitas akademikanya. Infrastruktur tanpa dibarengi dengan sense of wise pada masalah kejiwaan dan mental seperti mesin tanpa pelumas atau tubuh tanpa roh.
Oleh karena itu, kepekaan dunia pendidikan akan hadirnya isu dan problem-problem baru yang dihadapi civitas akademikanya maupun masyarakat luas harus menjadi perhatian serius oleh pengampu kebijakan pendidikan. Jangan sampai korban-korban baru hadir lagi.
Lebih jauh dari itu, penulis melihat adanya kecenderungan dunia pendidikan kita melihat problem mental sama dengan problem hati. Akhirnya problem tersebut dijawab dengan kegiatan bengkel hati, siraman kalbu, atau kegiatan dan kurikulum meningkatkan daya hati dan kepekaan sosial untuk menjawab problem sosial masyarakat. Padahal, secara lebih luas, kita dapat melihat bahwa problem mental lebih mendalam daripada problem hati yang paling jauh kita bahasakan dengan “penyakit hati” itu.
Jika persepsi kita pada problem mental sudah keliru sejak awal, tidak mengherankan lagi, jika problem mental ini tidak menjadi perhatian utama dalam wacana pendidikan kita. Oleh karena itu, dengan semakin menguatnya isu mental health ini, dunia pendidikan kita juga harus semakin sadar, peduli, dan responsif atas beberapa masalah yang menimpa civitas akademikanya.
Memang, isu mental health ini menemukan trigger-nya saat pandemi lalu. Mungkin saja karena semua orang stres akibat tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Karena semua aktivitas di-lockdown oleh pemerintah. Dengan begitu, keadaan culture shock tak bisa dihindari. Sialnya, keadaan-keadaan tersebut belum siap untuk kita hadapi dan terima.
Jadi, dalam dimensi yang lain, problem mental ini menjadi jawaban atas ketidaksiapan kita dalam menerima realitas baru yang dihadapi dan potensi-potensi akan situasi buruk yang tidak kita harapkan. Mungkin saja, keadaan tersebut juga dialami oleh si mahasiswa di atas.
Kalau sudah begini gambaran, situasi, dan keadaan pendidikan kita, tak ada cara lain untuk terus melakukan pembenahan dan perbaikan sistem dan muatan pendidikan yang tidak hanya ramah pada difabel (inklusif) tapi juga ramah bagi kesehatan mental.
Baca juga: Wacana Lain Pendidikan Karakter di Indonesia
Catatan lain yang harus diperhatikan ialah tidak adanya fasilitas konseling bagi civitas akademika yang harusnya menjadi kewajiban bagi dunia pendidikan. Fasilitas-fasilitas konseling, sekarang masih hanya berhenti pada Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di bidang itu atau praktik-praktik lain hasil inisiatif personalia civitas akademika.
Dengan begitu, kelihatannya memang masih banyak PR bagi dunia pendidikan kita untuk terus berbenah dari waktu ke waktu.
Selain itu, di sinilah, perlunya agama yang lebih responsif pada keadaan dan situasi itu (kulli zaman wa makan). Dan momen Ramadan, selain memperbaiki hati, kita juga harus memperbaiki mental dan problem-problem kehidupan lain yang mungkin saja masih tertinggal sebelum Ramadan lalu.
Dan seperti umumnya khutbah di bulan Ramadan, saat Idulfitri nanti, kita terlahir kembali sebagai manusia fitri yang meninggalkan segala bentuk problem mental dan kesehatan jiwa yang lebih kondusif.[]
Ilustrasi: Texas Public Radio.
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe