Sekolah Liar dalam Bungkus Tusuk Gigi

Baru-baru ini, Seno Gumira Ajidarma (SGA) menyampaikan pidato kebudayaan bertajuk Sekolah Liar, Mengapa Tidak? dalam gelaran Jogja Art+Book Fest 2023. Pidato tersebut disampaikan bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Dalam pidato tersebut, SGA merefleksikan perjalanan panjang perihal Sekolah Liar yang harus diakui serentang-seperjalanan dengan hikayat perjuangan republik ini. Wacana Sekolah Liar yang dalam bahasa hari ini disebut sekolah swasta, ialah sebagai bentuk wacana tanding atas sekolah-sekolah bikinan kaum kolonial.

Tersebutlah seorang tokoh bernama Ki Hajar Dewantara, dalam pergulatan dan perjuangannya mendirikan Taman Siswa sebagai wacana tanding dan bentuk “perlawanan diam-diam” – meminjam terjemahan HB Jassin sebagaimana disampaikan SGA – atas dominasi sekolah kolonial yang disebutnya sebagai sekolah yang tidak mengembangkan badan dan pikiran, serta menghalangi terwujudnya masyarakat sosial.

Sekolah kolonial dipandang hanya semata-mata memberikan surat diploma yang berguna untuk menjadikan kaum pribumi sebagai “buruh”. Namun, hal itu digemari oleh para priyai dan kaum borjuis masa itu.

Selain itu, munculnya Sekolah Liar pada waktu itu, dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang dialami oleh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh oleh kaum kolonial selain memangkas anggaran pendidikan dan gaji para guru cum cendekiawan. Sehingga mereka banyak membentuk Sekolah Liar yang terpapar “politik dan ideologi” yang mengakibatkan kebijakan “Ordonansi Sekolah Liar”.

Jelas, Ki Hajar Dewantara juga mengakui bahwa banyak Sekolah Liar bukan hanya sebagai gerakan pendidikan. Karena sudah banyak tercampur dengan gerakan politik, banyak Sekolah Liar akhirnya dimaksudkan sebagai pengganti nafkah akibat krisis moneter Belanda.

Ki Hajar Dewantara menyebut sekolah seperti itu sebagai “rumah perniagaan atau toko” karena hanya bermaksud untuk menjual ilmu yang guru-gurunya menjadi “tukang dagang intelek”.

Pertanyaan besar SGA, apakah sekolah dan semangat pendidikan nasional kita sekarang sudah bebas dari semangat pendidikan kolonial? Inilah yang membuat penulis “resah”. Apa iya kita semangat pendidikan kita memang masih terbelenggu sisa-sisa pendidikan kolonial, atau sudah sebaliknya: pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan itu.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan mengajak pembaca melihat kembali pidato kebudayaan SGA di Dewan Kesenian Jakarta 2019 berjudul Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi.  

Baca Juga  PPI: Politik Parokial “Indonesebagian”

Pesan utama yang ingin disampaikan SGA dalam pidato tersebut ialah apa yang disebut kebenaran dalam kehidupan dan kebudayaan hanyalah tergantung wacana dominan dan hegemoni. Dengan mengambil bungkus tusuk gigi sebagai bahan analisis, SGA berkesimpulan, bahwa bungkus tusuk gigi sama-sama bisa memiliki kebenarannya masing-masing secara denotatif, konotatif, atau campuran keduanya.

Kemudian, bagaimana dengan Sekolah Liar atau sekolah swasta pada sistem pendidikan nasional kita hari ini. Apakah kehadiran mereka bisa diartikan secara denotatif, konotatif atau campuran keduanya dengan beragam alasan-alasan dan visi-misi yang mengitarinya?

Kehadiran sekolah swasta secara denotatif atau makna sebenarnya jelas merupakan kegelisahan dan kesadaran untuk turun tangan. Atau bisa juga menjadi “tawaran alternatif” dalam pendidikan nasional yang menjemukkan.

Pertama, sekolah swasta dengan makna denotatif ini bisa kita lihat dengan beragam sekolah-sekolah dan metode pembelajaran yang mereka gunakan. Sebut saja Akademi Salam di Yogyakarta, Taman Siswa, Sokola Rimba dan masih banyak lagi. Praktik-praktik sekolah yang membebaskan dan memberdayakan masih bisa kita lihat dari sekolah-sekolah tersebut.

Sekolah di atas ialah sekolah “yang lain”. Lain secara kurikulum dan sistem pengajaran. Inilah yang penulis maksud sebagai sekolah swasta secara denotatif. Sekolah yang masih menjadi “taman bermain” bukan hanya sebagai “rumah perniagaan”.

Seperti kredo SGA, bahwa kehadiran Sekolah Liar perlu, bukan untuk meruntuhkan sendi-sendi pendidikan nasional, tapi untuk menebus kesalahannya. Dan sekolah-sekolah di atas, penulis kira, masih setia dengan jalan untuk menebus kesalahan-kesalahan itu.

Kedua, sekolah swasta dengan makna konotatif. Yakni sekolah-sekolah swasta yang dibangun tapi tidak menampilkan tampilan sebagai sekolah yang membebaskan dan menyadarkan tadi. Sekolah-sekolah konotatif ini kelihatannya masih melanggengkan semangat pendidikan kolonial. Ditambah, dengan keahlian warga Indonesia hari ini dengan membangun sekolah yang SPP-nya bisa digunakan untuk naik haji itu.

Sekolah swasta dalam makna konotatif tampil dengan bungkus-bungkus yang menakjukkan. Dengan beragam jargon dan visi misi “habis sekolah langsung kerja” atau “selesai belajar langsung kaya”.

Lain dari itu, sekolah swasta konotatif hanya menjadi alat “pengecer ilmu”. Di mana, banyak dibangun sekolah tapi tidak jelas ijazahnya atau yang sering terjadi ialah legalitas sekolahnya belum ada tapi siswa dan mahasiswanya sudah diwajibkan untuk membayar sekolah. Luar biasa bukan? Kerja-kerja sekolah swasta konotatif ini.

Baca Juga  Statuta Roma; Harapan untuk Keadilan Internasional

Dan kelihatannya, pendidikan nasional kita masih berkutat pada makna konotatif ini. Dengan melanggengkan pendidikan gaya lama dengan bungkus baru. Atau mengembangkan sekolah dengan beragam prasyarat dan yang menundukkan juga “mematikan”.

Ketiga, sekolah swasta denotatif-konotatif. Sekolah swasta jenis ini ialah sekolah-sekolah dengan semangat denotatif, tapi pada waktu yang sama masih mencari keuntungan lewat praktik-praktik sekolah konotatif.

Jauh dari itu, seperti kata SGA, bahwa ketika setiap versi denotasi alias makna sebenarnya, yang secara kontradiktif dapat pula disebut versi kebenaran ini terhadirkan, karena ternyata setiap usaha menyampaikan denotasi merupakan konotasi pula.

Oleh karena itu, setiap wacana sekolah swasta versi denotatif yang kita usahakan hadir dan memberi energi untuk pendidikan kita, tetap saja kalah dan dikalahkan oleh sekolah swasta versi konotatif.

Mengapa demikian? Maaf, sekali lagi penulis kutip SGA, segenap artikulasi atas ideologi masing-masing hanyalah menghasilkan pertarungan konotasi. Apa yang kemudian tersahihkan sebagai denotasi atau makna sebenarnya, tiada lain tiada bukan adalah konotasi yang paling dominan, yang paling hegemonik, yang paling berkuasa.

Dengan demikian, semangat pendidikan kita hanya semangat sekolah atau pendidikan konotatif seperti tergambar di atas. Bukan karena disengaja, tapi itulah wacana dominan yang menguasai pendidikan kita.

Keadaan demikian menjadi bukti bahwa kita belum keluar dari kubangan kolonialisme menuju semangat pasca kolonialisme. Mungkin saja dan tentu kita berharap bahwa sekolah-sekolah dengan makna denotatif di atas harus tetap ada dan dilanjutkan. Entah sebagai wacana tanding, perlawanan, penebusan kesalahan, jalan alternatif atau apa pun namanya.

Pendidikan pembebasan Paulo Freire atau intelektual organik Gramci atau pendidikan versi Ki Hajar Dewantara muda, mungkin bisa kita usahakan hadir lagi dalam wacana pendidikan nasional ke depan. Supaya hegemoni pendidikan konotatif tidaklah menjadi tunggal dan involusi pendidikan tidak terjadi.[]

Ilustrasi: Pulau Imajinasi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *