INI tentang sebuah desa/kelurahan (selanjutnya desa) yang mulai menunjukkan tanda-tanda keberagaman yang berimplikasi pada perubahan sosial. Hal ini, berdasar pengamatan sebagai “orang dalam” yang hidup di desa tersebut. Sekali lagi, masih berdasarkan pengamatan.
Cerita tersebut datang dari masyarakat di kaki Gunung Londa, Sambina’E, Kota Bima. Desa ini unik. Selain berada di kaki gunung, juga berada di pinggir pantai. Jaraknya hanya sepelemparan bom molotov anak SMP yang tawuran dari bibir pantai. Walau bisa dikatakan “di sudut” kota, tapi desa tersebut merupakan jalur lalu lintas nasional.
Kondisi geografi tersebut, jelas, menjadi salah satu bagian penting yang mempengaruhi sosial-budaya masyarakatnya. Selain itu, komunikasi dan kesadaran hidup bersama untuk tidak berkonflik dengan entitas baru menjadi kelebihan desa ini. Fakta sosial ini menjadi angin segara bagi para tamu yang datang dan pergi untuk menjadikannya “rumah”.
Selain itu, budaya massa pacoa jara yang salah satu arenanya berada di desa ini, membuat masyarakat terlatih untuk menerima dan adaptif dengan tamu luar yang menghabiskan waktu di desa tersebut.
Dalam tulisannya tentang Sejarah Pedesaan dalam buku Metodologi Sejarah (2003), Kuntowijoyo mengingatkan bahwa perubahan sosial yang terjadi di desa sering kali disebabkan penetrasi ekonomi uang pada kelompok-kelompok sosial desa.
Lebih lanjut, penetrasi modal/kapital juga sedikit banyak mempengaruhinya. Adanya pembangunan kawasan Ama Hami di barat dan pengembangan kawasan pendidikan di utara tak bisa disangkal juga berimplikasi pada desa ini.
Fakta-fakta sosial di atas ialah bagian kecil dari perkembangan desa ini. Yang ingin di-highlight dalam tulisan ini ialah bagaimana kehidupan keagamaan (Islam) desa tersebut. Apakah juga mengalami pergeseran, perubahan, penerimaan atau munculnya otoritas baru yang didukung oleh fakta sosial tersebut.
Rumah Ibadah dan Penanda Keragaman
Walau berada di pinggir pantai, masyarakat Sambina’E mayoritas hidup dalam kultur agraris. Mereka banyak menyandarkan hidup sebagai petani dan peladang. Sependek yang saya ketahui, jarang (tidak ada) yang menjadi nelayan.
Oleh karena itu, kultur keagamaan yang berkembang di desa ini tradisionalis. Kultur ini bisa dijumpai dalam praktik keagamaan masyarakatnya. Rumah ibadah (masjid) terbesar di desa ini digerakkan oleh tokoh-tokoh tradisionalis. Salah satunya H. Mansur, jelas kultur keagamaan di desa ini banyak mengikuti otoritas agama yang ada.
Dalam tulisan Terbitnya Guru Kampung, Abdul Wahid menyitir bahwa corak keilmuan yang dibawa oleh H. Mansur secara genuin berasal dari Pesantren Tebuireng, Jombang dan H. Mansur memiliki yunior bernama Husain dan Hasan yang melanjutkan kultur tradisional masjid tersebut sampai hari ini.
Dalam praktik salat tarawih misalnya, masjid ini melaksanakan salat 23 rakaat. Selain itu, praktik-praktik dalam penghormatan kematian banyak dilaksanakan di desa ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara umum masyarakat desa ini mempraktikkan keagamaan tradisionalis khas ormas NU yang mungkin mulai dari H. Mansur yang berlanjut ke murid-muridnya.
Lalu bagaimana dengan corak keagamaan yang lebih modernis? Di sinilah rumah ibadah (musala) bermain. Walau tidak secara spesifik mengklaim dirinya sebagai kelompok modernis, namun salah satu musala yang dibangun di desa ini ialah wakaf dari seorang saudagar kaya desa, namanya H. Karim yang kelak salah satu putranya pernah mencalonkan diri sebagai anggora DPRD lewat Partai PAN yang dikenal sebagai partainya “orang-orang Muhammadiyah”.
Dalam salat tarawih misalnya, musala ini memang hanya melaksanakan salat 8 rakaat. Mungkin saja ada “garis” ideologis dari sang muwaqif atau hanya tuntutan realitas masyarakat dan jamaah musala tersebut. Tetapi yang jelas, ada garis pembeda yang tradisionalis dan modernis. Selain itu, jika dilihat lebih spesifik, pembedaan ini merupakan sebuah kearifan dan keberterimaan bahwa otoritas keagamaan yang berperan dan berpengaruh di desa ini juga beragam.
Lebih jauh lagi, dengan penetrasi ekonomi dan pembangunan pemukiman baru, komunitas masyarakat baru juga muncul dan membangun musala sendiri untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Masyarakat ini cenderung lebih modernis-puritan. Di mana, jamaahnya banyak merupakan kelas menengah kota yang sehari-harinya bekerja sebagai ASN atau pedagang.
Dalam praktik salat tarawih misalnya, mereka tetap melaksanakan salat 8 rakaat, namun dalam kesehariannya simbol-simbol keagamaan begitu tampak dalam kelompok masyarakat ini. Misalnya, bercelana cingkrang dan berjenggot panjang bagi laki-laki dan yang perempuan bisanya banyak menggunakan jubah panjang.
Sebagai masyarakat yang terbiasa dengan tamu dan dengan didukung oleh penetrasi ekonomi untuk membuka pemukiman baru di desa ini. Baru-baru ini, komunitas jamaah tabligh mulai membuka pemukiman baru di ujung barat desa ini. Mereka bahkan membangun masjid sendiri hasil swadaya dan bantuan dari pemerintah daerah.
Kelompok masyarakat ini biasanya dapat dilihat dari cara berpakaian yang sangat simbolis dengan sorban hujai yang dililitkan di kepala dan jubah panjang dengan minyak wangi yang khas (Arab) jika kita dalam satu shaf dengan mereka. Selain itu, yang paling menonjol yang ditampakannya ialah celana cingkrang dan jenggot panjangnya.
Gambaran sebuah umat di atas sebenarnya gambaran pengamatan saja. Namun, sebagai bangunan yang “men-sahkan” beragam ekspresi dan simbol-simbol yang mereka tampilkan selalu bermuara pada rumah ibadah masing-masing. Rumah ibadah selalu menjadi tempat yang strategis untuk mereka dan tidak bisa dilepaskan dari pola pergerakan dan agensi yang ditonjolkan.
Oleh karena itu, rumah ibadah menjadi rentan dengan muatan-muatan ideologis-kultural-politis dari umatnya. Namun, keberagaman dan keberagamaan yang menjadi hak setiap orang harus terus dijaga di dalam setiap rumah ibadah.
Modus Kebersamaan
Sebagai suatu masyarakat yang hidup bersama, desa ini selalu menunjukkan kebersamaannya dalam setiap ritus ibadah yang dijalankannya. Seolah-olah tidak ada fragmentasi umat yang kaku berdasar ideologi-kultural-politis yang diekspresikan lewat rumah ibadah, simbol, hingga jaringan ormas dan kelompok keagamaan.
Hal itu ditunjukkan dalam pelaksanaan salat Jumat. Sebagai sebuah entitas desa dan sebagai masjid bercorak tradisionalis yang paling awal berdiri di desa ini, mau tidak mau masyarakat melaksanakan salat Jumat di masjid tersebut. Tentu saja, dengan rule of the game-nya masjid tersebut.
Sejauh ini, belum ada konflik dan riak-riak kecil karena aturan main salat Jumat masjid tersebut. Mungkin juga, keberterimaan ini merupakan sebuah penghormatan atas umat mayoritas dan masjid yang paling awal dibangun.
Lain dari itu, mungkin saja memang masyarakat tersebut masih mengalami transisi dan ideologi dan fragmentasi kelompoknya belum terlalu kuat. Dengan demikian, mereka masih menerima begitu saja dominasi kelompok awal keagamaan dari desa tersebut.
Atau memang, karakter masyarakatnya yang tidak terlalu mencintai perbedaan pendapat dan konflik sehingga mereka menerima semua unsur yang datang dari luar diri mereka berdasar pengalaman hidup sehari-hari untuk bertukar ruang hidup, mobilitas sosial, dan keberterimaan mereka soal arus yang membawa perubahan tidaklah signifikan selama dinding rumah ibadahnya masih kokoh.
Menarik untuk dicermati, ke mana dan ke arah mana desa ini akan berubah. Sejauh mana daya kosmopolit sebuah desa bertahan atau akan ada resistensi dan gejolak dengan munculnya generasi baru dalam desa tersebut.
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe