“Orang Terlahir Tidak Tahu, Bukan Bodoh. Pendidikan Menjadikannya Bodoh”
(Bertrand Russell)
TULISAN ini tidak bermaksud menyaingi buku yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit karya Eko Prasetyo, namun lebih kepada refleksi atas apa yang akhir-akhir ini penulis alami dalam keseharian. Mari kita mulai dari asumsi dasar bahwa hanya orang cerdas yang boleh berbohong dan orang bodoh selalu gagal untuk berbohong.
Namun sebelum itu, kita musti sepakat terhadap definisi dasar dari dua konsep yang disepakati dan diproduksi dunia pendidikan selama ini yaitu konsep bodoh dan pintar. Bodoh sendiri dalam KBBI Online berarti tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya). Bodoh sendiri adalah stigma yang lahir dari lingkungan pendidikan untuk membedakan peserta didik yang belum tahu, sedangkan orang pintar adalah orang yang lebih tahu duluan.
Kalau besok pagi ada mata pelajaran geografi, lalu kemudian malam ini saya belajar melalui buku pelajaran, sedangkan kawan-kawan yang lain sibuk bermain game dan nongkrong. Maka ketika besok paginya ibu guru bertanya siapa yang bisa menjawab pertanyaan dan satu-satunya yang bisa menjawab adalah saya sendiri. Maka identitas pintar dilekatkan kepada saya yang hanya karena saya lebih tahu duluan dari pada siswa-siswa lainnya.
Berangkat dari fenomena pendidikan inilah, stigma bodoh “belum tahu” terhadap suatu data, informasi, pengetahuan dan ilmu pengetahuan melegitimasi masyarakat untuk menjustifikasi seseorang di sekitarnya menjadi orang yang bodoh atau orang yang pintar.
Orang bodoh tidak akan bisa berbohong karena ia tidak memiliki modal pengetahuan, ia hanya akan bisa berasumsi, mengarang cerita atau bahkan menebak-nebak sesuatu karena ketidaktahuannya tersebut.
Menyampaikan sesuatu yang ia tidak ketahui kebenaran pastinya merupakan kesalahan “misinformasi”. Sedangkan orang pintar akan dikatakan berbohong jika modal pengetahuan yang ia miliki tidak disampaikan dengan benar, namun malah menyampaikan informasi atau pengetahuan yang tidak benar dari apa yang ia ketahui. Berbeda ketika ia keliru dalam menyampaikan sesuatu. Tidak disebut pembohong karena dia hanya keliru/khilaf/error. Lantas apa yang kita sebut kebenaran? Mari kita lihat dari tiga teori kebenaran.
Pertama, teori kebenaran koherensi menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan pertama dengan pernyataan selanjutnya koheren. Seorang siswa meminta ijin kepada orangtuanya untuk ikut acara study tour ke luar kota. Orang tua siswa tersebut menanyakan dengan siapa saja pergi dalam acara tersebut. Siswa tersebut menjawab bahwa dia akan pergi bersama guru dan teman kelasnya.
Siswa kemudian menjelaskan bahwa acara study tour akan mengunjungi berbagai tempat bersejarah dan budaya di daerah tersebut serta bertemu dengan masyarakat lokal untuk memperdalam pemahaman tentang kebudayaan setempat dan setiap siswa diberikan tugas untuk bertanya oleh guru kelas.
Dalam hal ini, teori kebenaran koherensi dapat diterapkan di mana pernyataan pertama (“saya ingin ikut study tour bersama guru dan teman kelasnya”) koheren dengan pernyataan selanjutnya (“acara study tour akan mengunjungi berbagai tempat bersejarah dan budaya di daerah tersebut serta bertemu dengan masyarakat lokal untuk memperdalam pemahaman tentang kebudayaan setempat dan setiap siswa diberikan tugas untuk bertanya oleh guru kelas “).
Oleh karena itu, pernyataan siswa tersebut dianggap benar berdasarkan teori kebenaran koherensi. Berbeda halnya kalau seorang kawan paginya menyatakan A, siangnya bilang B dan sorenya bahkan menyatakan C. Maka ini disebut tidak koheren.
Kedua, teori kebenaran korespondensi menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika dapat sesuai dengan kenyataan atau realitas. Seorang anak pergi ke dapur untuk mengambil buah apel dari mangkuk di atas meja. Setelah sampai di dapur, dia melihat bahwa mangkuk tersebut kosong. Kemudian dia berkata kepada ibunya, “Mangkuk apel kosong”.
Pernyataan ini dianggap benar berdasarkan teori kebenaran korespondensi karena sesuai dengan kenyataan atau realitas di mana mangkuk apel memang benar-benar kosong saat itu. Oleh karena itu, pernyataan tersebut dianggap benar berdasarkan teori kebenaran korespondensi. Berbeda dengan kawan yang “bilang ijin saya tidak bisa datang karena hujan”, padahal kenyataanya sedang tidak hujan.
Ketiga, teori kebenaran falsifikasi menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya. Meragukan klaim kebenaran melalui proses pengujian atau uji coba yang terus-menerus dan terbuka terhadap kemungkinan adanya kesalahan atau ketidakbenaran. Seorang produsen makanan mengklaim bahwa produk barunya dapat mengurangi berat badan.
Namun, klaim tersebut tidak didukung oleh bukti ilmiah atau data yang dapat membuktikan kebenarannya. Untuk memastikan kebenaran klaim tersebut, produk tersebut diuji melalui uji coba klinis oleh lembaga riset independen yang terpercaya.
Setelah melalui pengujian yang ketat dan terbuka, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa produk tersebut tidak memiliki efek signifikan pada penurunan berat badan. Dengan demikian, klaim produsen tersebut dapat dianggap tidak benar atau salah, sesuai dengan teori kebenaran falsifikasi.
Orang bodoh tidak memiliki kemampuan untuk menjaga konsistensi kebohongannya. Karena ia cenderung ceroboh untuk merubah-rubah informasi maka mereka yang dibohongi akan mudah mengetahui kebohongan tersebut.
Berkata jujur apa adanya tidak memerlukan kepintaran dan kecerdasan apa pun. Berbeda dengan orang yang berniat untuk berbohong, ia harus memenuhi prasyarat semisal kesadaran penuh menjaga konsistensi pernyataanya, mengatur bahasa dan body language yang tepat, serta kecerdasan dalam berkilah atau mengalihkan pembicaraan.
Lagi-lagi berbohong membutuhkan skill dan pengetahuan multidisipliner untuk mengelabui lawan bicara dan itu hanya dimiliki oleh orang-orang cerdas. Orang cerdas banyak yang pura-pura bodoh, dan hanya orang bodoh yang seringkali ketahuan berbohong. Orang cerdas yang ketahuan berbohong adalah orang bodoh yang belum tahu cara terbaru untuk berbohong.[]
Ilustrasi: PWMU.co
Penulis buku Runtuhnya Karisma Tuan Guru, Sasak Siap, Bagaimana dan Mau Ke mana?, pembelajar dan penggiat sosial