Musik dan Lagu Jalanan Kita yang Mulai Berubah

JIKA Anda pengguna transportasi umum untuk bepergian antar kota atau antar provinsi, tentu suara Tommy J Pisa tak asing lagi di telinga Anda. Suara khas yang menemani perjalanan siswa, mahasiswa, buruh hingga sopir truk untuk sekadar menghilangkan kantuk saat berkendara.

Tommy J Pisa seakan menjadi garda terdepan untuk menghibur rakyat dengan selera musik pop yang rapi dan teratur, ditambah bait-bait lagu yang mengesankan laki-laki sebagai pejuang asmara dan (rupiah). Namun, yang dalam kurung itu lebih bisa diwakili Demi Kau dan Si Buah Hati-nya Pance Pondaag.

Selain bertema perjuangan asmara, jika ditilik jauh lagi, beberapa lagu-lagu Tommy J Pisa selalu menyebut tempat dan orientasi geografis. Entah suasana batas kota, pelabuhan dan dermaga, mungkin lirik-lirik ini juga yang menjadikan lagu-lagu Tommy J Pisa akrab di telinga para pariah dan pekerja kota.

Mereka seakan terwakili oleh lirik-lirik Tommy dan merasa seolah itulah “suara” kami yang lain. Suara bahwa di jalanan memang tempat kami bekerja, tapi itu adalah bukti bahwa mereka sedang memperjuangkan asmara dan kesetiaan untuk kekasih dan pasangannya.

Jelas, jarak dan perpisahan bukanlah alasan untuk kalah dalam percintaan. Tommy selalu menyuarakan pentingnya berjuang untuk mempertahankan “ngeyelnya” rasa yang pernah tumbuh itu. Lagu-lagu pop yang dinyanyikan oleh Tommy – sebagaimana meminjam istilah Mahfud Ikhwan – ialah pop cengeng. Lagu-lagu bertema khas tersebut menguasai jagat telinga masyarakat Indonesia tahun 90-an.

Namun, yang menarik perhatian ialah, lagu-lagu cengeng seperti itu, masih saja setia di telinga kita. Entah dalam bus, menemani tidur, atau memang didengarkan khusus dalam suasana hati tertentu. Sebagaimana lagu Kerispatih, ia tak lekang oleh waktu.

Sebagaimana Mahfud Ikhwan dalam tulisannya Ke Mana Pergi Penggemar Rinto, Pance, dan Obbie (Jawa Pos, 10/6/2023) yang menilai bahwa penggemar pop cengeng ala Rinto, Pance, Obbie, dan Tommy bertransformasi menggemari lagu-lagu Sobat Ambyar-nya Didi Kempot, “Kertonyono Ninggal Janji” dan lainnya yang sangat kental Njawani. Padahal lagu-lagu pop cengeng abad lalu sangat kental nuansa melayu seperti dalam lirik-lirik Tommy J Pisa.

Baca Juga  Membincang Tradisi Intelektual di Kalangan NU

Jelas, fenomena musik di atas sudah mengalami pergeseran orientasi dan massa pendengar. Namun, yang tidak bisa kita lupakan ialah nuansa kultural yang selalu menyertai “kecengengan” manusia perihal hati dan cinta yang sedang tidak baik-baik saja. Mungkin saja, Tommy menilai, selalu ada jalan kembali untuk melihat dunia cinta yang baik dengan melampiaskannya dalam dunia kultural via tempat dan kondisi geografis.

Selain bertransformasi ke arah Sobat Ambyar, menurut saya, lagu-lagu pop cengeng juga sebenarnya terselip dalam belantara lagu-lagu populer yang dinyanyikan Once. Jika kita “peka” sedikit mendengar lagu-lagu Once, sulit untuk mengatakan lagu-lagunya bukan pop cengeng. Tentu seperti yang saya nyatakan sebelumnya, dengan sedikit transformasi.

Lebih jauh lagi, eksistensi musik pop cengeng ini, makin ke sini makin diminati kawula muda. Jelas, bukan versi Rinto, Pance, Obbie, atau Tommy tapi versi yang lebih baru yang dinyanyikan penyanyi generasi baru yang lebih segar dengan musik khas penyanyinya yang sedikit menghilangkan “beban kultural” tertentu seperti Tulus, Dere, atau yang terbaru Komang-nya Rahim La Ode.

Kalau kini musik pop cengeng versi lama itu di bus-bus kota, bemo, dan kendaraan umum. Lain halnya, dengan pop cengeng versi baru yang diputar di kafe yang menemani mahasiswa mengerjakan tugas kuliahnya atau kelas menengah kota.

Yang perlu diingat juga ialah pop cengeng akan tetap ada, selama jarak dan waktu hadir dalam hubungan yang tak menentu antar dua manusia, atau pop cengeng akan tetap hadir dalam hati yang gelisah menunggu jawaban sang pujaan hati. Pop cengeng akan tetap dinikmati oleh jiwa yang membutuhkan pelampiasan.

Untuk sekadar mengingatkan, pop cengeng juga bisa saja hilang ditelan kuasa jenis musik lain, seiring perubahan orientasi musik nasional dan minimnya pendengar dan regenerasi pelantunnya. Seperti nasib musik dangdut yang kian redup. Redup oleh awan hitam dan hegemoni musik pop yang seiring mengikuti arah kultural pendengarnya.

Baca Juga  Menelisik Lebih Jauh Makna HAM dalam Islam

Jenis musik lain yang kini banyak dilirik juga ialah musik jazz. Lihat saja, penetrasi musik-musik jazz yang kini sudah mulai menunjukkan gayanya dalam panggung musik tanah air. Jazz kini bukan hanya dinilai sebagai musinya “orang cerdas dan elite” tapi bisa juga dinikmati kalangan yang di luar pakem umum tersebut.

Penetrasi tersebut jelas melalui perangkat-perangkat kebudayaan juga, panggung jazz megah banyak dibangun di kota-kota seperti Prambanan Jazz yang tidak pernah sepi itu.

***

Fenomena ini bisa kita gambarkan, bahwa musik sebagaimana produk kebudayaan lain, pasti dan akan terus mengikuti ke arah mana perasaan pendengar terwakili oleh lirik-lirik lagu yang dinyanyikan.

Tidak bisa kita sangsikan, hal kecil dalam kebudayaan ialah perhatian dan peminggiran dari negara juga bisa menjadi faktor lain dari keberterimaan dan resistensi publik akan musik. Negara selalu memiliki peran – sekecil apa pun – dalam menentukan arah dan dunia permusikkan kita. Dan itu sah-sah saja. Dunia musik ialah dunia yang kompleks, bisa jadi pelampiasan, bisa juga menjadi kenikmatan yang membuai juga menyeru perlawanan kultural yang garang.[]

 

Ilustrasi: Bobo.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *