ORANG yang baik tentu condong untuk melakukan kebaikan, di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan yang bagaimanapun, pasti berhasrat untuk melakukan kebaikan. Di dalam hati orang-orang baik itu seakan-akan ada getaran yang mendorong aksinya untuk melakukan kebaikan, tanpa memikirkan imbalan apa pun dan tendensi apa pun. Yang pasti orang-orang baik itu akan merasakan kepuasan tatkala dapat melakukan kebaikan.
Begitu besarnya dorongan untuk melakukan kebaikan di setiap hembusan nafasnya, orang baik biasanya tidak membuang-buang kesempatan dengan berpikir atau menimbang maupun kompromi dalam urusan kebaikan. Jika sudah ada kesempatan untuk berbuat baik, maka dia akan bersegera melakukannya.
Orang-orang baik biasanya menganut prinsip, kesempatan untuk dapat melakukan kebaikan itu tidak datang dua kali, maka tidak boleh menunda-nunda dan mengulur-ulur waktu dan kesempatan untuk menunaikannya.
Memiliki prinsip untuk tidak menunda-nunda dalam melakukan kebaikan adalah sesuatu hal yang positif dan terpuji, akan tetapi dalam tataran tertentu, yakni ketika kebaikan menurut ukuran syariat itu berhadapan dengan sisi-sisi kemanusiaan dan kemakhlukan, maka proses menimbang dan memperhitungkan sisi manfaat dan mafsadat penting dikedepankan.
Membangun fasilitas keagamaan yang mentereng dan mahal di lingkungan masyarakat miskin misalnya, perlu ditimbang kemanfaatannya—dengan menggunakan sebagian dana untuk mendirikan bangunan yang sederhana saja dan sebagian dananya lagi untuk membantu pengentasan kemiskinan.
Perjalanan umrah untuk kesekian kalinya di kala masyarakat sekitar membutuuhkan fasilitas untuk kesehatan dan keamanan, perlu diperhitungkan—dengan menimbang besar dan kecilnya manfaat dari perjalanan umrah dibanding membantu terwujudnya fasilitas kemanusiaan.
Membiayai acara seremonial dengan dana yang besar di tengah-tengah keawaman masyarakat muslim tentang ajaran dan syariat agama, perlu dipikirkan—dengan menimbang sisi manfaat antara membiayai pelaksanaan acara seremonial atau membiayai guru yang dapat mengajarkan masyarakat tentang benar salah dari sisi hukum agama.
Tamasya spiritual atau mengadakan rihlah di saat terjadinya keterpurukan ekonomi masyarakat, perlu dipertimbangkan—dengan melihat sisi manfaat antara tamasya atau rihlah dibandingkan dengan memberi sedekah kepada saudara-saudara kita yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi.
Semua gejala di atas pasti akan kita alami dalam kehidupan kita, dan sebagai orang baik-baik, sebaiknya tidak buru-buru mengeksekusi dirinya untuk melakukan kebaikan sebelum terlebih dahulu menimbang-nimbang dan memperhitungkan matang-matang sisi manfaat dan mafsadat.
Proses menimbang dan memperhitungkan manfaat dalam menunaikan jenis amalan baik apa pun adalah bagian dari upaya mengaudit diri sendiri secara syar’iyah. Sekalipun semua yang akan kita lakukan mengandung unsur kebaikan dan kebenaran, akan tetapi sisi kemanusiaan dan kemanfaatan perlu diperhatikan. “Khairunnas anfa’ahum linnaas”. Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia yang lain. Demikian petutur Nabi dalam sabda beliau.
Audit syar’iyah merupakan salah satu cara untuk menjaga dan memastikan integritas diri dalam menjalankan prinsip syariah, berdasarkan pemahaman sekaligus kepatuhan diri terhadap prinsip dan aturan syariah yang mengandung nilai kemaslahatan dan kemanfaatan.
Tuhan memilihkan iktibar dalam satu firman-Nya di dalam surah al Baqarah ayat 216 terkait dengan pentingnya kita mengaudit diri secara syar’iyah sebelum memutuskan untuk melakukan suatu kebaikan. ”Kutiba ‘alaikumul-qitālu wa huwa kur-hul lakum, wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn”.
Terjemahannya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Untuk menutup catatan Kolom Hikmah ini, mari kita simak satu kisah menarik dari seseorang yang sukses mengaudit dirinya terkait dengan perbuatan baik yang ia akan lakukan: Dikisahkan pada suatu waktu, ketika sedang melaksanakan ibadah haji, Abdullah bin Mubarak tertidur di Masjidil Haram. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit. Kemudian satu dari dua malaikat itu berkata, “Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini?”.
“Enam ratus ribu,” jawab malaikat yang satunya. “Berapa banyak yang diterima?” tanya malaikat itu kembali. “Tidak ada seorang pun yang diterima. Akan tetapi, ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq. Di mana, dia tidak dapat berhaji, namun menerima pahala berhaji, sehingga semua yang haji pada tahun ini diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq itu,” jawab malaikat tersebut.
Setelah mendengar percakapannya dari kedua malaikat itu, maka Abdullah bin Mubarak terbangunlah dari tidurnya. Dengan rasa penasaran yang tinggi, ia berangkat ke Damsyik untuk mencari orang yang bernama Muwaffaq itu.
Setibanya di rumah Muwaffaq, Abdullah lalu mengetuk pintu rumahnya dan mengucap salam. Kemudian tak lama setelahnya, keluar seorang lelaki yang diketahui bernama Muwaffaq itu. “Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?” tanya Abdullah bin Mubarak kepada Muwaffaq.
“Tadinya aku hendak berhaji, tetapi tidak dapat melakukannya, karena satu kondisi tertentu yang aku alami. Aku mendapat uang tiga ratus dirham dari pekerjaanku membuat dan menampal sepatu. Kemudian aku berniat untuk menunaikan haji pada tahun ini, sedangkan istriku lagi hamil. Maka suatu hari, istriku mencium bau makanan dari rumah tetanggaku dan ingin makanan itu, maka aku pergi ke rumah tetanggaku dan menyampaikan tujuan ku kepada tetanggaku itu.
Tetanggaku berkata sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari tidak mendapat makanan, karena itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba aku menemukan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong sebagian dan aku bawa pulang untuk aku masak, maka makanan ini halal bagi kami dan haram untuk kamu”.
“Kemudian, setelah mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil uang tiga ratus dirham. Kuserahkan uang itu kepada tetanggaku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam tanggungannya itu,” kata Muwaffaq.
“Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku,” kata Muwaffaq menambahkan.
Apa yang dilakukan oleh Muwaffaq dan balasan yang diterimanya yang diurai dalam kisah di atas, salah satu bukti betapa Tuhan sangat memihak kepada hamba-Nya yang mendahulukan audit diri secara syar’iyah sebelum melakukan kebaikan.
Tuhan maha mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang sudah melakukan aksi kebaikan dan lupa mengaudit dirinya secara syar’iyah, kata Gus Baha’, itulah sebabnya Tuhan menganjurkan istigfar bukan saja bagi hamba-Nya yang berbuat salah, namun juga bagi hamba-Nya yang berbuat baik tanpa melakukan audit syar’iyah.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram