TUHAN telah membekali kita satu potensi diri yang bernama volume naluriah sebagai kelengkapan dari kesempurnaan makhluk yang kejadiannya membuat Tuhan sangat bangga (surat al-Mukminun ayat 14) di mana di penghujung ayat tersebut Tuhan menyatakan kebanggaannya setelah penciptaan manusia itu selesai, dengan untaian kalimat indah “fatabārakallāhu aḥsanul-khāliqīn”. Terjemahannya: Maka Maha sucilah Tuhan, Pencipta Yang Paling Baik.
Volume naluriah sebagai satu potensi yang tidak dimiliki makhluk lain maksudnya di dalam diri ini ada semacam dorongan primer yang berfungsi menghadirkan keinginan atau ketertarikan pada berbagai macam hal dan menjadi kebutuhan atau keinginan yang harus dipenuhi—dan keinginan itu bisa berganti-ganti atau bertambah-tambah.
Misalnya, kebutuhan akan makan dikenal adanya istilah seribu mata lauk yang bisa dinikmati secara berganti-ganti dari satu lauk ke lauk yang lain, kebutuhan berpakaian yang melatari adanya berbagai macam model dan warna pakaian yang bisa dipakai berganti-ganti dari satu model ke model yang lain, adanya keinginan merenovasi model rumah yang melahirkan kekuatan imajinasi para desainer bangunan dengan berbagai modelnya, adanya kebutuhan berkendaraan yang melahirkan berbagai macam inovasi merek dan tipe kendaraan guna merangsang keinginan untuk mengganti-ganti kendaraan, dan banyak lagi beraneka macam rupa material yang menghidupkan hasrat dan respons volume naluriah.
Memahami velume naluriah tersebut seperti diuraikan secara singkat di atas, idealnya tidak harus terlayani secara bebas dalam kehidupan kita, karena dia hanya salah satu dari sekian banyak potensi yang Tuhan anugerahkan, dan semua potensi itu harus dikendalikan, termasuk potensi volume naluriah, agar tidak terjebak pada kehidupan yang tergadai oleh keinginan dan kemauan memenuhi tuntutan kebutuhan yang berganti-ganti.
Sebagai contoh, bagaimana manusia yang tergadai hidupnya dengan volume naluriah; Timbulnya rasa enggan untuk menjalankan amaliah sosial—dikarenakan masih merasakan banyaknya kebutuhan lain yang harus dipenuhi saat itu juga, merasakan ketidaknyamanan di ruang-ruang silaturahmi—dikarenakan harus melayani dan memenuhi poin-poin kebutuhan lain yang terasa sangat mendesak, merasa berat untuk melangkah menuju ruang-ruang kemanusiaan dan kemasyarakatan—dikarenakan merasa dihantui oleh adanya item-item kebutuhan diri yang segera dipenuhi.
Dalam tataran praktik beragama juga kadang kita merasakan bahwa volume naluriah itu sering menggoda ambisi kita dalam memenuhi hasrat religius, misalnya, tatkala kita jarang sekali bisa hadir di tengah-tengah shaf salat wajib setiap waktu—hal ini sering terjadi dikarenakan oleh keharusan memenuhi beberapa jenis kebutuhan lainnya, tidak merasa khidmat menikmati kesempatan untuk duduk berlama-lama di tengah-tengah majelis taklim—dikarenakan adanya keinginan lain berupa keharusan untuk memenuhi tagihan kebutuhan lainnya, berat rasanya berbagi di jalan Tuhan—dikarenakan adanya rasa khawatir tidak dapat memenuhi hasrat dari kebutuhan diri yang lain, dan masih banyak gejala-gejala lain yang diakibatkan oleh dorongan volume naluriah.
Ternyata volume naluriah yang semakin tak terkendalikan, bukan akan membuat kita menjadi pribadi unggul di tengah-tengah makhluk lain, akan tetapi malah akan membuat diri ini seperti orang yang nampak kekurangan—yang membutuhkan banyak hal, padahal hidup yang kita lakoni sebagai pribadi unggul mestinya sebagaimana orang yang berkecukupan—merasa banyak hal yang sudah tidak kita butuhkan dalam hidup ini.
Sepertinya kita harus sering-sering membaca diri terkait dengan volume naluriah, apakah diri ini termasuk orang yang berkecukupan ataukah orang masih berkekurangan? Jika kita masih memiliki kemauan dan hasrat yang tinggi untuk menginginkan banyak kebutuhan, maka sudah dapat dipastikan bahwa kita sesungguhnya sedang berkekurangan, sebaliknya apabila kita mampu menahan hasrat diri dengan cara memposisikan diri pada banyak hal yang sudah tidak kita butuhkan lagi, maka kita sesungguhnya sudah berada pada posisi sebagai orang yang sedang berkecukupan.
Penting kita sadari bahwa kedamaian dan ketenangan dalam hidup ini sesungguhnya didapatkan dari seberapa kuat dan mampu diri ini untuk mengendalikan volume naluriah dari keinginannya kepada banyak hal, karena menuruti keinginan volume naluriah tak akan ada batasnya selama kita terus menerus meladeninya. Al-Qur’an sudah memberikan isyarat yang tegas, bahwa dengan adanya potensi berupa volume naluriah pada manusia, maka manusia itu tak pernah akan menemukan finishing dari keinginan hidupnya.
“al-hākumut-takāṡur. ḥattā zurtumul-maqābir”. Terjemahannya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Artinya bermegah-megah dalam ayat di atas merupakan istilah lain dari keinginan-keinginan yang lahir dari potensi volume naluriah, yang apabila tidak terkendalikan akan menggeret kita menjadi manusia yang tidak bisa mengontrol diri untuk mengatakan tidak kepada banyaknya tuntutan kebutuhan dan keinginan.
Bahkan salah satu cendekiawan muslim, Prof. Komaruddin Hidayat, pernah menyatakan dalam salah satu bukunya,”bahwa manusia itu enggan (kalau kita tak nyaman mengatakan takut) menghadapi kematian, itu disebabkan oleh karena keinginannya untuk memenuhi tuntutan kebutuhannya jauh lebih panjang daripada umurnya”.
Sebagai akhir dari goresan hikmah ini, marilah kita takar dan timbang hasrat diri yang lahir dari volume naluriah, agar kita bisa mengendalikan diri dari keinginan pada banyak hal. Ingatlah bahwa hidup berkecukupan itu apabila kita merasa banyak hal yang tidak kita butuhkan dan hidup berkekurangan itu apabila masih membutuhkan banyak hal. []

Dosen UIN Mataram