Antara Hukum Tuhan dan Hukum Sosial

KATA orang bijak, “hidup ini rangkaian dari pilihan-pilihan”. Untuk menggapai keseimbangan dalam hidup ini, kita harus pandai menjatuhkan pilihan yang tepat, tentunya dengan berbagai pertimbangan dan perhitungan yang cermat. Kecermatan itu hanya bisa dijalankan oleh orang-orang yang memposisikan pikiran dan hatinya dalam kondisi yang tenang, yang dingin, dan adem.

Dalam kapasitas manusia sebagai zoon politicon, kata Aristoteles, ia merupakan makhluk yang dikodratkan untuk senantiasa bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama, makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan tidak bisa hidup sendiri, dan pastinya akan sering berkomunikasi dan bertransaksi dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam situasi sosial, tak sedikit dari kita-kita yang sering mengalami pergeseran rasa (sense of) terutama tatkala bersentuhan dengan orang-orang. Di sinilah kita memerlukan keakuratan dalam menimbang dan menghitung jenis respons dan pilihan seperti apa yang tepat untuk kita kedepankan, karena pada setiap pemilihan jenis respons, akan berdampak pada sikap hidup yang kita jalankan, minimal kita akan berada di antara dua posisi, apakah pada sikap hidup dengan standar hukum sosial ataukah sikap hidup dengan standar hukum Tuhan.

Apabila kita menerima perlakuan dari orang-orang yang ada di sekitar kita yang tak sesuai ekspektasi, lalu perlakuan itu kita balas dengan sikap yang sama dengan yang kita terima, maka pada saat itu secara tak sadar bahwa kita telah memilih sikap hidup dengan hukum sosial, akan tetapi kalau kita berusaha membalas perlakuan yang tak pantas itu dengan sikap yang biasa-biasa saja atau bahkan membalasnya dengan perlakuan yang baik, maka pada saat itu kita telah memilih sikap hidup dengan hukum Tuhan.

Jika satu saat kita menerima pesan singkat atau Short Message Service (SMS) dengan diksi bahasa yang kurang sopan, kurang pantas, atau tidak menyenangkan dari siapa saja, kemudian kita membalasnya dengan pilihan diksi bahasa yang senada, maka pada saat itu kita sedang memilih sikap hidup dengan hukum sosial, akan tetapi apabila kita membalas dengan biasa-biasa saja apalagi dengan pilihan diksi bahasa yang lebih santun dan lebih pantas, maka saat itu kita telah memilih sikap hidup dengan hukum Tuhan.

Baca Juga  Respons Positif terhadap Ajakan Kebaikan

Tatkala kita tersindir dengan perkataan dan sikap orang-orang yang berada di sekitar kita, lalu sindiran itu kita timpali dengan kalimat atau perilaku yang sama atau bahkan lebih jelek, maka saat itu kita telah mengambil tindakan atau memilih sikap hidup dengan hukum sosial, akan tetapi apabila kita membalas sindiran itu dengan biasa-biasa saja atau malah merespons dengan perkataan yang menyejukkan dan sikap yang santun, maka kita sesungguhnya telah memilih sikap hidup dengan hukum Tuhan.    

Seandainya di tengah perjalanan saat kita bepergian tiba-tiba mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari orang-orang yang sama-sama sebagai pengguna jalan, kemudian kita secara spontan membalas dengan perlakuan yang sama atau malah lebih kasar, maka secara tidak sadar kita telah memilih sikap hidup dengan hukum sosial, akan tetapi jika perlakuan orang-orang itu kita balas dengan respons yang biasa-biasa atau bahkan berusaha memahami betapa kerasnya kehidupan di jalanan, maka pada saat itu kita telah memilih untuk bersikap dengan hukum Tuhan.

Apa yang diurai dari pengalaman hidup di atas, hendaknya menjadi bahan perenungan agar tidak salah memilih respons atas omongan, sikap, dan perilaku yang kita terima dari orang-orang. Ali bin Abi Thalib dalam salah satu nukilan kalimat bijaknya mengatakan, “balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu menjadi lebih baik”. Artinya membalas keburukan tidak harus dengan keburukan yang serupa, akan tetapi membalas keburukan dengan kebaikan akan lebih bermanfaat bagi diri sendiri. Orang bijak mengatakan, “jika kamu digigit anjing, maka janganlah kamu membalas dengan menggigit anjing tersebut”.

Apa yang dinukilkan dari kalimat bijak di atas sejalan dengan perangai yang dicontohkan Nabi saw kepada kita sebagai umatnya, sebagaimana penegasan syariat yang dibawanya seperti di dalam al-Qur’an surah al Mukminun ayat 96, “Idfa’ billatī hiya aḥsanus-sayyi`ah, naḥnu a’lamu bimā yaṣifụn”. Terjemahannya: Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.

Baca Juga  Gus Ulil: Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad (Sebuah Jalan Tengah dalam Berakidah)

Jadi penting untuk kita sadari bahwa memilih berbuat kebaikan pada situasi kehidupan yang tidak baik adalah jalan ketuhanan, dan bersikukuh pada pilihan memberi respons yang tidak baik pada situasi kehidupan  yang tidak baik bukanlah jalan ketuhanan. Ulama bijak merangkai pernyataan penuh hikmah, “kejahatan dibalas kejahatan adalah dendam, kebaikan dibalas kejahatan adalah kehinaan, dan kejahatan dibalas kebaikan adalah kemuliaan”.

Marilah kita membaca sikap dan respons kita pada setiap situasi dan keadaan, apabila kita merespons kebaikan dengan kebaikan dan merespons kejahatan dengan kejahatan, berarti kita bertindak dengan hukum sosial. Akan tetapi apabila kita merespons kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik atau merespons kejahatan dengan kebaikan, berarti kita bersikap dengan hukum Tuhan. Dan yakinlah bahwa memilih sikap hidup dengan hukum Tuhan jauh lebih damai daripada memilih sikap hidup dengan hukum sosial.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *