TUHAN yang begitu agung dan mulia kedudukannya, yang tidak memiliki ketergantungan pada siapa pun dan pada apa pun, yang tidak ada sekutu baginya dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun wewenang. Dia satu-satunya zat yang memiliki kesempurnaan dengan dirinya sendiri, tak perlu apa pun dan tak butuh siapa pun untuk menjadikan dirinya sempurna.
Tatkala hamba-Nya yang bernama Muhammad saw dinobatkan menjadi utusan-Nya di bumi, Tuhan yang begitu tinggi dan mulia kedudukannya itu berselawat kepada baginda Rasul saw, “innallāha wa malā`ikatahụ yuṣallụna ‘alan-nabiyy”. Sesungguhnya Tuhan dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. (Qs. al-Ahzab ayat 56).
Dari sekian perintah yang dititahkan Tuhan untuk dikerjakan oleh hamba-Nya, hanya perintah berselawat sebagai satu-satunya perintah yang Tuhan langsung nyatakan bahwa Dirinya juga memberikan selawat kepada Nabi saw. Artinya Tuhan Yang Maha Tinggi kedudukannya dibanding Nabi saw, menyatakan cinta-Nya kepada beliau dengan berselawat, lalu kita sebagai seorang hamba yang kedudukannya jauh di bawah Nabi saw, akankah merasa pantas untuk menyatakan cinta dan penghargaan kepada Nabi saw hanya dengan berselawat? Mestinya luapan dan ungkapan cinta kita kepada Nabi saw harus melebihi apa yang dinyatakan Tuhan.
Coba kita membaca diri terkait aksi cinta yang kita nyatakan kepada sesama manusia (baca: kekasih), untuk membuktikan kecintaan itu, sungguh kita melakukan apa saja, mulai dari aksi yang rasional hingga aksi yang irasional, malahan terkadang melakukan aksi yang melampaui batas standar kemanusiaan. Bahkan terhadap diri sendiri saja tidak pernah melakukan aksi yang menyerupai aksi cinta terhadap kekasih.
Berikut cuplikan aksi cinta kepada kekasih dari ringkasan kisah Qais dan Laila dalam buku Laila Majnun sebagai gambaran aksi yang tidak membutuhkan rasionalisasi, “Wahai Laila, cinta telah membuatku lemah tak berdaya. Seperti anak yang hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki apa-apa. Mereka mengatakan aku telah tersesat. Wahai, mana mungkin cinta menyesatkan. Jiwa mereka sebenarnya yang kering, laksana dedaunan diterpa panas mentari siang. Bagiku cinta adalah keindahan yang membuat mata tak bisa terpejam. Pemuda mana yang bisa selamat dari api cinta?”
Setelah kita membaca diri terkait aksi cinta kepada kekasih seperti cuplikan singkat dari aksi Qais dan Laila di atas, lalu kita renungkan firman Tuhan di dalam surah al-Ahzab ayat 6, “An-nabiyyu aulā bil-mu`minīna min anfusihim”. Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. Mestinya kita ada rasa malu terhadap Tuhan dan Nabi saw.
Bahwa potongan ayat di atas setidaknya dapat kita pahami bahwa Tuhan sesungguhnya ingin melihat hamba-Nya melakukan aksi cinta dan perhatian kepada nabi-Nya yang melebihi apa yang dinyatakan Tuhan melalui selawat-Nya, dan melebihi aksi yang digambarkan dalam kisah Qais dan Laila.
Apalagi kalau harus mencari-cari aksi Nabi saw terkait dengan perlakuan beliau terhadap dirinya sendiri, semisal bagaimana Nabi saw merayakan maulidnya, perilaku seperti itu bukanlah sikap mencintai, orang yang mencintai tidak pernah berpikir tentang alasan mengapa melakukan apa, karena semua perilaku yang nampak terlahir seperti air mengalir yang bersumber dari danau indah didalam hati yang mencintai.
Sebagai hamba yang kedudukannya di bawah nabi, maka pantasnya kita melakukan aksi sebagai bukti cinta kepada beliau tidak hanya dengan berselawat, akan tetapi melakukan kebaikan dari berbagai elemen kehidupan, termasuk merayakan maulid beliau dengan berbagai macam aksi kebenaran dan kebaikan—bisa dengan khataman al-Qur’an, berbagi rezeki kepada sesama umat muslim, atau mendalami sirah nabawiyah.
Satu hal yang penting diingat dalam menyatakan cinta kepada Rasul saw, bahwa beliau memiliki pribadi yang memegang prinsip secara istikamah sebagaimana diberitakan di dalam al-Qur’an surah al-Fath ayat 29, “Asyidda’ alal kuffar”. Tegas di dalam menghadapi segala bentuk kekufuran. Maka janganlah menyatakan cinta kepada Rasul saw melalui aksi yang bertentangan dengan kebenaran, jangan pernah memberikan respons atas nama cinta kepada beliau dengan melakukan sesuatu yang bernuansa musyrik, jangan pernah melakukan aksi cinta kepada Rasul saw dengan perilaku yang bernuansa amoral. Selama aksi itu bermuatan nilai-nilai moral, maka melakukannya tak perlu harus bertemu dengan Nabi saw untuk meminta ijin.
Sebagai penutup Kolom Hikmah ini, ada kisah menarik tentang ikhtiar melakukan kreativitas kebenaran yang dicontohkan nabi tatkala mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk mensosialisasikan kalimat “Inni bu’istu liutammima makarimal akhlak”. Sebelum Muadz berangkat ke Yaman, nabi seolah tengah menguji kelayakan dirinya dengan beberapa pertanyaan.
Nabi berkata kepada Muadz: “Kaifa tashna’u idza uridha laka qadhaa-un?”. Bagaimana engkau bersikap jika diajukan kepadamu permintaan menetapkan hukum? Muadz pun menjawab: “Aqdhiy fi kitabillah,”. Aku memutuskan berdasarkan Kitabullah,
Nabi bertanya lagi: “Fa in lam yakun fi kitabillah?”. Kalau engkau tak temukan dalam kitabullah? Muadz menjawab: “Bisunnati Rasulillah”. Dengan sunah Rasulullah”. Nabi kembali bertanya: “Fa in lam yakun fi sunnati Rasulillah?” Muadz dengan tegas menjawab: “Ajtahidu bira’yi wala aluw”. Aku mencurahkan daya sekuat mungkin/berijtihad.
Mendengar jawaban mantap seperti itu dari Muadz, nabi kemudian bersabda: “Alhamdulillahilladzi waffaqa rasula Rasulillahi lima yurdhi Rasulallah,”. Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah menuju apa yang diridhai oleh Rasulullah.
Kisah ini memberikan pencerahan betapa Nabi saw sangat fleksibel terkait dengan amalan kebaikan, bagaimana umatnya dapat melakukan apa saja dalam bentuk ikhtiar dan kreativitas selama aktivitas itu mengandung nilai-nilai kebaikan, “Khairukum man yurja khairuhu wayu’manu syarruhu”. Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan (orang lain) merasa aman dari kejelekannya”. (HR. At-Tirmidzi). []
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram