POLITIK Indonesia bergerak cepat. Lebih cepat dari yang dibayangkan. Presiden Jokowi akhirnya merestui dengan malu-malu anaknya menjadi calon wakil presiden dengan mekanisme super kilat melalui Mahkamah Konstitusi Keluarga (MK). Lembaga negara yang dipimpin oleh ipar presiden tersebut setidaknya sudah menumpahkan pelumas untuk mulusnya jalan anak presiden: Gibran Rakabuming Raka.
Keriuhan publik tumpah ruah di berbagai media massa. Tak terhitung cetusan, lolongan, makian, sumpah serapah, dan penyesalan akibat ketok palu untuk putusan MK tersebut. Zainal Arifin Mochtar dalam opininya di Kompas (16/10/2023) menyebut palu hakim telah patah akibat putusan ini. Lainnya, ia menyebut putusan ini berpotensi merusak banyak hal. Di antaranya, merusak open legal policy, membiarkan konflik kepentingan disidangkan di MK, dan membiarkan gejala yuristokrasi.
Yang banyak juga disesali ialah gejala politik dinasti kembali dibangun oleh rezim yang dulu katanya dari “rakyat” ini. Politik dinasti yang harusnya menjadi “barang haram” pasca reformasi kini dicoba kembali untuk mendapatkan label halal melalui MK.
Jika dilihat lebih jauh, sosok Gibran diharapkan bisa mendongkrak suara pasangannya di Jawa Tengah dan bisa meraih ceruk suara millennial dan Gen-Z. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 113 juta atau 56,45% suara berasal dari dua generasi tersebut. Angka sebesar itu, wajar menjadi rebutan semua kandidat, termasuk Gibran apabila ia benar-benar menjadi cawapres.
Untuk melegitimasi itu, tersebutlah Partai Golkar yang menyebut bahwa Indonesia punya sejarah dipimpin oleh anak muda di bawah usia 40 tahun. Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto secara spesifik menyebut nama Sutan Sjahrir (mantan Perdana Menteri Indonesia) disandingkan dengan Gibran Rakabuming Raka yang juga berusia belum 40 tahun sebagai calon pemimpin Indonesia ke depan.
Di sinilah, parodi baru dalam politik Indonesia. Semua orang juga tahu, Sutan Sjahrir menjadi pemimpin dengan jalan terjal dan penuh liku. Sedangkan Gibran – jika menjadi pemimpin – dengan jalan tol dan lurus yang sudah didesain sedemikian rupa oleh satu keluarga ini. Sutan Sjahrir juga mula-mula terjun dalam politik Indonesia melalui jalur aktivisme dari Belanda hingga tanah air. Sedangkan Gibran, memulai karir politiknya dengan berjualan martabak dan buru-buru mendapat rekomendasi sebagai calon wali kota Solo.
Selain itu, Sutan Sjahrir mendirikan partai politik dan bertarung hebat dengan Sukarno, tokoh – yang mungkin – Gibran kagumi. Dua orang tersebut, tak pernah terlihat “berdamai” sampai akhir hayat. Dua orang ideolog yang bandel. Jika Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), Sutan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Jelas, itu sebagai “ideologi perlawanan” dari Sutan Sjahrir. Jika Sukarno punya Pikiran Rakyat, Sutan Sjahrir punya Daulat Rakyat.
Jika Sukarno dekat dengan ideologi komunis, Sutan Sjahrir pendukung ideologi sosialisme. Bahkan, Sutan Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Gibran? Ia hanya menjadi kader, untuk tidak menyebutnya – petugas partai – yang sekarang juga sudah diisukan hengkang dari partainya. Hampir, Gibran tidak pernah merasakan getirnya punya kompatriot yang liat seperti Sutan Sjahrir. Dialektika seperti Sutan Sjahrir itu mungkin tak pernah dirasakan oleh Gibran sebagai politisi dan juga tak pernah dibayangkan oleh Partai Golkar sepanjang sejarahnya.
Jika kita elaborasi lebih jauh, Sutan Sjahrir ialah seorang pemikir yang ulet. Dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah (2022), Y.B. Mangunwijaya melalui tulisannya berjudul Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus menerangkan dengan gamblang sosok Sutan Sjahrir dalam kemelut politik Indonesia.
Y.B. Mangunwijaya menulis, “Sjahrir ialah manusia masa datang yang sudah mendahului terbang mengatasi batas-batas nasionalisme apa pun dan menghubungkan masa datang dan masa kini dalam bentuk patriotisme”. Sebab, bagi Sutan Sjahrir, batas-batas nasionalisme: Barat dan Timur sudah tidak ada. Suatu dunia yang baru sama sekali sedang lahir.
Kalimat di atas menggambarkan, visi dan kosmopolitnya Sutan Sjahrir melihat dunia ini. Dunia baru yang terbentuk dengan melintasi batas-batas wilayah yang kaku. Dan jelas, batas-batas yang membelenggu itu kini terlewatkan. Hubungan manusia di Barat dan Timur sudah meluber tak terkendali lewat media, internet, transportasi, hingga pertukaran ide dan kesedihan.
Kosmopolitanisme Sutan Sjahrir sebagai seorang pemikir ini bukanlah kosmopolit yang tidak berakar. Sutan Sjahrir jelas melandasi roh perjuangannya dengan kecintaan kepada bangsa dan rakyatnya. Kosmopolitanisme sosial yang berakar pada penderitaan rakyat. Y.B. Magunwijaya menulis: Aku cinta negeri ini dengan orang-orangnya…terutama barang kali karena ku kenal orang-orangnya sebagai penderita. Sebagai orang-orang yang kalah. Jadi biasa saja, simpati kepada underdogs, orang-orang yang ditindas.
Darah juang Sutan Sjahrir selalu merah, tapi merah yang pekat yang dulu dikalahkan juga oleh Si Merah. Tapi, menurut saya, Sjahrir juga akan kecewa melihat Si Kuning memakai namanya secara serampangan. Dan jika ia membayangkan manusia Indonesia masa datang, mungkin juga bukan untuk Gibran, tapi untuk generasi lain yang lebih tahu Indonesia, dunia, dan masa depannya.
Sjahrir, manusia Indonesia sekarang masih seperti Manusia Indonesia-nya kolega Anda Mochtar Lubis, lebih-lebih setiap menjelang Pemilu.[]
Ilustrasi: Ayobandung.com
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe