SEMALAM, baru saja dilangsungkan debat pertama calon presiden 2024. Kesempatan ini menjadi salah satu kesempatan bagi para kandidat untuk memaparkan visi, misi, gagasan, dan apa pun yang mereka ingin lakukan untuk Indonesia ke depan.
Tema pertama yang dibahas yakni soal Hukum, HAM, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi. Pertanyaan-pertanyaan dari panelis debat telah tersegel rapi di meja moderator debat. Namun, yang penting untuk diingat ialah berhasilnya penyelenggaraan negara juga ditentukan oleh sadarnya para penyelenggara negara pada etika publik.
Tahun ini, salah satu oknum peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bernama AP Hasanuddin (APH) membuat pernyataan kontroversial di media sosial terhadap salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang membuat gaduh masyarakat yang sedang merayakan idulfitri.
Tindakan APH ini harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua agar hati-hati dan bijak dalam menggunakan media sosial. Walau APH sudah meminta maaf, namun tindakan tersebut tidak lantas membuatnya terbebas dari proses hukum.
Contoh konkret di atas menunjukkan bahwa selain masyarakat yang harus dibuai oleh janji-janji semalam, yang terpenting juga ialah memastikan penyelenggara negara aware dengan posisi, tugas, dan fungsinya. Selain hal di atas, yang patut disayangkan ialah intervensi kepentingan kekuasaan dalam ranah kehakiman dan hukum menjadi pekerjaan rumah besar bagi presiden terpilih kelak.
Pentingnya Etika Publik
Menurut Azyumardi Azra (2022) dalam tulisannya Revitalisasi Etika Publik, ia menyinggung pentingnya kebajikan (virtues) dan revitalisasi nilai-nilai agama dan sosial-budaya untuk memperkuat etika publik.
Namun, menurut penulis, yang terpenting juga dalam penguatan etika publik ialah penyadaran dan sikap menahan diri dalam merespon isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. Belajar dari kasus APH, seharusnya yang bersangkutan sadar bahwa ia merupakan salah satu peneliti di lembaga nasional cukup berpengaruh di Indonesia. Yang peran, ucapan, dan tingkah lakunya bisa menjadi teladan dan berpengaruh pada masyarakat.
Sebab, sebagai lembaga think tank yang bertanggung jawab atas riset nasional, setiap peneliti di lembaga tersebut haruslah mencerminkan nilai moral dan sikap ilmiah yang diemban oleh lembaga tersebut. Jelas, moral dan sikap ilmiah tersebut merupakan manifestasi dari semangat nilai-nilai agama dan sosial-budaya bangsa Indonesia.
Di sisi lain, media sosial juga menjadi corong utama dalam penyebaran informasi dan pendidikan politik masyarakat. Tak ayal, beberapa kandidat sengaja memanfaatkan media sosial sebagai “baliho” kampanye mereka dengan segmen pemilih muda.
Tindakan APH ini, selain memperburuk citra lembaga tempat ia bekerja, juga memperkeruh suasana masyarakat menjelang tahun politik 2024. Suara-suara bernada kebencian dan penghinaan seperti ini, dikhawatirkan bergelayut dengan polarisasi politik masyarakat. Tentu, kita berharap kondisi polarisasi dan keterbelahan masyarakat pada Pemilu 2019 tidak terulang kembali.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk sadar posisi dan tindakan, agar setiap tindakan kita di ruang publik tidak menimbulkan polarisasi dan kebencian di tengah masyarakat. Dengan demikian, etika publik sebagai figur yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat harus disadari dengan sungguh-sungguh.
Dilema Media Sosial
Perkembangan pengguna media sosial di Indonesia tidak terbendung lagi. Menurut data dari We Are Social dan Meltwater bahwa per-Januari 2023, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta pengguna dari total populasi 276 juta. Data tersebut mencerminkan bahwa media sosial sudah menjadi bagian penting dalam masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi dan menyebarkan informasi.
Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh pengguna media sosial. Bahwa, penggunaan media sosial tanpa dibarengi oleh sikap kritis dan sabar untuk menerima dan menyebarkan informasi yang berpotensi menimbulkan kebencian dan konflik dalam masyarakat sangat diperlukan.
Selain itu, sikap sabar dan toleran di media sosial harus menjadi nilai dasar yang perlu dimiliki oleh pengguna media sosial. Hal itu guna membendung dan menunda penyebaran informasi yang berisi nada kebencian pada kelompok tertentu. Sebab, satu kali kita menyebarkan informasi, bisa saja menyebabkan tumbuhnya bibit kebencian dan kemarahan banyak orang.
Di sisi lain, media sosial juga menjadi corong utama dalam penyebaran informasi dan pendidikan politik masyarakat. Tak ayal, beberapa kandidat sengaja memanfaatkan media sosial sebagai “baliho” kampanye mereka dengan segmen pemilih muda. Namun, sangat disayangkan, apabila pendidikan politik masyarakat hanya dilakukan dengan politik riang gembira menggerakkan tubuh yang tidak bergerak itu. Jika hanya meminjam strategi “Bong Bong” Marcos Jr untuk di Indonesia-kan, sungguh mahal, harga yang harus dibayar oleh bangsa ini dengan momentum pendidikan politik ini.
Keadaban Publik
Sebagai warga negara, kita bertanggung jawab untuk menciptakan keadaban publik. Keadaban publik yang diciptakan harus berdasar nilai moral yang kita perjuangkan bersama yang tercermin dari semangat Pancasila. Dengan begitu, diharapkan terciptanya hubungan masyarakat yang damai dan egaliter tanpa riak-riak konflik dan perpecahan antar masyarakat.
Keadaban publik harus dimulai dari pribadi kita untuk lebih bijak dan sadar sebagai masyarakat umum dan pengguna media sosial. Bahwa sikap bijak yang dimulai dari individu ialah sosialisasi primer – meminjam istilah Peter L. Berger dan Thomas Luckmann – dalam bukunya Tafsir Sosial atas Kenyataan (1990).
Sosialisasi primer ini merupakan sosialisasi paling penting untuk menyebarkan kebajikan (virtues) yang nantinya diharapkan akan bertransformasi dan membentuk sosialisasi sekunder dalam skala yang lebih besar untuk mempengaruhi banyak orang.
Jadi, nilai-nilai yang kita produksi dan sosialisasikan melalui perilaku dan akhlak di tengah masyarakat dan media sosial kita akan membentuk “budaya baik”. Dus, nantinya ruang publik tempat kita bersosialisasi dan menjalin relasi sosial akan lebih beradab dan bermoral. Dengan begitu, kita dapat meminimalisir potensi pembelahan dan perpecahan masyarakat.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe