PERGULATAN proses demokratisasi di Indonesia mengalami angin segar pasca reformasi. Secara umum, reformasi membawa perubahan yang signifikan dalam panggung politik Indonesia, di mana presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya. Selain itu, peran militer dalam politik juga sedikit banyak berhasil dikembalikan ke kandangnya.
Dalam masa transisi tersebut, bagaimana situasi politik di daerah merespons reformasi? Apakah daerah juga mengalami perubahan atau stagnan? Di sinilah signifikansi dari buku ini menemukan tempatnya. Walau studi kasus yang dilakukan hanya pada satu daerah yakni Kabupaten Bangkalan dengan tokoh kunci Fuad Amin Imron, namun, buku ini bisa menjadi bahan refleksi semua daerah dan pemimpin untuk tidak jumawa dalam mengelola kekuasaan yang dimiliki.
Buku ini berisi lima bab, bab pertama secara umum membahas bagaimana latar sosial dan konstruksi sosial-budaya yang membentuk hegemoni orang kuat di Bangkalan. Abdur Rozaki (AR) dengan baik menguraikan bahwa proses kait-kelindannya tradisi agama yang diwakili figur kiai dan budaya lokal yang direpresentasikan pada figur blater.
Wilayah Bangkalan dengan tradisi keagamaan yang kuat menjadikan kiai bukan hanya sebagai patron tapi lebih menjadi cultural broker – meminjam istilah Clifford Geertz – dalam masyarakat dan dunia luar (hlm: 41). Oleh sebab itu, sosok seperti Kiai Kholil Bangkalan menjadi sangat disegani.
Selanjutnya, sosok blater sebagai otoritas lain di Bangkalan menjadi menarik karena disandingkan dengan kiai. Blater atau orang jago hadir lebih karena respons atas keadaan sosial yang melingkupinya. Fenomena ini dapat dilihat bahwa blater selalu menarik garis demarkasi dengan kiai sebagai representasi keagamaan. Kemudian, proses sosial-budaya dan “arena”-lah yang membuat blater terlegitimasi, misalnya, lewat peristiwa carok, karapan sapi, dan sabung ayam. Akhirnya, kedua entitas ini menjadi rezim kembar – meminjam istilah Abdur Rozaki – di Bangkalan.
Elite lokal yang mempunyai modal sosial-keagamaan kuat. Sebab, dalam perkembangan selanjutnya ia benar-benar berkuasa dengan modal sebagai trah laki-laki Syaikhona Kholil dan sebagai seorang jawara blater yang ditakuti.
Bab dua buku ini, menggambarkan proses terjadinya oligarki politik di Bangkalan. Menariknya, proses oligarki ini, bukan melulu soal akumulasi kekayaan (material) pada segelintir orang. Oligarki politik di Bangkalan terjadi akibat akumulasi modal keagamaan dan sosial-budaya pada satu orang yakni Fuad Amin Imron. “Aktor oligarki politik di Bangkalan tidak memiliki hubungan patronase dengan rezim Orde Baru” (hlm: 109).
Jadi, bisa kita lihat bahwa, Fuad Amin Imron seperti mendapat durian runtuh masa transisi Orde Baru ke Reformasi. “Bahkan dengan konstruksi budaya keagamaan dominan yang mengalami marginalisasi selama Orde Baru direkonstruksi oleh Fuad Amin sedemikian rupa sehingga menjadi modal politiknya” (hlm: 109).
Di sinilah, kejelian Fuad Amin, sebagai pemain politik yang bisa bermain dalam masa transisi. Elite lokal yang mempunyai modal sosial-keagamaan kuat. Sebab, dalam perkembangan selanjutnya ia benar-benar berkuasa dengan modal sebagai trah laki-laki Syaikhona Kholil dan sebagai seorang jawara blater yang ditakuti.
Berkumpulnya modal sosial-keagamaan pada satu orang ditambah dengan masyarakat yang bisa dibius secara kultural-politis lewat kerja budaya-keagamaan dengan kontrol publik yang masih rendah ternyata menjadi ancaman nyata bagi demokrasi.
Apa ancaman tersebut? Bab tiga buku ini menjelaskan dengan baik bagaimana sosok Fuad Amin memainkan kekuasaannya sebagai bupati. Dengan memanfaatkan kekuasaannya, ia membangun budaya patronase yang kuat dengan jajaran di bawahnya dan masyarakat sebagai klien.
Tentu, budaya demokrasi yang dibangun atas dasar patronase yang dicirikan klientalistik, represif, dan koruptif. Dan sifat-sifat itulah yang digambarkan oleh Abdur Rozaki ketika menggambarkan pelaksanaan kerja-kerja pemerintahan di bawah Fuad Amin. Misalnya, ketika Fuad Amin sengaja tidak melantik klebun (kepala desa) dengan jumlah hampir separuh desa di Bangkalan. Fuad Amin hanya mengangkat pejabat sementara (Pjs) untuk menduduki jabatan klebun.
Hal ini dilakukan untuk menguatkan hubungan patronase dan praktik suap dari para klebun. “Dari sebanyak 281 desa di 18 kecamatan ada 133 klebun berstatus Pjs dan ada juga klebun yang menjabat hampir 20 tahun” (hlm: 115-116). Selain itu, Fuad Amin juga berhasil membangun hubungan ketergantungan para klebun tersebut yang suatu saat bisa ia ancam jika tidak setuju dengan kepentingan politiknya.
Dengan hubungan kerja seperti itu tidak mengherankan Bangkalan menjadi daerah tidak demokratis dan tidak sejahtera. Hal ini, menjadi kisah kegagalan demi kegagalan proses reformasi yang cenderung stagnan. Mungkin, buah dari dinamika lokal yang merayakan euforia reformasi yang selama Orde Baru dimarginalisasi secara politik secara berlebihan dan melampaui batas.
Dengan kuatnya hegemoni politik Fuad Amin ini, perlawanan masyarakat tentu banyak. Dengan menggunakan teori penentangan politik, Abdur Rozaki mendayung narasi bukunya lebih lamban. Perlawanan masyarakat menemukan titik kulminasi pada musim-musim Pilkada. Selain dari civil society, penentang utamanya ialah dari trah Syaikhona Kholil sendiri: Imam Bukhori Kholil.
Organisasi masyarakat sipil seperti Madura Corruption Watch (MCW), Leksdam, CIRA, dan rentetan demonstrasi dari mahasiswa menjadi repertoar perlawanan masyarakat untuk kepemimpinan Fuad Amin. Namun, dengan perlawanan masyarakat yang makin solid, dinasti politik yang dibangun Fuad Amin juga makin kuat mengkonsolidasi diri. Pada titik-titik krusial seperti ini, anak Fuad Amin, Makmun Ibnu Fuad berhasil menduduki Bangkalan 1.
Perlawanan masyarakat cenderung merayap dan megap-megap dengan sejumlah ancaman terhadap mereka. Tak tanggung-tanggung, aksi pembacokan kepada sejumlah aktivis terjadi. Dengan ancaman seperti ini, siapa yang tidak takut?
Pada bab terakhir, buku ini menjelaskan akhir dari kisah Fuad Amin ketika menjadi pesakitan KPK akibat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Menurut saya, ini adalah “akhir yang menjadi awal” terus bercokolnya dinasti politik di Bangkalan. Kekuatan-kekuatan politik yang sudah terkonsolidasi dengan baik oleh Fuad Amin akan terus bereproduksi. Buktinya, setelah dia lengser digantikan oleh anaknya, setelah anaknya digantikan oleh adiknya.
Dari Pesisir Hegemoni ke Lautan Dinasti
Fenomena Fuad Amin ini menjadi tersahihkan selama tidak ada kekuatan masyarakat sipil yang kuat. Dengan hegemoni budaya dan agama yang kuat pada seseorang menjadikannya sebagai seorang oligark. Jago-jago lokal beraksi dengan menggunakan instrumen demokrasi, namun dibonsai sedemikian rupa.
Oligarki politik dengan dua sisi sebagai kiai dan blater sekaligus jelas tak akan membawa dampak baik bagi pembangunan demokrasi sendiri. Pelajaran besar dari demokrasi di Bangkalan yakni jangan serahkan semua modal sosial-politik-ekonomi ke satu entitas tunggal. Sisakan sedikit untuk mencurigai dan menuduh kekuasaan, apakah lewat perlawanan, quasi hegemoni atau teologi kerakyatan seperti saran Abdur Rozaki sendiri.
Benar kata Bivitri Susanti dalam film Dirty Vote “menyusun dan menjalankan skenario kotor ini tak perlu kecerdasan atau kepintaran, yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu.”
Yang jelas, gelombang laut dari pesisir Madura sudah sampai di perairan Jakarta.[]
Identitas Buku:
Judul: Islam, Oligarki Politik, dan Perlawanan Sosial | Penulis: Abdur Rozaki | Penerbit: IRCISoD, Juni 2021 | Jumlah Halaman: 334 Halaman
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe