MENGAPA orang mau, bahkan berjuang banting tulang, untuk menjadi penulis? Padahal, untuk konteks negeri kita ini, hanya segelintir saja yang bisa hidup dari menulis.
Karena ada kuasa dalam aktivitas menulis! Kuasa itu samar-samar di balik ungkapan-ungkapan: menulis untuk keabadian, pengabdian, menunda pikun, mengasah pikiran dan jiwa, menyebarkan kebaikan, beribadah, dan sebagainya.
Kuasa nyata menulis ada pada praktik diskursif. Yakni penyelipan bahkan pendesakan makna, gagasan, tafsir, visi, nilai, dan ‘kepentingan’ penulis dalam aspek-aspek naratif dari teks yang diproduksi.
Struktur teks seperti tema, alur, subjek penutur, karakter, gaya tutur, diksi, dialog adalah tempat-tempat di mana kekuatan naratif bercokol atau diboncengkan. Cara kerja naratif itu biasanya diam-diam, persuasif dan tak terduga. Tidak dar dir dur der dor seperti modus serdadu.
Teks itu berinteraksi dengan pembaca dalam perguliran waktu. Ia mengisi relung kognisi dan memori pembaca, membentuk lapisan pengetahuan dan sikap. Minimal memicu syakwasangka, pergumulan batin, pertikaian pikiran, serta keimanan dan sebaliknya. Betapun naifnya efek ‘minimal’ itu, tetap saja potensi diskursif bekerja.
Penulis ‘berhak’ dan ‘bebas’ (kata yang semedan makna dengan kuasa) membangun tema, plot, karakter, sudut pandang, serta sisi mana yang ditampilkan atau diabaikan/disembunyikan dari suatu realitas. Seberhaknya!
Bagi penulis yang merdeka, tidak ada yang menekannya, kecuali dirinya sendiri, untuk harus menulis ini dengan angle begini, dan tidak boleh menulis topik itu dengan sajian begitu. Ia kuasa membentuk narasi sesuai ideologinya sendiri, konteksnya sendiri, dan perspektifnya sendiri.
Jika begitu, penulis bisa jadi tiran jika mau terapkan privelese ini secara sewenang-wenang. Seperti kaum sekongkol di istana-istana tirani itu. Tetapi penulis tidak merdeka secara mutlak. Karena ada kekangan metodik/teori di tangan kanannya dan todongan etis di tangan kirinya ketika menulis. Hanya rebel yang melakukan pemberontakan terhadap itu.
Pertama adalah teori membaca, yang menyadarkan tentang cara dan gaya orang membaca buku. Anak-anak dan orang dewasa serta kelas dan kategori sosial punya corak tersendiri dalam berinteraksi dengan buku atau teks. Penulis, jika ingin dibaca, pasti terseret oleh kecenderungan pembaca. Maka, menulis didahului oleh teori membaca.
Kedua yaitu teori naratif, yang memberitahu tatacara menyusun makna, konsepsi, persepsi, dan isi dari rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea. Di hadapan teori ini, penulis seperti tukang batu saja yang ditongkrongin oleh mandor atau konsultan.
Sebenarnya ada teori ketiga yang ditakuti, yaitu teori kritik wacana (critical discourses). Ditakuti karena bersifat membongkar, mengacak-acak. Yang diacak adalah ideologi dan kepentingan penulis yang disusupkan ke dalam teks. Bagi teori ini, penulis selalu berbahaya, maka ideologi dan kepentingannya harus dilacak untuk dijinakkan. Untuk suatu keadaan normal, teks harus steril dari segala nilai.
Ada pengecualian, yakni untuk kemaslahatan umum, yang membuat teori ketiga ini turun tangan. Ketika teks sedemikian rupa telah ikut menyusun dan melempangkan lapisan-lapisan kekuasaandalam masyarakat dan budaya oleh entitas lain (biasanya politik dan bisnis), kritik wacana harus dioperasikan.
Maka penulis bertarung satu sama lain. Teks bertikai dengan teks. Teks lama yang telah merezimkan kekuasaan tertentu (episteme namanya menurut Foucault) ditantang oleh teks baru hasil pembongkaran dan rekonstruksi.
Saudara berdiri di pihak yang mana? Saudara adalah penulis penyokong atau penulis merdeka atau penulis berpihak? Di sini potensi keberbahayaan penulis itu harus dipertaruhkan. Penulis harus seperti pendekar yang mata pedangnya memupus kedigdayaan musuh pengetahuan dan kemanusiaan.
Lantas bagaimana kemaslahatan dipilahkan dari mafsadat (keburukan) dan bahaya? Saudara, menjadi penulis bukan pilihan sekonyong-konyong! Atau soal katarsis belaka dari kesunyatan hidup. Penulis adalah penafsir sejarah yang terbebani di pundaknya oleh tuntutan perubahan arah, jika ternyata sejarah yang ditafsirinya itu timpang jalannya.
Maka penulis punya kualifikasi dan etos. Juga punya agensi, yakni kapasitas bertindak dalam riuh-rendahnya sejarah. Mengeluarkan diri dari kerumunan “berbahaya” dan masuk ke dalam lingkaran “keberbahayaan” tandingan. Dalam pada itu, kuasa penulis adalah kuasa budaya tandingan (counter culture).
Sejurus itu, penulis lantas memulai rute perjalanan kepenulisannya dari teori ketiga, lalu teori kedua dan teori pertama. Di sini kesadaran historis dan ideologis diaktifkan, lalu kemahiran mengkonstruksi struktur kognisi, dan diakhiri keramahan pada audiens. Di sini juga akan gamblang perpaduan antara pengetahuan dan adab.
Ini kekuasaan di atas kuasa. Kuasa penulis tunduk pada kekuasaan lain: metodik dan moral (dalam pengertian lesson learned) yang melekat secara terpatri di dirinya. Ini dalilnya: ternyata tidak ada kekuasaan yang absolut, dalam tataran apapun. Tetapi, penulis, seterseok-seoknya ia meniti jalan metodik dan moral itu, ia kuasa atas dirinya sendiri. Berkat satu pijakan: kejujuran![]
Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal