Musa dan Pilihan Moral Sehari-hari

Dalam beberapa kisah, Quran memberikan kita semacam crash course tentang moralitas, yakni melalui pembacaan terhadap kisah-kisah yang meng-explore karakteristik kesadaran moral manusia dalam tindakannya. Tengoklah sejenak bagaimana Allah menggelitik moral kita melalui kisah perjumpaan Musa ‘alaihissalam dengan Khidr ‘alaihissalam. Kisah yang memberikan kita food of thought tentang bagaimana moralitas individual yang subjektif berdinamika dengan moralitas lain.

Musa diberikan ilham untuk berguru kepada seseorang yang bernama Balya Bin Mulkan atau dikenal dengan sebutan Khidr. Nama yang diperolehnya karena ia digambarkan sebagai sosok yang duduk di suatu tempat yang putih, dan di belakangnya terdapat tumbuhan yang menghijau (min kholfihi khodro). Khidr dikenal pula sebagai sosok yang digambarkan Imam Ghazali sebagai seseorang yang memiliki ilmu intuitif (‘ilmu ladunni), ilmu yang diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara (wa ‘allamnahu milladunna ‘ilman).

Quran kemudian menyajikan sebuah kisah penuh teka-teki antara Musa dengan Khidr. Perjalanan keduanya kemudian dapat dibaca bukan hanya dalam konteks sekadar eksplorasi geografis, melainkan sebuah pelajaran mendalam tentang pilihan-pilihan moral keseharian, keterbatasan pengetahuan manusia, dan hubungan antara etika, niat, serta konsekuensi-konsekuensi yang dilahirkan. Di balik tiga peristiwa yang dilakukan oleh Khidr; melubangi perahu, membunuh seorang anak, dan membetulkan tembok sebuah rumah tanpa imbalan, tersimpan pesan-pesan moral yang kompleks dan bahkan tampak satire dan paradoksal.

Kisah ini menjadi sebuah moral experiment yang sangat relevan untuk dijadikan sebagai cara menguji perspektif kita dalam membangun moralitas, karena menghadirkan dua kutub: Musa, sang penerima Taurat; nabi yang hadir membawa syariat Tuhan, mewakili moral normatif yang dikenal dan diterima oleh umat manusia; dan Khidr, sosok hamba istimewa yang mewakili dimensi ilahiah dari moralitas, yang kadang tidak kasat mata atau tidak bisa langsung dipahami dalam kerangka moral sehari-hari.

Dalam konteks diskusi mengenai etika, kita seringkali kembali pada dikotomi antara moral objektif, yakni standar moral yang diyakini berlaku universal dan tidak tergantung pada pandangan individu atau budaya tertentu, dan moral subjektif, yakni standar moral yang bergantung pada keyakinan personal, komunitas, atau situasi tertentu.

Tindakan ini mengilustrasikan Etika Utilitarian, yang disadur dari dua Ethical Theorist; Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Prinsip utamanya adalah “the greatest happiness for the greatest number“, mengedepankan fungsi kuantitatif dari sebuah tindakan moral;semakin banyak orang atau manfaat yang ditimbulkan, maka tindakan itu dapat dijustifikasi.

Dalam kisah Musa dan Khidr, kita menemukan kontras ini dengan jelas: Musa merasa wajib untuk mengkritik tindakan Khidr berdasarkan hukum dan norma yang ia ketahui (moral objektif dari sudut pandangnya), sementara Khidr bertindak atas dasar ilmu khusus dari Allah yang Musa tidak tahu (seolah berada dalam kerangka moral objektif yang lebih tinggi atau, bagi Musa, tampak sebagai moral subjektif yang tidak dapat diterima).

Baca Juga  Berniaga dengan Tuhan

Dalam insiden pertama, Khidr merusak perahu milik orang miskin (ḫattâ idzâ rakibâ fis-safînati kharaqahâ). Bagi Musa, ini adalah tindakan zalim: merusak harta orang lain tanpa alasan yang sah (laqad ji’ta syai’an imrâ). Namun Khidr kemudian memberikan penjelasan lanjutan bahwa tindakan ini justru dalam rangka menyelamatkan awak kapal tersebut (fa aradtu an a’iibaha). Khidr melanjutkan bahwa kapal itu  akan dihadang oleh raja lalim jika tetap utuh seperti sedia kala (wa kaana wara’ahum malikun ya’khudzu kulla safiinatin ghasba), dengan merusak kapal itu, tentu mereka akan dapat menghindarkan diri dari perompak.

Tindakan ini mengilustrasikan Etika Utilitarian, yang disadur dari dua Ethical Theorist; Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Prinsip utamanya adalah “the greatest happiness for the greatest number“, mengedepankan fungsi kuantitatif dari sebuah tindakan moral;semakin banyak orang atau manfaat yang ditimbulkan, maka tindakan itu dapat dijustifikasi.

Dalam kerangka ini, moralitas suatu tindakan diukur dari konsekuensinya. Khidr bertindak untuk mencegah kerugian yang lebih besar di masa depan, meski harus melakukan kerusakan kecil saat ini demi mendapatkan ‘manfaat’ yang lebih besar. Ini menunjukkan bagaimana long-term consideration bisa membenarkan tindakan yang secara normatif tampak salah.

Tindakan kedua Khidr adalah membunuh seorang anak yang mereka temui. Ini membuat Musa sangat terpukul dan berkata a qatalta nafsan zakiyyatam bighairi nafs. Perkataan ini lebih disebabkan karena Musa berbicara dalam konteks kerangka hukum moral yang ia pahami, bahwa membunuh seseorang yang tidak membunuh adalah sebuah tindakan kriminal

Ia bahkan mengatakan Khidr telah berbuat munkar (laqad ji’ta syai’an nukra), karena melubangi perahu tentu masih bisa dimaklumi, sedang membunuh seorang anak tidak dapat diterima moral normatifnya. Namun, Lagi-lagi Khidr menjelaskan episteme moralnya, ia  kemudian menjelaskan bahwa anak itu akan tumbuh menjadi sosok yang zalim dan akan membebani kedua orang tuanya yang saleh (fakhasyiina ayyurhiqahuma thughyaanan wa kufran).

Baca Juga  Pesan Moral Isra' dan Mikraj: Refleksi Perjalanan Spiritual

Tindakan Khidr ini jelas berlawanan dengan apa yang disebut Kant sebagai Etika Deontologis, bahwa tindakan dinilai bukan dari akibatnya tetapi dari kepatuhan terhadap kewajiban moral (duty). Namun di sinilah edukasi teologis muncul: Khidr bertindak bukan berdasarkan etika manusiawi yang normatif, melainkan berdasarkan ilham teologis yang hanya menjadi tanggung jawab moral orang-orang khusus sepertinya. Ia wajib mendedahkan bahwa otoritas moral ilahiah akan selalu melampaui keterbatasan reasoning manusia.

Dalam peristiwa terakhir, Khidr memperbaiki dinding rumah milik dua anak yatim (fa wajada fiiha jidaaran yuridu an yanqaddha fa aqamah) tanpa meminta upah, meskipun penduduk kota itu pelit dan tidak ramah. Tindakan Khidr dapat dijelaskan dari sudut pandang Etika Kebajikan (Virtue Ethics) Aristoteles. Etika ini tidak lagi bertumpu pada aturan-aturan (deontologi) atau hasil (utilitarianisme), melainkan pada karakter moral pelaku. Tindakan yang baik akan lahir dari karakter moral yang baik, bukan semata melalui aturan dan tujuan.

Pada akhirnya, pembacaan filosofis tentang Kisah Musa dan Khidr membawa kita membuka cakrawala baru dalam melihat tindakan manusia. Tidak semua yang tampak salah adalah buruk, dan tidak semua yang tampak benar akan menghasilkan kebaikan. Moralitas bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga mengapa dan dengan pengetahuan apa ia dilakukan.

Dalam kehidupan keseharian, kita juga akan dan kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang kemudian memaksa kita untuk mengambil Keputusan-keputusan dilematis demi maslahat yang lebih luas di masa yang akan datang, sekaligus mencegah bencana yang lebih besar.[]

Ilustrasi: Republika.co.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *