Hilangnya Integritas Pancasila

PADA tanggal 1 Juni 1945 Sang Proklamator bangsa, Presiden Sukarno memperkenalkan 5 nilai dasar yang menjadi fondasi utama bangsa Indonesia. Kelima nilai dasar ini bukanlah hasil penciptaan Sukarno an sich, melainkan – sebagaimana Sukarno ucapkan sendiri – ia menggali nilai-nilai yang terkandung dalam bumi Indonesia yang sekarang dikenal sebagai Pancasila. Pancasila menjadi sebuah bentuk cita-cita bersama bangsa Indonesia, dan ini merupakan wujud nyata dalam persatuan bangsa sehingga dapat melahirkan ide, gagasan, dan keyakinan.

Sejak hari ditetapkan sampai dengan saat ini, eksistensi Pancasila sebagai dasar negara memang masih terus terawat serta terjaga, namun implementasi daripada nilai-nilai Pancasila sebagai pegangan bangsa semakin hari kian terdegradasi. Hal ini tidak hanya terjadi pada rakyat-rakyat kecil, tetapi para birokrat, pemegang otoritas, serta diplomator negara pun kadang kala sering mempertontonkan hal-hal yang mengarah kepada pendegradasian nilai-nilai Pancasila.

Dengan demikian tentunya akan berdampak pada kredibilitas dan integritas Pancasila sebagai ideologi negara. Oleh karena itu, perlu menjadi atensi bagi para diplomator negara untuk segera mengupayakan perbaikan terhadap eksistensi Pancasila agar arah, tujuan, serta cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dapat tercapai. Jika ada yang menyanggah bahwa masyarakat sudah menerapkan Pancasila di kehidupan sehari-harinya karena mereka bertuhan dan beragama, akan tetapi, hal tersebut implementasi Pancasila bukan hanya sesempit itu melainkan nilai Pancasila harus mampu menggerakkan semua.

Pancasila mempunyai lima sila dan kelima sila tersebut harus ada korelasi dari sila pertama hingga kelima. Sedangkan dewasa ini, sila pertama sampai dengan sila kelima terkesan inkorelasif. Mengapa seperti itu, kita bisa melihat dari implementasi Pancasila masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi.

Mulai dari Orde Lama, pada tahun 1960, PKI ada di mana-mana. Menurut sejarah, PKI ada karena persetujuan Sukarno, dan sangat jelas bahwa PKI adalah partai yang ideologinya benar-benar bertolak belakang dengan Pancasila. Pembantaian di mana-mana, perang antara militer dan PKI terus menerus memakan banyak korban, dan di mana Pancasila pada saat itu? Bahkan pada saat itu seorang aktivis Soe Hoek Gie sangat antusias untuk memusnahkan PKI dari bangsa Indonesia melalui tulisan dan gagasannya, karena Soe Hoek Gie sadar bahwa PKI adalah partai yang memang dapat merugikan bangsa dengan ideologi yang mereka pegang pada saat itu.

Baca Juga  Kaum Muda dan Mental Kebudayaan Kita

 Lalu, di zaman Orde Baru di era kepemimpinan Soeharto, Sang Jenderal yang memimpin Indonesia selama 32 tahun. Di zaman ini juga integritas pancasila sebagai ideologi negara tidak nampak dan tidak dipraktikkan dengan baik oleh para birokrat. Yang bersuara dibungkam, pemerintah anti kritik, adanya kasus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Dengan adanya hal-hal tersebut sejahtera bagi rakyat akan sulit untuk dicapai, demokrasi menghilang karena kekuasaan Sang Jenderal yang anti kritik, dan para pemimpin tidak bijaksana dalam memimpin sehingga rakyat akan tetap tersiksa dengan keadaan dan kebijakan yang ada pada saat itu.

Untuk memenuhi itu semua, kita dapat merumuskan Pancasila sebagai kata kerja aktif bukan kata benda yang abstrak, seperti: bukan saja ketuhanan yang maha esa, tapi meng-Esa-kan tuhan. Bukan hanya kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan saja persatuan Indonesia, tapi mempersatukan Indonesia. Bukan saja kerakyatan, tapi melaksanakan kerakyatan. Bukan hanya keadilan sosial, tapi mengusahakan keadilan sosial.

Selanjutnya, kita membahas mengenai era Reformasi. Era ini juga kredibilitas Pancasila perlu dipertanyakan, karena masih banyak tindakan korupsi, kesenjangan sosial, praktik kapitalisme, dan bahkan ada praktek nepotisme. Pejabat publik banyak yang melakukan tindakan korupsi dari tahun ke tahun, dan KPK tidak ada kekuatannya untuk memusnahkan pejabat-pejabat rakus yang hanya bisa memakan uang rakyat, kesenjangan sosial masih beredar di mana-mana, praktik kapitalisme pun begitu transparan di negeri ini – yang kaya akan makin kaya, yang miskin akan tetap miskin, dan praktik nepotisme, praktik ini bisa kita lihat pada pemilu tahun 2024 ini.

Dengan naiknya Gibran putra dari presiden Joko Widodo sebagai calon wakil presiden Prabowo menjadi bentuk bahwa praktik nepotisme itu memang ada di negeri ini bahkan ada sejak era kepemimpinan Soeharto. Gibran naik sebagai calon wakil presiden dengan cara yang tidak etis karena melanggar kode etik berat dalam proses uji materi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia Capres dan Cawapres. Namun dengan adanya Anwar Usman sebagai Ketua MK sekaligus paman dari Gibran menjadikan Gibran dapat meloloskan dirinya sebagai cawapres di pemilu 2024.

Baca Juga  Agama Leluhur dan Krisis Ekologi (1)

Dengan kelolosan Gibran tersebut jabatan Anwar Usman sebagai ketua MK dipecat karena melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuah dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, serta prinsip kepantasan dan kesopanan.

Dengan adanya praktik-praktik diatas dari era Orde Lama hingga Reformasi apakah Pancasila mempunyai integritas sebagai ideologi negara, jelas tidak. Karena nilai dalam Pancasila bertolak belakang dengan praktik dan kelakuan para oknum birokrat di negeri ini. Untuk mengembalikan Pancasila perlu adanya radikalisasi Pancasila. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa radikalisasi Pancasila ini bukan radikalisasi sebagai yang kita kenal selama ini seperti tak terkendali, galak, dan beringas.

Maksud dari radikalisasi Pancasila ini adalah membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini diorganisasikan. Untuk memenuhi itu semua, kita dapat merumuskan Pancasila sebagai kata kerja aktif bukan kata benda yang abstrak, seperti: bukan saja ketuhanan yang maha esa, tapi meng-Esa-kan tuhan. Bukan hanya kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan saja persatuan Indonesia, tapi mempersatukan Indonesia. Bukan saja kerakyatan, tapi melaksanakan kerakyatan. Bukan hanya keadilan sosial, tapi mengusahakan keadilan sosial. (Kuntowijoyo, 2019)

Cara tersebut terlihat mudah, namun, oknum birokrat dan maraknya praktik korupsi menjadi tantangan utama. Maka dari itu, Indonesia butuh pemimpin yang berani untuk mengembalikan integritas Pancasila, Indonesia butuh pemimpin yang berani untuk mengembalikan pancasila sebagai tumpuan utama serta pegangan yang kuat untuk negara kita. Dengan adanya pemimpin seperti itu masyarakat akan sejahtera, keadilan akan nampak, dan tidak akan ada lagi praktik-praktik yang merugikan masyarakat dan bangsa.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *