BAUDRILLARD terlihat seperti menangis, di tengah ia duduk di kursi taman kota. Sapu tangan yang ia seka ke mukanya ia kibas-kibaskan, lalu ia pelintir, dan akhirnya ia sekap ke dalam saku jaketnya yang sudah mulai lusuh ….
Baudrillard, sang filosof kontemporer (postmodern) yang skeptis. Dia memandang kehidupan kontemporer penuh kegelapan. Dia juga menangisi peradaban hasil modernitas ini, yang menurutnya sedang terperangkap dalam sebuah jaring (sel) yang bulat kuat, sehingga manusia sebagai individu subyektif tidak lagi melihat jalan keluarnya.
Subyek lebur dalam obyektivisme sistem. Individu ada dalam kesatuan sistem. Manusia menyatu dengan objek yang diciptakannya, tetapi sekaligus teralienasi. Manusia tidak berjarak dengan realitas, tetapi ia tidak mampu mengenalinya, karena realitas telah menekuknya dalam lipatan-lipatan realitas itu sendiri.
Manusia kontemporer hanya bisa membuat katarsis-katarsis atau sublimasi-sublimasi dengan menciptakan realitas-realitas semu, maya, absurd, yang kadang-kadang melampaui hakekat dirinya sebagai manusia historis. Itulah hiper-realitas. Manusia dalam perangkap itu hanya bisa membayangkan diri sedang berada bebas, merdeka, berdaya di luar sistem, padahal dengan itu ia lagi menangisi nasib tragisnya sendiri.
Manusia postmodern-kontemporer menciptakan kanal-kanal yang dapat ia anggap sebagai jalan yang dapat ia tempuh agar keluar dari sangkar besi kehidupan. Manusia merancang struktur-struktur baru, kultur-kultur baru, makna-makna baru, realitas baru, gaya hidup baru yang bisa meretas jalan pembebasan.
Tetapi semua pada akhirnya menjadi terbukti, alih-alih pembebasan yang dialami, justeru ke-semakinterkungkung-an yang dalam dialami umat manusia. Semua yang dianggap baru tidak lain adalah daur ulang sistem atau pembiakan sel penindasan. Itulah simulacra, modus simulasi atas realitas.
Sesudah tidak bisa lagi menangis, manusia akhirnya mengubah cara pandangnya terhadap realitas atau kebudayaan. Ia ‘merelakan’ semua realitas itu sebagai sesuatu yang memang harus diterima. Maka sepatutnya dirayakan, atau bahkan ditertawakan. Dunia tidak perlu lagi diupayakan untuk ditata, bahkan kalau perlu dijungkirbalikkan. Sejungkir-jungkirnya.
Sampai suatu saat muncul kekuatan dari subjek-subjek yang lemah. Sampai hukum-hukum sejarah jungkir balik jatuh bangun peradaban menemukan momentumnya sendiri. Ibarat ‘tubuh sosial’ peradaban ini sudah mati, sedang membusuk, dan akan menjadi lahan tumbuhnya benih-benih baru peradaban yang bermakna, yang manusiawi, yang memberdayakan, yang mensejahterakan.
Sekarang, Baudrillard lagi tersenyum di tengah menangisnya. Ah, Baudrillard ternyata tidak sedang benar-benar menangis. Menangisnya adalah modus untuk menghardik kesadaran subjek dalam realitas. Lihat, Baudrillard sedang bermain mata dengan ‘jentik-jentik’ yang sedang menggeliat dan mengamuk di tengah bangkai peradaban itu!
Air mata buaya!
Ideologi membunuh ideologi!
Baudrillard terbahak. Sapu tangan yang tadi ia kucek, dikeluarkannya kembali dari sakunya, ia kibas-kibaskan sampai berkibar lebar, lalu ia lipat dua, lalu ditempelkannya ke mulutnya, dan kedua ujungnya ia ikatkan ke tengkuknya, jadi masker!
Ia kini optimis, tak lagi skeptis![]
Ilustrasi: licensetoblog.com
Pengkaji agama dan budaya, direktur Alamtara Institute dan founder Kalikuma Library & EduCamp NTB