KEMARAU menerobos gerbang mayapada, merekah seluruh tanah yang kupijak, orang kampung mengalami kelangkaan air, aku datang memenuhi permintaan Maci bertemu dengan keluarga besarnya. Perasaanku sudah tidak enak begitu Pak Wila yang berkopiah hitam melototi dan mengacuhkanku sesaat setelah takzim padanya. Ayah Maci yang sudah berumur setengah abad tersebut tidak merestui hubunganku dengan Maci. Dengan tercekak Maci menyampaikan bahwa di mata keluarganya aku tidak lebih dari butiran debu.
Maci berusaha menahanku dengan memberikan alasan-alasan yang menurutnya rasional, tetapi tidak mampu menghalangi langkahku walau selangkah, pamit. Dia mengantarku dengan lambaian tangan dan tangis. Nanar tatapannya melihat kakiku melangkah dengan muka tertunduk. Dia tidak tahu kalau di tepi bibirku tersungging senyum, bahagia karena lebih cepat mengetahui tabiat keluarganya.
“Maaf, Ngguda.” Maci mendatangiku untuk menimba maaf di telaga maafku yang luas. Ini kesempatanku menitip pesan kepada bapaknya yang alim itu, bahwa kelak beliau akan berkalang tanah dan menjadi debu sebelum menemui Tuhan-nya. Aku memang butiran debu, tetapi suci dan menyucikan bagi musafir yang hendak tayamum.[]
Malang, 05 Agustus 19
Ilustrasi: detik.com
Pendiri Komunitas Mbojo Matunti, penulis novel Cinta Tak Terlerai dan Mbojo Mambure. Beberapa Pentigraf dan Putibanya termuat dalam Kitab Pentigraf 4: Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau, Kitab Pentigraf Edisi Khusus: Sepersejuta Milimeter dari Corona, dan Kitab Puisi Tiga Bait tentang Corona: Hari Hari Huru Hara.