DALAM sejarah kelahiran NU aktor-aktor yang berperan sangat penting berasal dari kalangan kiai pesantren. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang khos yang menjadi “guru” bagi “semua” kiai pesantren salaf tradisional. Dari Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari, sampai KH. As’ad Syamsul Arifin Situbondo. Akar historis NU yang lahir dari rahim pesantren inilah yang menjadikan NU menjadi organisasi yang sangat kuat nuansa kulturalnya ketimbang strukturnya. Meski hal ini menjadi salah satu sebab kurang baiknya manajemen pengelolaan organisasinya. Tetapi hal ini juga menjadi kelebihan yang membuat NU tetap kuat bertahan dalam keunikan dan keaslian (genuine) Nusantara.
Perubahan penting dalam kultur organisasi NU terjadi ketika NU sudah mulai ‘meng-kota’ yang dibawa oleh KH. Wahid Hasyim yang lintas pergaulannya memang sangat terbuka. Orang-orang pergerakan dan para saudagar mulai tertarik berjuang lewat NU. Tren ini semakin menguat ketika NU bergabung dengan Masyumi pasca kemerdekaan. Tren politisasi NU semakin mengental ketika NU berpisah dari Masyumi dan berdiri sebagai parpol. Sejak saat itu posisi pesantren semakin lemah dalam struktural NU, meskipun secara kultural masih sangat kuat.
Tren ini terus bertahan sampai Orde Baru ketika NU menjadi salah satu parpol “kuat” yang masih bertahan. Keadaan inilah yang memaksa rezim melakukan kebijakan “pengerdilan parpol” yang semakin menguatkan NU berdiri sebagai “oposan” politik rezim Orde Baru. Maka tak perlu heran jika sampai sekarang kultur kritis dan oposan masih dimiliki NU meskipun di sisi lain NU begitu nasionalis dalam hal menjaga ideologi NKRI.
Setelah mengalami “penganiayaan” politik cukup lama dan keras oleh regim Orde Baru, NU melepaskan diri dari PPP yang merupakan hasil fusi parpol-parpol “Islam”. Kembali ke khitah NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan membuat tren baru muncul yakni hadirnya kalangan aktivis LSM dan akademisi. Sosok Gus Dur yang lebih kental sisi kecendekiawanannya, mendorong beberapa aktivis dan akademisi kampus bergabung dalam NU. Termasuk di dalamnya para “nyai” aktivis pesantren yang bergabung di Fatayat dan Muslimat NU.
Tentu saja sebagian besar dari mereka masih punya latar pesantren yang cukup kuat. Paling tidak mereka adalah santri secara kultural. Tren ini semakin menguat sampai era reformasi, yang kemudian melahirkan gerakan “NU” kembali ke politik lewat PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) bentukan Gus Dur. Inilah era gelombang kedua politisasi NU begitu kuat dan terus berlangsung hingga saat ini.
Masuknya kalangan politisi, kelompok aktivis gerakan NGO/LSM dan akademisi membuat NU secara struktural semakin jauh dari orang pesantren. Meskipun di sisi lain terutama di kalangan Bu Nyai berlaku sebaliknya, para perempuan NU justru berusaha menarik kembali NU ke dalam rahim pesantren dengan cara yang lebih halus dan relatif tanpa gangguan politis. Hanya ada beberapa kiai yang konservatif yang resisten, meskipun mereka tidak bisa memberikan penawaran lain.
Era reformasi juga menjadi sebab arena muktamar mengalami intervensi politik dari oknum-oknum politisi NU yang ada di semua parpol. Inilah yang membuat beberapa kalangan kiai khos pesantren mulai mengambil jarak dengan NU dan berupaya tidak masuk dalam struktur organisasi NU, meskipun secara kultural tetap menjadi bagian tak terpisahkan. Dalam fase ini juga terlihat mulai menguatnya tokoh kampus yang “dipaksakan” masuk dalam struktur kepengurusan. NU menjadi tempat yang relatif aman untuk melakukan “perselingkuhan” bagi para politisi, pejabat dan intelektual yang kemudian semakin mendominasi NU struktural dan bahkan mulai merambah ke “kultural”. Saat ini para akademisi banyak yang kemudian merangkap menjadi “kiai”. Terutama di area perkotaan.
Sepintas lalu tren ini nampak menguntungkan bagi NU struktural dan kultural. Namun jika tren “politisasi” NU ini terus berjalan, maka di masa depan akan berdampak semakin menjauhkan dari pesantren. Dengan demikian maka masa depan NU akan suram. Gejala ini sebenarnya sudah sangat nyata terlihat dengan munculnya friksi yang semakin meluas dan mendalam di tubuh NU. Munculnya gerakan “NU garis lurus” yang juga melibatkan beberapa kiai pesantren menjadi salah satu indikasi akan gejala ini. Meskipun belum sampai pada level “mengkhawatirkan”, tetapi jika tren ini tidak disikapi secara bijak maka akan sangat merugikan NU di masa depan.
Beruntung sekali NU yang didirikan oleh para Wali Allah ini tetap dijaga Allah melalui para kekasih-Nya. Di saat legitimasi para kiai pesantren mulai luntur di NU struktural, karena kuatnya pengaruh politisi dan akademisi. “lahirlah” sosok Gus Baha yang murni “hasil didikan” dari “dunia pesantren salaf” dan mulai membangkitkan dan menguatkan kembali posisi kiai dan nyai pesantren di NU.
Keputusan memilih Gus Baha untuk masuk dalam struktur PBNU adalah salah satu keputusan paling strategis yg bisa menguatkan kembali ikatan NU dan dunia pesantren. Sebab tren NU dikuasai kalangan akademisi terus meningkat yang didukung para aktor politik. Masuknya Gus Baha bisa mengimbangi hal itu, sekaligus menandai bahwa pesantren masih cukup kuat dan mampu melahirkan sosok ulama yang kualitasnya tidak jauh berbeda dan bahkan lebih tinggi dari kalangan “ulama kampus”.
Tren lahirnya “Gus Baha” ini harus terus dipertahankan agar lahir ‘Gus Baha-Gus Baha’ baru yang bisa mengimbangi perkembangan dan dinamika sosial ummat. Terutama dalam menjaga NU di masa depan agar tidak tercerabut dari akar tradisi pesantren.[]
Ilustrasi: republika.co.id
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya, alumni Partnership in Islamic Education Scholarship, The Australian National University.