Ironi Setetes Mani

WAJAH Tsania Marwa terlihat sembab. Sesekali ia menyeka air matanya. Meski ia berusaha keras menutupi kesedihannya,  akhirnya tumbang  juga. Sebelumnya ia selalu terlihat tegar menghadiri persidangan dan mediasi panjang yang melelahkan di pengadilan untuk mendapatkan hak asuh kedua anaknya. Buah cinta pernikahannya dengan Attalarik Syah. Dia juga rajin mendatangi KPAI agar kedua buah hatinya kembali ke pangkuannya. Tapi perjuangannya kandas. Sekadar melepas rindu dan mendekap anak-anaknya saja kesulitan. Mantan suaminya mempersulit akses dia bertemu dengan sang buah hati. Padahal naluri keibuannya tersandera oleh rasa rindu. Dia akhirnya merasa kelelahan sendiri.

Dalam banyak kasus kandasnya biduk rumah tangga, pembagian harta gono-gini dan perebutan hak asuh anak merupakan periode paling rumit dan menegangkan. Masing-masing pihak merasa paling berhak. Kendati banyak pasangan yang bercerai itu beralibi bahwa perjuangan mendapatkan hak asuh itu demi kasih sayang terhadap anak, tapi melihat ketegangan dan saling gugat itu membuat saya jadi ragu. Benarkah perjuangan itu didasarakan atas kepentingan terbaik anak? Benarkah perjuangan keras itu karena rasa sayang terhadap sang buah hati?

Kalau saya tidak melihat hal itu sama sekali. Faktanya, sengketa kedua pihak kerapkali membuat anak justru jadi korban. Mereka terombang-ambing antara berbagai tarikan, intrik, dan perebuatan pengaruh kedua orangtuanya. Mereka terlunta-lunta dan jadi bulan-bulanan sorotan media. Mereka kehilangan rasa aman dan nyaman dan hak-haknya sebagai anak. Situasi itu tambah rumit jika kedua pihak bersikeras untuk mendapatkan hak asuh anak, bahkan sampai menempuh cara kekerasan.

Bagi orang awam, perebutan hak asuh itu sulit dimengerti. Bagaimana mungkin dua orang yang semula hidup bersama bertahun-tahun, lalu berubah ‘ganas’ dan berhadap-hadapan di pengadilan?  Mengapa tidak ada keikhlasan untuk menyerahkan hak asuh itu kepada salah satu pihak diantara mereka? Bukankah secara biologis maupun hukum anak-anak itu ‘milik’ keduanya? Mengapa tidak ada kebesaran hati untuk melihat anak-anak itu tumbuh dengan ceria di bawah pengasuhan bersama ayah dan ibu, meski keduanya telah berpisah? Padahal perceraian itu saja sudah menimbulkan luka buat anak-anak.

Saya jarang melihat pasangan yang sudah berpisah kompak membesarkan dan mengasuh anak-anak mereka. Padahal sebagai pesohor setiap ucapan, tindakan dan keputusan mereka akan memberikan pengaruh (positif atau negatif)  bagi publik khususnya para fans mereka. Apapun yang mereka lakukan niscaya akan memberikan dampak pada masyarakat. Satu  pasangan suami istri yang akur dan harmonis misalnya, jelas memberikan “keteladanan” kepada para fans akan pentingnya menyayangi keluarga, memuliakan pasangan, atau memberi perhatian pada anak-anaknya. Begitu pula sebaliknya, aksi saling lapor, saling gugat atau perebutan hak asuh anak dengan cara-cara brutal jelas memberikan preseden buruk bagi publik.

Baca Juga  GOW dan Pengembangan Organisasi Perempuan

Meski saya seorang pria, tapi saya gagal paham dengan pria yang menghalang-halangi seorang ibu bertemu anak-anaknya. Yah, anak yang dikandung dan dilahirkan ibunya dengan berdarah-darah, dengan segenap penderitaan yang tak terkira bahkan dengan mempertaruhkan  hidup dan mati. Setelah anak-anak itu terlahir ibu menyusuinya, mengasuhnya penuh kasih.

Demi buah hati, seorang ibu rela terganggu tidurnya, mengganti popoknya tengah malam, membuatkan susu, harus terjaga ketika mendengar anaknya menangis, memandikannya, memberinya baju, bedak dan wewangian. Jika anak sakit maka ibulah yang paling gelisah. Dia harus memastikan anaknya aman dari gigitan semut atau nyamuk yang mengganggu tidurnya. Jika nafsu makan anaknya buruk ia harus berpikir keras meracik aneka menu untuk mengembalikan selera makan itu. Begitu seterusnya.

Sedangkan seorang suami? Barangkali hanya sedikit kaum pria yang bersedia turun tangan membantu mengurusi tetek-bengek  anak. Atas nama sibuk bekerja, porsi pria paling sekadar mengantar anak-anak ke sekolah, mengambil rapor, atau sesekali bermain dengan buah hati beberapa menit. Selebihnya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah baik karena  urusan pekerjaan, hobi atau sekadar kongkow dengan teman-temannya.

Atas dasar itu maka kasih sayang seorang ibu pastilah lebih besar, lebih melimpah. Tetapi mengapa para pria itu begitu egois, hingga menghalang-halangi seorang ibu menemui anak-anaknya?  

Saya melihat sikap egois “makhluk kasar” ini dipengaruhi juga oleh relasi gender yang timpang dalam struktur sosial masyarakat kita. Seperti kebanyakan masyarakat patriarkis lainnya, seorang  pria sejak kecil diajarkan memiliki perasaan lebih unggul (superioritas) atas perempuan baik itu  saudara, rekan kerja, atau istrinya. Superioritas itu  akhirnya berdampak  terhadap marjinalisasi, subordinasi, beban-ganda, stereotipe dan diskriminasi atas kaum perempuan.

Dalam konteks perebutan hak asuh anak tadi, jelas sekali superioritas pria dibangun di atas klaim kepemimpinan dengan basis peneguhan argumentasi keagamaan, ekonomi maupun hasil kontruksi sosial. Di atas semua itu, superioritas itu juga dibangun atas konsep bahwa pria adalah “pemegang saham” atas terjadinya peristiwa kelahiran manusia melalui setetes mani. Di dalam Islam pun, superoritas tersebut memberikan sejumlah keistimewaan kepada pria dalam banyak hal: hak waris, imam salat, kesaksian, kebolehan memukul istri, hingga wali nikah.

Baca Juga  Amina Wadud: Dari Karya ke Kontroversinya

Khusus berkaitan dengan hak perwalian, ada begitu banyak kasus perjuangan seorang ibu yang harus mencari keberadaan mantan suaminya ketika hendak menikahkan anak gadisnya. Kendati sang mantan ini tidak pernah menafkahi keluarganya atau bahkan menyangkal hak anak-anaknya atas dirinya, tapi karena syariat Islam mengharuskan adanya wali sebagai syarat sahnya pernikahan, maka kaum perempuan mesti berjuang keras mencari keberadaan sang wali. Kadang menempuh jalan panjang dan berliku, terlebih jika mantan suaminya sulit dilacak rimbanya. Semua dilakukan  demi mencari sebuah pengakuan; demi kejelasan silsilah.

Bayangkan, betapa  beratnya beban perempuan itu dan sebaliknya alangkah enaknya jadi pria. Maka, demi melihat kesedihan Tsania Marwa itu tiba-tiba saya merasa geram jadi pria. Saya  ikut merasa sesak oleh naluri kasih seorang ibu yang tertahan oleh kesombongan, egoisme dan kepongahan kaum pria. Yakni, kepongahan  atas nama setetes air mani hasil ejakulasi itu. Ya, semuanya hanya  gara-gara setetes mani. Dan kini, setetes mani itu berbuah  jadi tetesan air mata. Jika seseorang yang menghalang-halangi proses penyidikan bisa didakwa, maka hal yang sama seharusnya bisa diberlakukan pada pria yang menghalangi seorang ibu bertemu anaknya. Dasar air mani sialan!     

1 komentar untuk “Ironi Setetes Mani”

  1. Bisa jadi bahan evaluasi dan refleksi berpikir bagi siapa aja yang membangun kehidupan berumahtangga. Bukankah Imam Ali pernah menyatakan: “milikilah ilmu menikah sejak usia 25 tahun sebelum menikah”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *