“Sebaik apapun tim melakukan polesan pencitraan, jika sang kandidat tidak mempunyai jiwa leadership maka akan sulit sekali untuk menang. Walaupun tim sukses yang merancang segalanya namun kepemimpinan kandidat merupakan daya tarik tersendiri yang akan membuat tim bersemangat dan militan sehingga berbicara kepada orang lain dengan yakin dan percaya.” (hal. 206).
Demikian salah satu bagian tulisan Stepi Anriani dalalm bukunya berjudul “Intelijen dan Pilkada: Pendekatan Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu”. Saat ini sedang riuh perbincangan Pilkada Serentak 2020 sebagai mekanisme demokratis dalam memilih pemimpin daerahnya. Buku ini menjadi relevan dibuka kembali.
Meskipun pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berakhir, tapi DPR dan Pemerintah bersepakat akan menyelenggarakan pilkada pada 9 Desember 2020 di 270 daerah se-Indonesia. Para penyelenggara pilkada, kontestan dan partisipan tentu ditekankan untuk menaati protokol kesehatan.
Konsekuensinya, para calon kepala daerah dituntut lebih canggih dalam berkampanye baik secara online maupun offline untuk menyampaikan visi misi dan program kerja di hadapan publik. Namun demikian, pasangan calon (paslon) perlu diingatkan secara serius agar tidak melakukan konvoi kerumunan, pengerahan massa besar-besaran untuk mencegah penyebaran Covid-19 cluster Pilkada.
Oleh sebab itu, KPUD dan Bawaslu mesti memberikan sanksi yang tegas bagi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Pesta demokrasi tidak sekadar mewadahi kedaulatan rakyat, tapi juga harus memerhatikan keselamatan rakyat.
Beragam instrumen dipakai oleh para kandidat untuk memenangkan kontestasi demokrasi elektoral. Di tengah geger corona dan semarak disinformasi, fake news dan politik uang, maka ‘pendekatan intelijen’ dapat diterapkan sebagai salah satu strategi alternatif dengan memperkuat “intelligent minded”. Sehingga pilkada penuh dengan kontestasi ide, adu gagasan programatik, bukan semata-mata pertarungan logistik bersifat transaksional yang turut membonsai demokrasi.
Judul Buku: Intelijen dan Pilkada: Pendekatan Strategis Menghadapi Dinamika Pemilu
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Penulis: Stepi Anriani
Cetakan I 2018
Tebal: 225 halaman
Buku ini menjadi menarik untuk diteropong dalam konteks apa dan bagaimana peran intelijen dalam pilkada. Perempuan hebat yang berpengalaman di dunia intelijen ini mengungkapkan hasil kontemplasinya, bahwa intelijen & politik adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Politik adalah ilmu atau cara-cara mendapatkan kekuasaan, merebut atau mempertahankan kekuasaan, membagi kekuasaan, serta menjalankannya. Sementara intelijen merupakan serangkaian kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencapai dan merebut kekuasaan tersebut.
Apa yang diurai oleh Stepi Anriani dalam buku ini adalah terobosan intelektual yang khas, memadukan intelijen dan pilkada, membuka tabir intelijen yang penuh kabut, angker, rahasia dan misterius menuju alam intelijen yang terang dan membumi. Pengetahuan intelijen seperti forecasting, strategi, dan skenario adalah beberapa pembahasan menarik yang dikupas Stepi Anriani secara mendalam.
Buku berisi 225 halaman ini diawali dengan Bab I yang memperkenalkan intelijen sebagai informasi, pengetahuan, produk, kegiatan (penelitian intelijen, kontra intelijen, operasi intelijen, spionase, penyamaran), proses, organisasi, profesi, tugas, peran, dan fungsi intelijen.
Bab II berisi bagaimana mempelajari intelijen. Bab ini dimulai dengan pembahasan tentang ancaman megatren 2030, sebagai perkembangan lingkungan global yang perlu dimonitor dan diantisipasi oleh aktor keamanan dan insan intelijen. Selanjutnya, bagaimana belajar intelijen dari kerajaan (Ken Arok, Sun Tzu), belajar intelijen dari wanita (Matahari, Tokyo Rose), dan belajar intelijen dari legenda (Benny Moerdani dan Ali Moertopo).
Bagian III berisi catatan tentang Pilkada langsung, fenomena Pilkada serentak, indeks kerawanan pilkada dan rekomendasi pilkada. Sebagai catatan, Pilkada serentak tahun 2020 merupakan lanjutan dari tiga tahap Pilkada serentak yang telah dilaksanakan sebelumnya pada tahun 2015, 2017, dan 2018.
Bab IV berisi tentang penyakit pemilu berupa fenomena money politic (politik uang), pola dan bentuk praktik politik uang, dan faktor-faktor penyebab politik uang.
Perlu digarisbawahi, sebagaimana ditulis Stepi, bahwa money politic tentunya berbeda dengan cost politik. Jika cost politik adalah harga yang harus dikeluarkan untuk berpolitik seperti pembelian atribut kampanye, pemesanan bendera partai, kemeja, atau seragam tim sukses dan lain-lain, maka money politic meminta pihak tertentu memberikan suaranya atau jual beli suara (hal. 137-138).
Bab V berisi tentang kekuatan media sosial (medsos). Stepi menggambarkan media sosial sebagai arena baru kampanye, generasi milennial penguasa medsos, dan bagaimana cara memperebutkan suara milennial. Dengan demikian, strategi kampanye online melalui medsos perlu menjadi perhatian utama para kandidat dan tim suksesnya, dengan membentuk pasukan cyber yang solid dan militan.
Bab VI berisi pendekatan intelijen, memenangkan pilkada tanpa kecurangan. Stepi menjelaskan cara intelijen dalam rekrutmen tim sukses, karakter intelijen bagi koordinator, strategi, kontra propaganda (menentukan kawan dan lawan, membentuk tim cyber yang andal, merancang strategi perang di medsos), penggalangan dan menghadapi lawan.
Bab VII berisi pembahasan bagaimana menguatkan kandidat melalui personal branding, leadership dan komunikasi. Bagian akhir buku ini, Stepi mengupas tentang marketing politik untuk menaikkan elektabilitas kandidat, pentingnya jiwa kepemimpinan kandidat, membangun komunikasi politik, termasuk fungsi konsultan politik.
Menurut Stepi, pada saat melakukan rekrutmen tim sukses, kandidat dapat mengadopsi metode rekrutmen bagi agen atau informan intelijen. Dalam proses rekrutmen agen intelijen terdapat latar belakang yang dapat memengaruhi, di antaranya MICE (Money, Ideology, Chemistry, and Ego). Hal ini dapat juga dilakukan dalam rekrutmen tim sukses. (hal. 174).
Stepi Anriani, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, melalui bukunya ikut memperkaya perbincangan seru seputar dunia intelijen dan politik di Tanah Air. Sekadar catatan kritis, alangkah menariknya kalau Stepi menambah isi buku ini dengan contoh-contoh praktik terbaik di beberapa daerah bagaimana operasi intelijen dan komunikasi pemasaran politik dikombinasikan, sehingga berhasil memenangkan sang kandidat.
Saya menyadari, tak mungkin sebuah ‘rahasia’ diungkap seluruhnya ke hadapan publik. Bukan hanya itu, saya teringat dengan adagium yang berbunyi bahwa data dan informasi itu mahal. Lebih-lebih ilmu dan praktik “intelijen”. Kita berharap kenduri demokrasi berjalan lancar, dan serius menaati protokol kesehatan serta stabilitas keamanan yang terjamin demi kemaslahatan bersama.
Karena itu, pihak Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) yang dipimpin oleh seorang Kepala BIN Daerah (Kabinda) bersama Kapolda, Panglima Kodam, dan instansi terkait menjadi penting untuk memastikan suksesi kekuasaan pada level provinsi, kabupaten dan kota berlangsung damai, sehat dan demokratis.
Dengan demikian, para kandidat, tim sukses, aktivis, pengambil kebijakan, pemerhati intelijen dan segenap penikmat politik dari semua lapisan perlu membaca buku ini. Dalam konteks pemenangan kandidat di arena pilkada, pendekatan intelijen berdasarkan uraian buku ini diharapkan dapat menghadirkan demokrasi yang berkualitas dan menghasilkan pemimpin di pelbagai daerah yang mengutamakan kepentingan rakyat selaku pemberi mandat.[]
Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNHAS, Makassar; peneliti di Charta Politika Indonesia, pernah bergabung di BNPT, serta aktif dalam kegiatan riset seputar komunikasi politik, hubungan internasional, dan dinamika politik domestik.