KETIKA dihubungi untuk terlibat dalam salah satu rangkaian proses Pilkada Kabupaten Bima, yakni Debat Terbuka, saya perlu klir-kan, mengapa memilih kami sebagai tim penyusun materi. Jawaban pihak KPU, bahwa kapasitas kepakaran, rekam jejak integritas, dan independensi adalah kriteria utama tim, membuat saya tidak bisa bilang tidak. Saya rasa demikian juga tiga anggota tim lainnya.
Dalam rapat pertama daring, kami menyepakati tupoksi dan etik, hal penting yang memungkinkan tim bekerja secara profesional. Kami juga berbagi fokus sesuai latar pendidikan dan area studi kami. Dengan itu tim mengekplorasi kemampuan akademik tanpa intervensi untuk menghasilkan materi debat yang berkualitas dan sesuai persoalan dan kebutuhan daerah. Tema utama dan sub-tema juga disepakati bersama antara KPU dan tim, membidik potensi dan strategi daerah untuk menemukan modus politik bagi kesejahteraan rakyat di Kabupaten Bima.
Pada rapat kedua luring, kami terutama membahas dan menyepakati aspek-aspek yang perlu digali dari para calon dalam debat, yakni kompetensi, yang menjadi alasan mengapa mereka layak tampil dalam pilkada sebagai calon pemimpin daerah. Kompetensi itu antara lain komunikasi, kecerdasan, kapasitas manajerial, kepekaan dan keberpihakan pada hajat hidup rakyat. Di dalamnya ditekankan kemampuan membaca peluang, menganalisis, menyelaraskan, serta mengambil sikap dan kebijakan yang tepat dan berpihak rakyat.
Pada rapat internal tim yang bersifat tertutup, aspek-aspek itu diselaraskan dengan tema pokok dan sub-tema. Untuk itu, kami membutuhkan waktu untuk menelaah secara cermat dokumen visi-misi dan program para paslon, RPJMD, RPJMN, juga menelusuri rekam-rekam komunikasi publik yang dilakukan oleh paslon dan tim suksesnya terutama melalui media massa dan sosial. Ini penting, agar materi debat yang tersusun tidak bias dan tidak terkesan menguji. Kami tahu, ini debat publik, bukan ujian skripsi, tesis atau disertasi. Dan output penting debat publik adalah komitmen paslon kepada rakyat dan sebagai umpan baliknya rakyat memberikan koersi (persetujuan), partisipasi, juga keberpihakan dalam pilkada.
Telaah visi-misi dan program paslon dilakukan dengan metode analisis isi (content analysis) dan peta konsep (concept map). Dari situ diketahui paslon mana berbicara apa, paslon mana tidak berbicara apa, paslon ini menekankan aspek ini, dan paslon itu menekankan aspek itu. Tim juga menggali dengan cara curah pendapat (brainstorming) tentang permasalahan-permasalahan dasar dan konteks sosial-budaya-ekonomi-politik yang dihadapi masyarakat Kabupaten Bima dan pemerintahnya. Perdebatan seru nan konstruktif sering terjadi dalam sesi ini, karenanya rapat berlangsung hingga dini hari.
Kami menyusun 23 materi, untuk 9 di antaranya dipilih secara acak oleh paslon pada saat debat. Materi menyasar aspek-aspek yang dominan disinggung dan aspek yang tidak disinggung pada rumusan visi-misi padahal menyangkut hajat hidup rakyat. Bobot materi juga mempertimbangkan data (kuantitatif dan kualitatif) dan sebisa mungkin menghindari isu-isu “berat dan sensitif” untuk menutup celah bagi munculnya black campaign dan meminimalisir “emosi primordial-friksional”. Untuk yang terakhir ini, komisioner KPU terlibat me-review dengan tetap menjaga konfidentialitas.
Untuk meminimalisir kesalahan, tim memerlukan waktu untuk melakukan review materi setelah sehari mengalami pengendapan dan penjernihan. Typo (kesalahan ketik), diksi, frase, redaksi diperiksa kembali sehingga materi menjadi lebih jelas, fokus, tidak ambigu atau bertele-tele. Ini memang disiplin standar yang selalu diterapkan dalam kerja akademik. Yang lebih penting untuk diperiksa adalah potensi “berpihak” atau berat sebelah. Untuk yang terakhir ini kami selalu pasang ingatan tentang pakta integritas yang telah kami tanda-tangani. Setelah dianggap sempurna, barulah kami pede untuk menyegel materi dan menyerahkannya kepada pihak KPU.
Sampai di sini sebenarnya pekerjaan tim penyusun materi selesai. Karena nomenklaturnya adalah tim penyusun materi, bukan tim panelis. Namun kehadiran tim dalam acara debat sangat urgen, untuk jaga-jaga jika ada paslon yang “nyentrik” dan tiba-tiba ngambek: “saya nggak mau jawab karena pertanyaannya salah!” Tim penyusunlah yang bertanggungjawab dan berkompeten untuk mengurai perkara demikian. Tim juga mengawal materi baik-baik saja, sesuai dengan dokumen yang disegel, tidak mengalami reduksi, penambahan, atau “masuk angin di tengah jalan.” Cara kerja seperti ini terkesan strict, tetapi memang ini adalah bagian dari penerapan integritas tim. Dan itu telah disepakati dengan penuh bahagia bersama KPU.
Lebih dari itu, tim memainkan peran sebagai pengamat yang melakukan amatan detail dan mencatat proses dan bobot debat untuk di-review. Hasilnya akan berupa tinjauan kritis jalannya debat serta penilaian bobot jawaban, komentar, dan pertanyaan para paslon. Catatan ini bisu belaka, tidak serta-merta berpengaruh kepada pembentukan opini publik tentang kualitas komunikasi dan penguasaan materi dari para paslon. Tetapi ini tetap saja penting bagi KPU sebagai rujukan bagi peningkatan kualitas debat publik pada kesempatan yang lain.
Debat terbuka sendiri bertujuan terutama untuk mengukur “isi kepala” juga sedikit “isi hati” dari para paslon. Karenanya debat ini bernilai intelektual: sejauh mana mereka berkemampuan mengidentifikasi masalah, menguasai setting sosio-kultural, manganalisis peluang dan tantangan, mengembangkan perencanaan strategik bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat. Ini juga ajang curahan hati paslon: mengapa daerah ini tampak susah berakselerasi, berinovasi, dan berkompetisi; mengapa rakyat minim partisipasinya; dan mengapa orang-orang bermodal dan pintar susah terlibat membangun daerah dari dalam. Dan seterusnya, dan semacamnya.
Sesi-sesi penyampaian visi-misi, pendalaman, saling bertanya dan berdebat, terbukti, mengungkap “sisi tersembunyi” dari para calon pemimpin daerah. Ada yang fokus pada aspek-aspek tertentu tapi abai dengan hal-hal lain. Ada yang cenderung normatif, ada juga yang pragmatis. Ada apologetik. Utopia, melankolia, romantisme sambung-menyambung jadi satu. Ada yang mengemas “anggur yang sama dengan botol berbeda” atau menuangkan susu kadaluwarsa ke dalam gelas baru. Ada yang mendaku “milenial” padahal substansinya “kolonial” atau sebaliknya. Dan seterusnya.
Dari sekian materi yang paling mantul dalam ingatan saya adalah debat mengenai potensi daerah ini yang seolah “hanya” garam dan bawang. Memang, rasanya geliat sosial-ekonomi daerah ini harus diselerakan, dirangsang dan dilecut dengan racikan “sambal” yang maknyuss. Juga sambal dan bumbu pilkadanya. Duh, siapa bilang pilkada melulu soal banyak-banyakan massa, posko atau adu warna, atau sekedar konvoi-konvoi dan hura-hura? Buktinya, setelah acara debat terbuka itu, muncul quote-quote yang mencerahkan dari butir-butir gagasan dan cetusan paslon dalam debat itu.
Dan, siapa bilang debat terbuka itu hanya aksesori politik? Buktinya, setelah acara debat itu ada banyak curhatan bahwa arah dukungannya berubah, atau bertambah yakin atas pilihan politiknya.[]
Foto by Aba Du wahid
Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal