Abym menunjukan saya ajakan fundraising di akun media sosialnya. Katanya modal itu yang akan dijadikan biaya pengadaan sumber air bersih bagi warga. Beberapa orang telah menghubungi dan menyatakan kesiapannya membantu. Bahkan sudah ada yang transfer dananya. Pemuda-pemuda kampung yang masih jernih pikirannya siap menyumbang tenaganya.
Ternyata orang baik belum punah. Hanya butuh mengetuk pintu; rumah dan hatinya. Penggalangan dana yang dilakukan Abym menuai hasil. Rencana Abym segera dijalankan. Warga butuh air, sekarang juga.
“Kita cari mata air yang tersisa. Kita pasang pipa hingga ke perkampungan dan tempat-tempat yang terjangkau oleh warga. Di sarana ibadah jangan sampai ketinggalan. Sembari mengisi air, mereka sekaligus bisa beribadah bila bertepatan waktunya.”
Kali ini saya tidak mendebat Abym. Kepercayaannya melibatkan saya dalam proyek mulia ini sungguh menjadi pengalaman pertama yang berharga bagi saya. Segala hal, jika bernilai baik harus didukung. Anak muda perlu melibatkan diri pada setiap kebaikan.
Kami tidak membutuhkan waktu lama untuk mewujudkan rencana. Modal sosial masih ajeg; kerja sama. Mereka hanya perlu digerakkan saja. Mereka butuh lokomotif.
Hasilnya bisa dinikmati. Kami sudah dapat melihat pancaran rona bahagia memenuhi setiap wajah warga. Mereka tidak lagi naik turun bukit untuk mengambil air. Walau tidak seperti saat hutan mereka perawan, di mana air sumur dengan mudah didapatkan di halaman rumah, minimal kami telah membantu meringankan beban mereka mendapatkan sumber air bersih untuk kehidupan.
Menyaksikan warga berduyun-duyun mengantre mengambil air, saya ikut terharu. Kehilangan kata-kata? Tentu. Itu hal lumrah yang dirasakan oleh setiap relawan kemanusiaan.
Pahlawan kesiangan? Tentu juga ada. Manusia seolah-olah; terlibat, klaim, dan membusungkan dada penuh keakuan. Mereka selalu lahir ketika hal mustahil telah terwujud, dan pesimis saat permasalahan muncul.
Saya memanggil Abym yang lagi mengamati aliran air di pancuran setelah seorang pemuda memberitahu kopinya sudah siap disesap. Kopi cita rasa lokal berlabel Dumudou Kahawa telah tersuguhkan di bawah pohon kemiri tua. Abym sesegera mungkin datang, kopi baginya adalah kekasih termanis; pahitnya kadang menyakiti, tapi merana jika ditinggalkan.
Baca Juga: Mata Air Air Mata (1)
Abym meraih cangkir kopinya sesaat sebelum pertanyaan saya meluncur dari bibir bersama hangat hawa kopi. “Hai pahlawan! Ingatkan kamu saat menangis di pinggir kali? Apa yang berhasil membuatmu seperti bayi yang merindukan dada ibunya?”
“Hai sobat, jangan panggil saya anak kecil. Uppsss, maksudnya jangan panggil saya pahlawan. Kita sudah punya pahlawan.”
“Adakah pahlawan selain kamu?”
“Tentu,” katanya singkat. Tangannya menunjuk. Itu, itu, dan itu. Mengarah kepada beberapa orang yang baru muncul. Mereka teman-teman kami juga.
“Patut mereka dapatkan?”
Kembali Abym mengatakan “tentu”. Abym menarik napas dalam-dalam sebelum lanjut meneguk kopinya. “Mereka pahlawan kita, hanya saja terlambat hadir. Pahlawan kesiangan.”
Saya mengabaikan masalah pahlawan kesiangan. Abym belum menjawab pertanyaan saya lainnya. Saya masih dibuatnya penasaran.
Cita rasa robusta Kawae telah membuat Abym menerawang. Membayangkan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya yang memberi manfaat besar. Liar. Pikirannya liar. Meloncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Begitu satu selesai, pekerjaan lain dimulai. Semuanya tak pernah tergelincir dari relnya: keinginan menyenangkan hati warga.
“Tentang air mata di pinggir sungai itu?” Saya mendesak Abym. Melihatnya waktu itu mengingatkan saya pada novel Paulo Coelho berjudul Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis.
Matanya berkaca, tetapi sisa kemarahannya masih menyala di tungku wajahnya. Ternyata Abym dihina, semua rencananya dianggap halusinasi. Difitnah mencari keuntungan pribadi dari para donatur. Dan, paling parah dianggap sebagai ajang cari muka di hadapan warga dan pejabat.
“Siapa yang menuduhmu seperti itu?”
“Pahlawan-pahlawan kesiangan kita,” jawabnya datar.
Matahari tenggelam di balik bukit. Para wanita menuju rumahnya menenteng jerigen, menjinjing ember. Robusta Kawae kian memesona dengan aroma khasnya. Menyeruak menembus manca negara.[]
Malang, 1 Januari 2021
Ilustrasi: pixabay.com
Pendiri Komunitas Mbojo Matunti, penulis novel Cinta Tak Terlerai dan Mbojo Mambure. Beberapa Pentigraf dan Putibanya termuat dalam Kitab Pentigraf 4: Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau, Kitab Pentigraf Edisi Khusus: Sepersejuta Milimeter dari Corona, dan Kitab Puisi Tiga Bait tentang Corona: Hari Hari Huru Hara.
Pingback: Mata Air Air Mata (1) – Alamtara Institute