Sebelum Subuh
Kau tentu tahu kapan saat terdekat seorang hamba dengan Tuhannya. Ya. Sepertiga malam terakhir. Dan karenanya sejak subuh buta ia telah bermunajat melepaskan segala himpitan. Ia tak dapat tidur, ia bahkan sudah dua bulan kurang makan. Sebaliknya termakan oleh dilema.
Saat si gagah datang melamar dua bulan lalu, ikal masih di rantauan. Seusai ia diwisuda, ikal tidak dapat pulang bersamanya. Ia hanya mengantarnya di pelabuhan menaiki kapal. Lalu melambaikan tangan selayaknya seluruh pengantar di tiap pelabuhan. Terus melambai tiada jemu, hingga kapal terlihat jauh dan mengecil di tengah laut. Si ikal kala itu belum selesai kuliahnya, masih menyisakan tugas akhir, skripsi.
Itu tugas akhir yang berat, karena salah satu dosen pembimbing yang ditunjuk jurusan untuknya, adalah ayah dari salah seorang teman, yang dulu menghabiskan waktu hampir tiga bulan di RS Bayangkhara untuk operasi rekonstruksi tulang. Tulang hidungnya remuk terkena tendangan salto ikal saat rapat senat. Lelaki malang itu bahkan sempat menelan darah hidungnya sendiri karena shock. Tak heran hanya sang dosen pembimbing dan Tuhan yang tahu kapan skripsi itu akan disetujui.
Ahh ikal…
Malam ini pun ia tak dapat tidur tak dapat makan. Sanak saudaranya menganggap itu biasa. Sindrom calon pengantin. Gugup menghadapi dunia baru. Apalagi sesudah perhelatan ia akan segera dibawa ke kaki Gunung Tambora. Jauh dari keramaian.
Tapi itu makin baik kata Ibunya. Pengantin baru tak butuh keramaian. Hanya butuh berdua-duaan.
Dan kini ia sedang berdua dengan bayangannya. Mengharap sepenuh jiwa di sepertiga malam, agar Yang Maha Mengetahui memberinya jalan, petunjuk.
Setelah sholat subuh ia akan bersama si ikal. Tak hanya bersama bayangannya sendiri. Pikirnya mengawang antara bahagia dan nelangsa. Antara sedih dan bingung. Antara ragu dan senang.
Ia akan sholat subuh di masjid. Ini hari Kamis, Ibunya, bersama kelompok pengajiannya akan menggelar kajian menjelang dhuha sesudah itu. Ia akan minta izin keluar lebih awal. Sakit perut. Lalu menumpang di rumah terdekat di sebelah selatan masjid. Dekat kali. Ayah sahabatnya, yang juga penjaga kebun Ayahnya. Akan mengantarnya ke pinggir kali. Ia lalu akan berenang menyeberangi kali, di mana ikal telah menunggunya dengan dua lembar kain sarung, tembe nggoli. Ia akan sanggetu dan rimpu mpida. Lalu mereka akan menghilang ke arah selatan di kabut pagi. Sehari dua hari mereka akan bersembunyi. Lalu mencari jalan mencapai pelabuhan Sape. Dari sana mereka akan berlayar ke timur. Menjemput mimpi.
Pinggir Kali
“Ke mana?” Ibunya memandang lembut saat ia pamit untuk keluar.
“Ke pinggir kali bu. Sakit perut.” Ibu mengangguk mahfum. Mungkin mangga dan buah-buahan kiriman calon besan semalamlah penyebab.
Ina Sao membuka pintu belakang rumah bedek itu ketika kakinya menjejak tanah usai menyebrangi pintu pagar bambu.
Ama Sao menuntunnya keluar di pintu depan, mengajaknya menyebrang jalan setapak lalu menuruni pinggir kali dengan hati-hati.
Entah kecemasan yang mencekam atau kesunyian pinggir kali itu yang mencekik jalan nafasnya. Ia begitu gugup. Nafasnya satu-satu bahkan terdengar lebih kencang dari gemerisik air kali.
Ia membuka mukenah. Dua potong, atasan dan sarung, menyisakan gaun polkadot dan selendang merah jambu milik Umi yang menutupi kepala. Ia memilihnya sendiri tadi subuh sebelum ke masjid. Sebagai kenangan terbaik yang akan didekapnya entah sampai kapan.
Ia sedang mengangsurkan tangan menyerahkan mukenah pada Ama Sao ketika suara itu datang dari arah rumpun bambu.
“Kau masih memerlukannya untuk sholat dhuha arimeci. Simpan baik-baik.”
Suara itu mendekatinya dengan sekali lompatan. Gemerisik daun bambu kering dan longsoran tebing menyertai jejak kakinya.
Menarik dua kain putih dari tangan Ama Sao lalu mengangsurkan kembali padanya. Bersedekap di antara ia dan Ama Sao. Matanya tepat menikam jantungnya.
Ia merasakan tepi sungai amblas seketika. Separuh hatinya berdoa banjir bandang datang tiba-tiba. Membawanya jauh entah ke mana. Separuh hatinya dirajam malu, separuhnya dihentak gugup, separuhnya diremas rasa takut. Ahh, ia tak tau berapa potongan perasaan yang berkecamuk di hatinya.
“Ina Sao, oto arimeci mada kembali ke masjid. Pastikan ia bisa ikut sholat dhuha bersama Ma-nya.”
Suara itu mengembalikan pijakan kakinya. Ina Sao yang gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki mengulurkan tangan membimbingnya pulang.
Ah tidak, ia yang memegang tangan wanita paruh baya itu mendaki tebing. Menguatkannya untuk tetap berjalan. Sekujur tubuhnya goyah.
“Mboto-mboto kangampu Dae…,” ucapnya lirih. Meminta maaf. Entah untuk apa.
Berusaha keras agar tidak terpeleset. Menundukkan wajah dalam-dalam. Saat tiba di atas, ia memandang ke arah Ama Sao. Kuatir.
Didapatinya mata gagah sedangnmenatapnya. Ia merasa lehernya kembali tercekik.
“Jangan kuatir, tak akan ada yang tau. Dia bahkan tak ada di sana,” suara dari bawah sana menghentaknya.
Terkejut, ia meluruskan posisi badan memandang tepat ke arah si gagah. Penuh tanya.
“Kau tau arimeci, di sekolah pamong kami diajarkan membaca gelagat. Menganalisa setiap situasi, dan menganyam benang merah menjadi konklusi.” Bahkan panggilan sayangnya terdengar bagai ejekan. Sarkas.
“Jika tak percaya, aku bisa saja mengizinkanmu ke seberang sana. Tapi dia tidak di sana. Percayalah.” Ia menunjuk ke seberang kali yang diselimuti kabut.
“Mengapa?”
Sedetik kemudian ia menyesal telah bertanya. Lalu sunyi yang mencekam…
Dalam bingungnya ia ingin sekali bertanya bagaimana tiba-tiba si gagah ada di sini. Bagaimana ikal bisa tidak ada di sana. Bukankah semalam ia dan sahabatnya telah menyusun rencana. Bagaimana mungkin setelah dua bulan penuh dengan segala upaya dan janji-janji, ikal bisa ingkar. Mengapa?
Ia menelan ludah. Susah payah menelan semua tanya. Pahit.
Dalam dua lompatan si gagah telah berdiri dihadapannya. Sekolah pamong itu benar-benar membentuknya menjadi kuat dan sigap.
Gagah menatapnya tepat menembus jantung. Seolah siap menelannya kapan saja. Kali ini ia merasakan kakinya yang gemetar.
“Ayo segeralah bergegas,” ucapnya menunjuk arah jalan setapak. Di mana sahabatnya berdiri. Menunggu dengan wajah seputih kapas.
Ina Sao kini kembali meraih tangannya. Masih gemetar.
“Aku akan mati jika kau melupakanku. Melupakan cinta kita. Aku bahkan akan mati sebelum kau menikah esok hari.”
Ia tiba-tiba teringat sepotong surat yang ia selipkan di dadanya sejak tadi subuh buta.
Akankah ikal benar-benar akan mati hari ini? Atau tidur selamanya?
Ditatapnya punggung lelaki gagah yang mendahuluinya. Ingin sekali ia memohon agar ikal tak disentuh. Dibiarkan pergi, dibiarkan hidup. Demi masa lalu yang pernah ia lewati bersamanya.
Lelaki itu tiba-tiba menoleh.
“Mai roci ari. Sebelum ada yang melihat, sebelum kabar tersiar. Bukankah kau akan menjadi pengantin esok pagi?”
“Dan pastikan ini rahasia antara kita saja,” lanjutnya melirik tajam ke arah Ama Sao sekeluarga. Matanya memerah.
Bahasanya begitu ringkas, ringan. Tapi ia tahu seberapa besar bencana yang menunggunya di rumah.
Mulai detik ini lelaki itu dapat membalikkan segalanya dalam sekejap. Tetap menjadikannya permaisuri atau mengutuknya menjadi sahaya. Ia telah mengusik keakuannya. Di tanah ini, harga diri adalah seharga nyawa.[]
Kengge Sori Silo, Desember 2020.
Istilah: Mbolo weki [musyawarah keluarga]; panati [utusan]; arimeci [adik sayang]; mboto kangampu [banyak maaf, beribu maaf]; mai roci ari [lekaslah adinda]; paruga [tenda, pelaminan]; babau [kenapa]; jompa [lumbung]; tembe nggoli [sarung tenun]; sanggentu [pakaian bawahan, perangkat rimpu]; rimpu mpida [hijab, cadar. Pakaian gadis Mbojo]; baba [abang]; raba [pagar], ampa sonco [pemikat, pemberian berupa benda sebagai pemikat], maira [mari, ayo]; nemba, kunemba [mohon, memohon dengan sungguh]; nais [besok]; nais nggori sambea subu do sigi nae [besok selepas sholat subuh di masjid besar, masjid jamik]; ngoa baba [beritahu abang]; oto arimeci mada [antarkan adikku sayang]; her [ujian ulang, ujian perbaikan].
Ilustrasi: pixabay.com
Penulis buku Gurun Tak Bernama, mantan wartawan, dan alumni Erasmus University Rotterdam.