ENTAH sudah berapa lama aku menjadi “kembang bayang”, namun tak sekalipun aku melihatnya mengeluh. Merawat dan melayani semua keperluanku tanpa kuminta. Ia selalu mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. Padahal aku merasakan tubuhku semakin hari kian memburuk. Jangankan mengaduk air hitam untuknya, menyuguhkan segelas air putih saja aku sudah tak bisa.
Bahkan, untuk bernafas pun aku harus dibantu dengan seperangkat alat. Belum lagi jika aku harus menahan sakitnya ketika cuci darah. Tubuhku sudah menyerah untuk melakukan ritual yang telah aku lakukan ratusan kali itu. Setiap pekan sebanyak dua sampai tiga kali aku pergi bersamanya ke salah satu rumah sakit rujukan di kota dingin, Malang. Ia tak pernah mewakilkan semua ini kepada yang lain. Ia selalu memastikan semuanya sendiri dan memastikan perkembangan terbaru dari dokter tentang keadaanku.
Aku sungguh beruntung memilikinya. Hadiah terindah dari Tuhan untukku yang dulu kukenal hanya dalam waktu yang sebentar. Pada purnama kedua setelah mengenalnya, dengan kesatria ia melamarku. Aku tak bisa mengelak.
Selain waktu, harta benda dan tenaga yang telah dikerahkan oleh seluruh penghuni rumah. Aku tahu mereka juga pasti lelah meski tak terdengar keluhnya. Mereka sembunyikan semuanya dari depanku. Selalu memastikan telingaku untuk tidak mendengar tentang hal yang buruk.
Bukan hanya gagal ginjal yang telah menyerangku. Tapi aku juga diserang oleh rasa gagal untuk menyemangati diri dan mereka yang menyayangi.
Kujalani semuanya dengan tabah, dengan senyum dan hati yang tak ingin patah. Semua ini kuperjuangkan untuk mereka yang tak pernah berpikir meninggalkanku saat aku lemah tak berdaya. Yang selalu setia.
Setiap malam sulit sekali aku merasakan nikmatnya memejamkan mata. Mengistirahatkan seluruh jiwa dan raga dari deraan apa saja. Aku hanya bisa memutar tasbih merapal apa saja yang aku bisa karena aku memang tidak sefasih mereka yang mengatakan jika sakit itu adalah cobaan. Aku hanya bisa menyebut nama-Nya dengan penuh cinta dan kepasrahan. Aku telah siap apapun yang akan terjadi.
Seperti biasa, Mas Adji menyapaku dengan lembut. Tatapan mata sayunya selalu mengaduk cintaku. Aku melihatnya dari mata hati. Aku tahu jika hatinya belum ke mana-mana, masih terbenam di samudera hatiku.
Untuk kesekian kalinya malam itu aku memintanya agar menikah lagi, kupinta dengan penuh ketulusan tanpa pencitraan. Aku menyadari jika telah lama tidak bisa memenuhi haknya sebagai suami yang baik. Ia tidak pantas untuk tersiksa batinnya. Ia hanya melakukan kewajibannya saja. Memberikan seluruh kasih sayang dan perhatiannya. Sedang aku sudah tidak bisa lagi memenuhi kewajiban dan memberikan kebahagiaan padanya. Aku ingin memberikan apa saja yang aku bisa, termasuk merelakannya mendapatkan kehangatan dari wanita lain.
Karena yang kutahu cinta itu memberi bukan berharap. Namun dia selalu mengatakan jika menikah bukan hanya urusan itu saja. Malam ini aku gagal lagi, ia menolak permintaanku untuk yang satu itu. Dan selalu. Entah, aku sudah kehabisan kata-kata untuk merajuk padanya masalah yang satu itu. Ingin berbagi suami.
Baca Juga: https://alamtara.co/2020/08/02/sajak-sajak-qurrotu-ayun/
**
Senja sudah menyapa sore itu. Aku melihat sedikit ronanya dari balik jendela. Kuminta Mas Adji untuk membuka korden yang menghalangi pandanganku agar bisa melihat senyum-senyum langit dengan lebih sempurna. Aku sungguh rindu bergelayut di pundaknya, bersandar pada dada bidangnya dan mendekap dari belakang tubuhnya yang kekar nan tinggi, meski tubuh mungilku tak bisa menjangkau untuk memberinya kejutan lebih dulu.
Ada yang berbeda pada tubuhku, seluruh rasa sakitku menghilang. Semuanya terasa lebih ringan. Kulihat dia terpekur di atas sajadah merah yang ia gelar di sebelah ranjang tidur kamar yang berukuran minimalis.
Ada air yang menitik dan menderas dari ujung matanya. Kutatap dia dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kemudian ia menoleh kepadaku dengan senyum terindahnya. Senyum saat kali pertama mata kita saling beradu itu aku rasakan kembali. Aku sangat bahagia. Kuberikan senyum berkali-kali padanya. Dan ia mengerlingkan mata.
Wajah gantengnya, hidung mancungnya dan jambangnya semua terlihat jelas di depan mataku. Kemudian ia tersedu mendekapku erat sementara tanganku melemah untuk membalas dekapan itu. Hanya hatiku yang mampu mendekap.
Ia lalu mendongakkan kepalanya yang sedari tadi dibenamkan di kedua pipi. Masih saja ia pandai menyenangkan hati dan memuji kulit putihku.
Sesaat ia mengangguk berulang kali tanpa berucap apapun. Aku tak memahami arti anggukannya. Beberapa kali ia lakukan sementara saat itu aku sedang tak meminta dan mengatakan apapun. Lidahku telah kelu. Jiwaku menerawang. Terbang sangat tinggi bersama arakan awan.
Kemudian ia mengecup lembut ujung jemariku. Ia katakan jika mau keluar sebentar untuk menunaikan kewajiban. Sholat isya. Aku mengangguk. Malam yang syahdu, suara merdunya sebagai muadzin menggema ditelinga. Aku merasakan alunan musik surga telah menguasai seluruh tubuhku. Bergetar rasanya dunia. Tak lama kemudian, sayup namun pasti suaranya mengalun dengan merdu kembali. Ia membaca surat Al Faatihah dan menjadi imam sholat malam itu di sebuah langgar kecil yang tidak jauh dari rumah.
“Imamku, maafkan aku. Aku sangat mencintaimu.” Aku berbisik pada bilik bilik hati dan kuminta mereka agar menyampaikan padanya.
Kulihat putriku sedang sholat di ruang tengah bersama putra kecilnya. Kutatap semuanya, kupandangi satu persatu setiap sudut rumah yang telah memberikanku berjuta kasih sayang. Sayangnya, gerakku terbatas. Pandanganku tak bisa menjangkau beranda rumah, tempat biasa aku duduk bersama melepas penat sambil menyirami bunga Melati yang harumnya selalu menggugah rasa.
Tiba-tiba kurasakan suaranya telah menghilang, tak dapat kudengar lagi. Telingaku sudah tidak mendengar apapun. Tubuhku sudah dingin membeku. Jiwaku, entah kemana. Mungkin menuju tempat yang selama ini belum pernah aku ketahui. Hanya senyum yang tersisa. Senyum terindahku seperti saat ia menghalalkanku.
Kini aku telah memahami anggukan imamku. Rupanya ia telah rela melepasku dari genggamnya, meski aku tahu jika aku akan selalu menghuni sanubarinya. Di dasar hatinya yang paling dalam. Selamanya. Aku tahu jika aku bukan yang pertama baginya. Tapi ia katakan jika aku ini perempuan istimewa baginya, ibu dari anakanaknya.
Seratus tiga belas hari sudah ragaku tak lagi bersamanya. Kini ia telah mengabulkan pintaku. Aku bahagia karena ia telah menjemput cintanya yang dulu. Cinta yang lama kini bersemi dan tumbuh kembali. Mas Adji telah bersanding dengan cintanya ketika dulu sama-sama berjuang menjadi seorang pakar hukum di kota dingin. Hubungan mereka tak direstui atas nama kasta. Lelaki dari perempuan itu juga telah berada pada dimensi yang berbeda seperti diriku. Sakit yang sama.
Salah satu kebahagiaan pecinta adalah memberinya cinta. Meski itu bukan kita lagi yang memberinya.
Tuhan sungguh telah mengatur sedemikian rupa. Dengan detail tanpa kesalahan sedikitpun. Semua akan indah pada saat yang tepat. Keduanya tak ada yang ingin menusuk dari belakang, menjalin hubungan terlarang dengan menyakiti secara diam-diam. Aku tahu Tuhan pasti akan mengizinkan setiap niat kebaikan yang tak berselimut kepentingan tersembunyi. Bersabarlah, semuanya hanya masalah waktu saja, bukan tentang bahagia sesaat yang yang akan mendatangkan penyesalan bertubi-tubi.
Aku juga sangat bersuka cita. Setiap waktu berpesta doa, benih-benih yang telah dititipkannya padaku menjadi benih cinta yang menyejukkan. Si sulung hafidzah dan si bungsu sholehku selalu mengirimkan buket-buket bunga penuh warna, aku memang tak sepandai mereka merapal mantra-mantra surga. Karena aku dibesarkan di lingkungan yang berbeda, kejawen mereka bilang. Namun imamku telah menuntunku untuk mengetahui semuanya. Memberitahuku tentang agama yang mengajarkan kasih sayang bukan yang mencela perbedaan.
Dia membuktikan semua ucapnya. Dia sungguh suami yang setia. Aku tahu, jika tiga ribu enam ratus lima puluh hari adalah waktu pergolakan batinnya. Antara tetap menjaga hatiku atau menuruti pintaku yang ia anggap konyol.
Selamat berbahagia, suamiku. Aku telah meminta pada Tuhan untuk memberimu dua bidadari kelak. Aku dan dia. Tetaplah saling setia dan menua bersamanya! Peluk ciumku tiada tara.[]
Bangil, 16 Januari 2021.
Ilustrasi: cikimm.com
Seorang perempuan Jawa yang mencintai kedua putrinya dan mencintai anak-anak negeri, terus belajar tentang kehidupan adalah panggung puisi maha besaar yang belum mampu ditaklukkan.