Matinya Imajinasi dalam Beragama

HAMPIR kebanyakan orang memahami bahwa agama sebagai aturan yang mengatur kehidupan manusia dengan seperangkat hukum yang tertuang di dalam teks-teks kitab suci atau sabda Nabi. Teks-teks keagamaan tersebut kemudian ditafsirkan oleh pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas keagamaan dan kapasitas keilmuan dari berbagai disiplin.

Pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan pun kemudian melahirkan berbagai macam hukum yang diyakini sebagai solusi dari kompleksitas problematika yang akan dihadapi oleh umat manusia. Dari tafsiran tersebut kemudian melahirkan doktrin untuk dikhayati dan dijalani oleh manusia sebagai manifestasi kepatuhan dan ketertundukan.

Keadaan ini sekaligus menyebabkan lahirnya pemahaman yang menganggap bahwa agama telah “final” atau sebagai “satu paket utuh” —karena Nabi dan para religionis lainnya telah merumuskan dan meletakkan dasar-dasar hukum—yang dibutuhkan oleh umatnya. Sehingga tidak perlu lagi bersusah payah untuk membaca atau menafsirkan kembali teks-teks keagamaan.

Agama selalu dikaitkan dengan kepatuhan; seakan tak memiliki celah untuk dikritisi, disangkal atau direkonstruksi sebagaimana bangunan yang harus direnovasi dan diperbarui karena telah lapuk oleh perkembangan zaman. Agama seakan sebuah tradisi yang disakralkan sehingga tak sembarang orang yang bisa membaca atau menafsirkannya.

Agama akhirnya menjadi semacam lembaga yang mengatur dan membatasi pikiran-pikiran umatnya. Padahal ia merupakan teks yang harus dibaca selama kehidupan masih berlangsung. Bukankah agama juga dibangun berdasarkan pikiran dan imajinasi? Namun seiring perkembangannya agama semakin dogmatis sehingga membunuh daya kritis dan imajinasi para pengikutnya.

Seringkali kita dihadapkan dengan hal-hal kontradiksi dalam beragama; baik antara imajinasi dan ajaran-ajaran yang sangat doktrinal. Padahal agama tidak bisa hidup tanpa adanya imajinasi—bahkan dari proses awal pembentukan agama—para nabi memaksimalkan imajinasi dalam merepresentasikan wahyu sehingga ajaran-ajaran keagamaan dapat disampaikan.

Dalam Islam misalnya, melalui gagasan besar Nabi untuk “mengubah dunia manusia” merupakan bagian dari daya kreativitas yang dihasilkan melalui (imajinasi kenabian) yang begitu luar biasa (Iqbal, 1978: 180). Tuhan memberikan tanda-tanda pada manusia melalui pengalaman batin maupun zahir dan mengajak kita untuk membaca tanda-tanda itu (QS. Ali-‘Imran, 3: 190).

Imajinasi berfungsi untuk membuka berbagai pandangan orisinal dalam pengalaman batin yang dirasakan oleh manusia. Bahkan imajinasi sangat memainkan peran penting dalam peradaban Islam. Kejayaan Islam pada abad pertengahan tidak bisa lepas dari peran imajinasi. Penemuan aljabar, astronomi, dan kedokteran merupakan produk imajinasi kosmologi pada zaman kekhalifahan sehingga mampuh mendorong kemajuan agama selama berabad-abad.

Muhammad Iqbal dalam sajaknya Asral-I Khudi mengatakan bahwa pribadi-pribadi yang kuat dibangun melalui daya kreativitas—yang kemudian melahirkan pikiran-pikiran murni (Iqbal, 1976: 118). Dengan kata lain, tidak ada pribadi yang mampu membangun pikiran murni dan gagasan besar tanpa melalui imajinasi. Agama-agama besar yang menarik minat jutaan umat manusia pun juga dibangun melalui daya imajinasi.

Pada tingkat tertentu, imajinasi tidak hanya mampu melahirkan gagasan besar dalam rana kognitif, namun juga mampu menembus ke tingkat transendental atau dalam rana transkognitif. Sebagaimana yang disebut oleh Mulla Shadra dan Ibnu’ Arabi’ sebagai daya Imajinal. Hal ini karena imajinal tidak berada dalam rana otak (material), melainkan berada pada rana Jiwa.

Daya imajinal manusia bersifat substansial dan terpisah dengan tubuh inderawi secara aktual dan esensial. Itulah mengapa dalam ajaran Tasawuf sangat identik dengan penyucian jiwa melaui latihan-latihan tertentu sehingga mampu memperoleh daya imajinal. Bahkan dalam hierarkinya, imajinal merupakan pengetahuan tertinggi ketimbang ilmu-ilmu rasional-empiris yang banyak digunakan oleh ilmuan-ilmuan Barat.

Kenyataan ini juga membantah satu anggapan bahwa kemerosotan Islam disebabkan oleh adanya kecederungan pola hidup sufistik yang hanya mementingkan orgasme spiritual secara personal—yang sebenarnya mereka tidak menghindari diri dari kehidupan dunia, tetapi melatih diri untuk mengendalikan hasrat agar meminimalisir kecenderungan duniawi supaya jiwa tetap dalam keadaan suci.

Sebagaimana yang kita rasakan saat ini, imajinasi kita mengalami degradasi sehingga terjadi kemerosotan peradaban Islam. Jika dulu Nabi membangun peradaban melalui imajinasi profetiknya (kenabian) dan pada masa kekhalifahan membangun peradaban Islam melalui imajinasi kosmologi, lalu saat ini kita membangunnya dengan apa? Padahal kita telah tertinggal jauh dari peradaban—namun masih saja bereuforia terhadap kemajuan Islam masa lampau.

Saat ini kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas. Merekrut masa dengan mengedepankan doktrin-doktrin keagamaan. Memanfaatkan silsilah primordial kenabian sebagai pemenuhan hasrat untuk menguasai. Sehingga pada masa sekarang imajinasi yang muncul tidak substansial dan cenderung bersifat permukaan yang menghasilkan pendangkalan bahkan perusakan terhadap citra Islam.

Dari merebaknya gerakan-gerakan umat Islam yang muncul saat ini mungkin kita berpikir hal itu merupakan pertanda sebagai kebangkitan Islam, padahal sebenarnya Islam sedang menuju kemerosotan atau bahkan pembusukan terhadap Islam itu sendiri. Bahkan dengan sangat bangga mengatasnamakan Tuhan untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis dan kekerasan.

Tentu keadaan hari ini amatlah sulit untuk memperoleh kemampuan intuisi dan imajinal seperti yang digambarkan oleh Shadra dan Arabi. Sebagai umat dengan keadaan spiritualitas yang dilumpuri oleh polusi modernitas, tentu akan membutuhkan latihan ekstra dalam meminimalisir kecenderungan hasrat yang syarat dengan materialistik. Namun, hidup terus berlangsung dan kita masih ada waktu untuk merubahnya []

Ilustrasi: depositphotos

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *