Suksesi Presiden Joko Widodo di tahun 2024 kian santer terdengar. Mungkin tulisan ini juga terlalu cepat untuk ditulis. Wong Presiden Jokowi baru terpilih dua tahun lalu. Biarkan dulu lah Pak Jokowi bekerja. Ra usah mikirin copras-capres, masih jauh di depan sana.
Di musim pandemi dan banjir ini, narasi pencapresan Anies, Ganjar, dan Ridwan Kamil menjadi sorotan. Nama yang pertama malah sejak sehari setelah KPU mengumumkan Pak Jokowi sebagai jawara kompetisi lima tahunan itu. Untuk nama kedua dan ketiga itu kian hari menjadi bola panas untuk dibahas ditambah sepak terjangnya selama pandemi.
Anies Baswedan yang menjadi gubernur paling “sibuk” dan repot selama pandemi ini. DKI Jakarta masih menempati urutan teratas untuk penambahan kasus Covid-19 (Kompas, 8/1/2021). Dengan sibuknya Anies tentu dilirik terus oleh pers dan tersiar ke seluruh Indonesia. Pun media-media “pro Anies” bahkan menyandingkan Anies dengan Pak Jokowi dengan pameo “ini yang presiden yang mana si”.
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah itu beda lagi nasibnya. Sebagai orang dalam partai penguasa saat ini, kans Ganjar jelas lebih besar dari pada kader lain sebagai suksesi Pak Jokowi. Mata kamera wartawan juga sudah mulai intens disorot ke sana.
Ridwan Kamil tak kalah “ngeyelnya”. Walau terkesan beliau santai-santai saja menanggapi isu yang menghinggapinya. Sebagai politisi non partai, isu tersebut akan semakin mengukuhkan posisinya dan membantu menaikkan popularitas Ridwan Kamil. Adagium diam-diam menghanyutkan bisa mewakili posisi Kang Emil saat ini.
Selain pada 2024 nanti ketiganya mencapai usia matang dalam karir politik. Ketiga politisi tersebut juga bisa dibilang satu leting. Kebayang dong, gimana bersaingnya para sahabat ini. Tidak ada senior dan junior. Dan sama-sama memiliki modal massa daerah masing-masing.
Baca juga: Cara Tolak Bala dalam Politik
Yang tak kalah penting, ternyata selama pandemi ditambah banjir beberapa waktu lalu, rumor pencapresan ketiga sejoli di atas makin terbentuk. Opini publik sedemikian terbentuk. Menyelinap dalam isu-isu pandemi dan banjir.
Lembaga Survei Indonesia dan Indobarometer tempo hari mengeluarkan survei mengenai capres 2024. Hasilnya, ketiga nama di atas masuk lima besar. Kendati berada di urutan dua, tiga, dan empat, ketiganya tak perlu merasa khawatir, wong nomor satu cuman Pak Prabowo yang sudah berpengalaman kalah dalam setiap musim Pemilu.
Sebetulnya, ada fenomena menarik yang saya lihat dari munculnya tiga nama di atas. Pertama, masyarakat mulai mempercayai figur-figur kepala daerah. Kedua, membuktikan regenerasi kader partai politik Indonesia yang kian gagal. Ketiga, masyarakat mulai percaya kader-kader non partai.
Ayo kita mulai membahasnya satu-persatu. Jangan lupa sediakan kopi sebelum membacanya. Dan tolong membacanya di rumah saja.
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, sebelum tahun 2014 belum ada tokoh-tokoh kepala daerah yang bisa masuk dalam bursa calon presiden. Di tahun 2004 misalnya, pimpinan lembaga-lembaga di tingkat ‘pusat” mayoritas mencalonkan diri. SBY yang mantan menkopolhukam, Wiranto mantan panglima ABRI, Hamzah Haz datang sebagai mantan wakil presiden. Ditambah Gus Dur, Hasyim Muzadi, Marwah Daud, dan Amien Rais yang notabene semuanya bukan dari kalangan kepala daerah dan figur-figur daerah. Mereka adalah pengurus-pengurus pusat ormas dan lembaga tinggi negara.
Di tahun 2009 lebih sederhana lagi, figur-figur kepala daerah tidak mampu mencuat, ditutupi figur-figur dari kalangan politisi nasional lama: Megawati, Prabowo dan Wiranto yang masih saja mencoba peruntungan. Setelah 2014, peta politik Indonesia berotasi cepat. Mantan menteri, purnawirawan TNI dan pimpinan lembaga legislatif yang sebelumnya menguasai bursa pencapresan kini kian hari makin tak mendapat kepercayaan publik.
Jabatan menteri misalnya, kurang mendapat sorotan masyarakat, bahkan sorotan negatif teralamatkan ke lembaga ini karena terlibat beberapa kasus korupsi membuat masyarakat skeptis. Belum lagi kebiasaan seorang presiden dalam mereshuffle kabinetnya. “Belum berkembang, sudah layu duluan” begitu kira-kira kata yang tepat untuk para menteri-menteri akhir-akhir ini. Akhirnya lembaga kementerian saat ini hanya bertumpu pada dua sejoli yang kalah: Sandiaga Uno atau Prabowo sendiri.
Pimpinan lembaga legislatif dan purnawirawan TNI yang dulu banyak bersuara sekarang juga sudah ciut nyalinya. Lembaga pertama masih sulit meraih opini positif dari masyarakat. Institusi TNI kian hari figur yang menonjol hanya mampu menjadi penghangat saja. Plus, kekalahan Pak Prabowo berkali-kali membuat memori buruk bagi institusi ini untuk masuk lagi ke dalam ranah politik.
Dengan sebab-sebab di atas, menjadi jelas bahwa masyarakat menemukan figur baru dari pemimpin daerah. Sindrom Pak Jokowi dari jabatan gubernur melenggang menjadi presiden membuat ketiga nama itu percaya diri menatap masa depan karirnya. Apalagi Anies Baswedan yang sama-sama pernah memimpin ibukota.
Keunggulan lain dari figur-figur daerah adalah kelihatannya mereka lebih punya pengalaman di posisi eksekutif an sich. Jika dibandingkan dengan posisi menteri, legislatif atau panglima TNI yang minim pengalaman. Kasarnya, mereka hanyalah pembantu dan pembela presiden di lembaga legislatif, kecuali hanya segelintir partai oposisi.
Baca juga: NU di Antara Kiai, Nyai, Akademisi dan Politisi
Hal tersebut kelihatannya di alami sekali Pak Prabowo, tiga kali masuk dalam pemilihan presiden. tiga kali juga menelan pil pahit. Isu yang menerpa dari pihak lain, tentu soal pengalaman di bidang eksekutif yang memang Prabowo belum memilikinya.
Fenomena mandeknya capres dari kalangan lingkaran “pusat” ini juga diakibatkan oleh gagalnya regenerasi ketua umum partai untuk menjadi figur nasional. Partai seolah-olah hanya menjadi harta simpanan, yang sewaktu-waktu bisa diwariskan kepada keturunannya. Kasus terakhir dialami oleh Partai Demokrat yang akhirnya menimbulkan konflik internal “Kudeta Demokrat” itu. PDI-P lebih ngeri lagi, sudah sekitar dua puluh tahun belum terusik.
Dari beberapa survei, elektabilitas Anies baswedan dan Ridwan Kamil selalu masuk lima besar. Dua figur non partai ini membuka harapan kalangan profesional untuk masuk ke gelanggang politik RI 1. Gurita masalah partai politik bisa menjadi alasan dua nama ini tetap menjadi perhatian publik ditunjang dengan kinerja yang dicintrakan mampu menyelesaikan masalah. Jika hal ini dibiarkan dalam partai politik, krisis kepercayaan akan menghantui dan merugikan politisi partai dan lembaga partai itu sendiri.
Dengan menghilangnya figur-figur ini, masyarakat cenderung melihat alternatif lain yakni kepala daerah non partai. Ya, kerjaannya sekarang, kepala daerah berlomba-lombalah untuk mencitrakan diri sebaik-baiknya dan seindah-indahnya terutama tiga nama itu.
Jangan ikuti sahabat karib kalian: Nurdin Abdullah, nasibnya akan sama juga, belum berkembang sudah layu.
Kesempatan pemilu-pemilu ke depan saya kira akan lebih terbuka bagi calon-calon di daerah untuk menguji keberuntungan. Dengan fakta demikian dan krisis legitimasi yang kian merosot pada lembaga legislatif maupun kementerian dan lembaga-lembaga di tingkat “pusat” menjadi peluang besar bagi kepala daerah untuk maju lebih jauh.
Anies dan Kang Emil hanya segeintir nama. Tak menutup kemungkinan kepala daerah non partai di luar pulau Jawa yang memiliki kapasitas dan kapabilitas baik mampu bersaing meramaikan pesta. Entah sebagai capres atau cawapres.
Kita tunggu saja yaaa….
Ilustrasi: Fakta News.com.
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe