Ramadan: Rest Area

SEBELAS bulan kita beraktivitas di luar Ramadan bukan waktu yang singkat untuk aktivitas harian, bahkan Rasul mengatakan bahwa kehidupan setahun bagi seorang hamba adalah kehidupan panjang untuk ukuran pengabdian.

Aktivitas-aktivitas yang kita jalankan merupakan tumpukan sekaligus pegolakan dari aksi pisik dan ambisi psikis yang kita jalankan selama sebelas bulan tanpa henti dan tanpa ujung, bahkan dalam tidur pun pergolakan pisik dan psikis itu muncul dalam bentuk mimpi-mimpi.

Tuhan telah membaca akan adanya aksi, ambisi, dan kelelahan itu saat proses penciptaan kita, sehingga Tuhan harus memaksa kita untuk istirahat sejenak dalam perjalanan panjang dari waktu yang kita lalui dalam hidup ini. Tuhan sepertinya kasihan dan tidak tega melihat kita bergelut tanpa batas dan tanpa jeda dalam kepenatan dari aktivitas raga, aktivitas pikir, dan aktivitas hati yang kita salurkan ke berbagai bidang dan berbagai obyek.

Baca juga: Imam Orang-orang Masbuk

Bayangkan bagaimana aktivitas pisik atau raga ini berpetualang ke mana-mana demi memenuhi kebutuhan dan keinginan kita. Dia tidak hanya bergerak, namun berjalan, bergeser, berlari, bahkan melompat. Aktivitas pikir juga demikian, menyelam kedalam semua obyek yang kita dengar, ke semua subyek yang kita lihat dan ke semua tema yang kita katakan. Demikian pula hati akan merasai seluruh aktivitas raga dan pikiran, lalu menimbangnya dengan standar baik-buruk, benar-salah, dan halal-haram.

Belum lagi aktivitas sosial yang harus tersambung tidak hanya dengan manusia, tetapi juga dengan makhluk lain, bahkan dengan alam semesta sebagai pengejawantahan dari hablun minannas dan hablun minal alam.
Dari keruwetan dinamika perjalanan aktivitas yang kita lakoni selama sebelas bulan itulah Tuhan menyiapkan satu bulan sebagai rest area yakni momen istirahat dari kelelahan pisik, pikiran, dan hati yang harus kita gunakan sebaik dan seefesien mungkin, bahkan Tuhan memaksa kita untuk harus menikmatinya. Rest area itulah Puasa Ramadan. “Kutiba alaikumusshiam” Wajib bagimu untuk menikmati Rest Area (melakukan puasa selama satu bulan).

Rest area sebagaimana kita ketahui merupakan tempat istirahat para musafir dengan berhenti sejenak untuk menghilangkan rasa penat dari lelahnya perjalanan dan untuk mengumpulkan tenaga dalam menelusuri perjalanan berikutnya. Maka Ramadan dapat menjadi rest area sejenak dari panjangnya perjalanan aktivitas pisik, pikiran, dan hati untuk kemudian melanjutkan lagi perjalanan selama sebelas bulan berikutnya.

Bagaimana Ramadan bisa menjadi rest area bagi perjalanan panjang pisik, pikiran dan hati kita?. Ingat bahwa rest area berfungsi sebagai tempat istrahat, menghilangkan kepenatan, kelelahan dan keletihan selama melakukan perjalanan. Melalui syariat Ramadan Tuhan ingin agar kita memprioritaskan waktu, pikiran, hati, dan raga kita untukNya dalam satu bulan saja. Fisik kita misalnya dapat diistirahatkan dengan memfokuskan dan memaksimalkan tujuan aktivitasnya untuk Tuhan, memaksimalkan dan memfokuskan komunikasi dengan Tuhan, mentaati jadwal kegiatan makan dan minum karena Tuhan. Fikiran bisa istirahat dengan dominasi mengingat Tuhan dalam segala aktifitasnya, meluangkan waktu untuk colling down di pertengahan malam berdua-duaan dengan Tuhan.

Baca juga: Ketika Fungsi Dinamis Lisan Kita Direnggut

Demikian pula hati cukuplah dengan berbaik sangka dan menahan diri demi karena Tuhan. Dengan begitu keruwetan, kerumitan, dan kelelahan pisik, pikiran dan hati karena berkelana ke mana-mana, menerawang ke semua obyek kehidupan, dan merambah ke smua lini kehidupan diminimalkan sejenak, kita arahkan seluruh aktivitas berkelana, menerawang, dan merambah tersebut mengerucut untuk Tuhan.

Dulu Rasul pada saat mengalami kelelahan dari perjalanan dakwahnya meminta Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan. Lalu Bilal menimpali, belum masuk waktu shalat ya Rasul. Rasul mengatakan, Iya, azanlah, “Arihni bisshalah” Aku ingin beristirahat dalam shalatku. Shalat yang dilakukan Rasul di tengah perjalanannya itu adalah rest area dari lelahnya perjalanan dakwah beliau. Di mana dalam aktivitas kesehariannya, terlalu banyak materi dan obyek yang dipikirkan, dengan shalat beliau hanya memfokuskan pikiran untuk Tuhan, sehingga pikiran dan pisik menjadi tidak lelah, karena pemikiran dan aktivitas pisik tidak lagi bercabang.

Begitulah Ramadan, dengan aktivitas ibadah siang dan malam diprioritaskan untuk Tuhan akan menjadi rest area bagi kaum beriman dari banyaknya cabang aktivitas dan perjalanan pisik, pikiran, dan hati selama sebelas bulan.

Kemudian rest area juga pada umumnya dimanfaatkan untuk merenungkan kembali atau mereview kejadian selama dalam perjalanan. Maka syariat Ramadan momen untuk mengevaluasi diri, merenung tentang perjalanan yang sudah kita lalui dan berusaha menambal sulam apa yang kurang. Dengan kata lain Ramadan rest area dapat kita nikmati dengan melakukan kontemplasi sebagaimana kebiasan kalangan sufi dengan melakukan pengasingan spiritual atas godaan dan tantangan duniawi.

Kita melakukan self control dengan membaca diri sekaligus mengontrol nafsu, sehingga kelelahan akibat diperdaya oleh kesibukan material atau duniawi selama sebelas bulan menjadi tergantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara. “Lisshoimi farhatani indal afthori wa inda liqo’illah” bagi orang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, ketika berbuka puasa dan ketika nanti bertemu Tuhan.

Ilustrasi: pabmela.com

1 komentar untuk “Ramadan: Rest Area”

  1. Semuanya di Lakukan dengan Imanan Wahtusaban sehingga Bisa Fresh setelah beristirahat di tempat peristirahatan ataw Res Area
    Sehingga sampai ke Tujuan yaitu La’allakum tattaqun

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *