Pers, Distrupsi Informasi dan Mudarat Demokrasi

Era digital benar-benar telah menandai babak baru perkembangan pers. Kalangan pers sama sekali tidak membayangkan revolusi teknologi informasi ini membawa perubahan mendasar dalam pola dan cara kerja pers. Jika sebelumnya mendirikan perusahaan pers misalnya, memerlukan modal besar dan jumlah personel dalam jumlah cukup kini tidak lagi. Orang kini bahkan dapat memproduksi suatu berita cukup dengan tiga bahkan satu orang.

Terjadi keragaman dari sisi kepemilikan (ownership). Pers tidak lagi dimonopoli oleh kelompok perusahaan tertentu sehingga secara demokratis menguntungkan publik karena mereka punya banyak pilihan. Wartawan juga tidak harus kembali ke kantor untuk menulis hasil liputan tapi cukup dengan gawai atau tablet dia bisa menulis berita di mana saja termasuk di tempat kejadian. Teknologi komunikasi telah memungkinkan para wartawan melakukan mobilitas secara lebih cepat dan efisien saat bekerja.

Baca juga: Intelektual Publik dan Media

Revolusi digital dengan sendirinya membawa perubahan radikal dalam cara, jenis dan bentuk media pers. Akibatnya publik dilanda ‘tsunami’ informasi. Sangat melimpah. Tsunami informasi akhirnya berdampak juga terdapat tsunami demokrasi. Dari kandungan informasi yang disampaikan, kini sulit membedakan berita media dengan postingan berbagai platform media sosial. Malah hasil unggahan yang terakhir ini lebih populer dan viral dari berita-berita media arus utama. Selain itu, kini wartawan juga tidak sekadar menulis berita seperti dulu tapi juga harus membuat konten-konten video, vlog, facebook dan lainnya untuk menarik perhatian agar berita yang ditulisnya dapat dinikmati dalam beberapa platform dan aplikasi.

Belakangan juga berkembang jurnalisme warga (citizens journalism) dimana wartawan tidak sepenuhnya berhak menentukan apa yang bernilai berita atau tidak. Sebaliknya warga, termasuk berbagai komunitaslah yang turut menentukan nilai dan standar satu berita. Suatu peristiwa atau kejadian yang menurut wartawan bernilai berita tapi belum tentu menurut komunitas atau warga. Hal tersebut berimplikasi pada definisi berita yang berbeda dari yang dipelajari di pelatihan maupun jurusan jurnalistik di kampus. Tetapi di sisi lain, disrupsi informasi ini juga menimbulkan konsekuensi yang tidak terhindarkan. Meski informasi begitu melimpah dan mudah diakses tapi tidak beriringan dengan literasi media.

Sebagai contoh, kendati masyarakat Indonesia adalah pengguna aktif media sosial terbesar ketiga di dunia (170 juta) tapi ketiadaan literasi digital mengakibatkan mereka kurang konsen dengan berbagai manipulasi informasi seperti hoaks, berita bohong dan lainnya. Selain itu, banyak media yang hanya mengejar jumlah klik atau click by journalism. Orientasi media online pada jumlah klik mengakibatkan berita dan informasi yang disajikan cenderung dangkal bahkan manipulatif, eksploitatif dan dehumanisasi. Teknologi akhirnya mendegradasi jurnalisme. Ancaman lain terhadap pers adalah korporasi, negara, kekerasan terhadap jurnalis maupun peretasan. Sebagai salah satu pilar demokrasi tentu saja berbagai ancaman terhadap pers di atas juga mengancam demokrasi.

Baca juga: Politik Media: Penebar Harapan atau Ratapan ?

Sejak 2020 indeks demokrasi kita makin mundur yang ditandai antara lain semakin hilangnya kebebasan sipil, absennya pemerintah dalam penanganan tindakan intoleransi maupun proses Pemilu yang merosot. Celakanya, dalam konteks disrupsi informasi, ketidakpercayaan publik terhadap media-media arus utama justru membuat mereka lebih mempercayai konten-konten yang sulit diverifikasi kebenarannya. Ibaratnya, keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa. Oleh karena itu, media-media arus utama harus tetap berinovasi dan menjaga integritas dan independensi dalam pemberitaannya. Kehadiran news room justru dapat memperkecil risiko pemberitaan yang tidak valid karena redaksi dapat meminta wartawannya melacak kembali kebenaran satu berita.

Begitu pula dengan keberadaan organisasi profesi pers, diharapkan dapat mengontrol dan mengawasi potensi pelanggaran kode etik jurnalistik wartawan dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya.

(Catatan Diskusi Hari Pers, LP3ES Pada 3 Mei 2021)

Ilustrasi: Grid.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *