Islam, Ideologi dan Tafsir Kesetaraan Pancasila

Membangkitkan kembali romantisme sejarah. Itulah kesan saya setelah membaca artikel Adian Husaini “Menjernihkan Tafsir Pancasila” awal Mei lalu. Adian adalah Ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), sebuah lembaga dakwah yang dirintis M Natsir dkk pasca gagal kembali berkiprah di panggung politik nasional di awal Orde Baru. Rezim Soeharto ini—yang mendaku dirinya hendak melakukan koreksi total terhadap Orde Lama dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen—merupakan rezim paranoid.

Ia dibangun di atas puing-puing trauma sejarah pertentangan politik serta eksperimentasi demokrasi Orde Lama yang sangat melelahkan. Akibatnya, sejak awal konsolidasi kekuasaannya Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran terhadap semua unsur rezim Soekarno sebelumnya baik dari kalangan komunis maupun Islam. Soeharto merombak dan menyederhanakan struktur kepartaian maupun lembaga pemerintahan, termasuk memaksakan asas tunggal serta memberangus demokrasi. Lalu di atasnya dibangun sistem pemerintahan otoriter yang ditopang penuh oleh dua kekuatan penyangga: mesin militer dan sistem ekonomi rente.

Baca juga: Menilik Narasi Gerakan Politik Islam Indonesia

Karena itu semua potensi dan kemungkinan munculnya kembali kekuatan politik aliran ditutup sama sekali. Natsir, seorang pemimpin politik yang santun dan sederhana—bahkan menyantuni kelahiran bayi republik ini—termasuk di dalamnya. Soeharto bukan hanya melarang menghidupkan kembali Partai Masyumi yang pernah dipimpinnya melainkan juga menjegal tokoh-tokoh eks partai itu kembali berkiprah, termasuk melalui Partai Persatuan Islam (PPP)—hasil fusi partai Islam. Singkatnya, semua genetik politik Masyumi dilarang.

Ketika posisi politik Islam makin terdesak di awal Orde Baru Natsir bahkan menyampaikan kekecewaannya “Mereka telah memperlakukan kami bagai kucing-kucing kurap”. Sebuah ungkapan yang cukup pedih mengingat peran penting Natsir dalam Mosi Integrasi yang menyelamatkan Indonesia saat pergolakan fisik maupun karena sebelumnya Soeharto menjadikan umat Islam sebagai—meminjam istilah McVey—‘hammer’ (palu) untuk menghancurkan kelompok komunis. Setelah gagal melalui berbagai cara akhirnya Natsir memilih jalur kultural untuk meneruskan cita-cita perjuangan nya: DDII.

Sebagai pewaris Masyumi—partai Islam yang habis-habisan memperjuangkan ideologi Islam dalam Demokrasi Parlementer—wajar jika para eksponen partai ini tetap menyimpan impian terhadap Islam sebagai din wa daulah. Bagi mereka cita-cita mulia itu tak pernah mati atau tidak boleh mati. Salah satunya soal penghapusan tujuh kata sakti dalam Piagam Jakarta di masa awal kemerdekaan—“Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”. Hingga ini tak sedikit kalangan Islam politik yang menyesalkan kecelakaan sejarah itu.
Padahal tujuh kata tersebut akan memberikan kewenangan konstitusional kepada umat Islam untuk menjalankan syariat Islam secara legal-formal. Mereka juga menganggap Soekarno berkhianat dengan tindakannya menyetujui menghapus tujuh kata itu. Begitu pula dengan Hatta—atas keberatan beberapa tokoh non muslim Indonesia Timur— yang melobi para pemimpin Islam agar menghapus tujuh kata tersebut.

Tetapi, dalam konteks kekinian, masih relevankah membangkitkan kembali sentimen dan romantisme masa lalu itu? Bagi saya, tanpa bermaksud meremehkan apa yang sudah terjadi, situasi dan tantangan kini sudah jauh berubah dari apa yang diperdebatkan puluhan tahun lalu itu. Sebagai sebuah bangsa kita menghadapi banyak tantangan yang lebih nyata dan kompleks ketimbang perdebatan ideologis seperti di masa lalu. Saya percaya para tokoh politik Islam itu pun, seadanya masih hidup, akan memiliki jalan pikiran berbeda dengan situasi sekarang.

Baca juga: Bercadar: Agensi, Literasi, dan Narasi Kebangsaan

Bagi saya kepentingan terbesar kita adalah bagaimana memandang dan menafsirkan Pancasila secara lebih inklusif dan setara. Pancasila harus menjadi tikar kebersamaan—tempat semua anak bangsa duduk bersama dan saling menyapa. Menghadirkan perasaan sebagai satu bangsa, itulah tantangan terbesar kita. Setiap kita adalah setara tanpa harus terjebak dengan sindrom mayoritas atau minoritas. Sebagai sebuah ideologi nasional seharusnya tidak boleh ada kelompok anak bangsa yang merasa diri lebih berhak atas tafsir Pancasila dari yang lainnya. Pancasila seharusnya menjadi milik bersama.

Dalam satu webinar beberapa hari lalu saya tersentak dengan penjelasan Prof John Titaley yang menyatakan bahwa, bagi kalangan Kristiani Pancasila, NKRI dan Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak sekadar kenyataan sosial politik tapi juga telah diterima sebagai kenyataan teologis. Indonesia, dengan segala kemajemukannya, merupakan karunia dan hasil karya tuhan yang harus dirawat dan dijaga bersama. Sebuah pernyataan yang kurang lebih sama dengan ‘fatwa’ tokoh sepuh NU, KH Achmad Siddiq pasca heboh asas tunggal awal 1980-an, yang menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia.

Dengan tingkat kemajemukan yang tinggi dan kompleks, negeri ini memang terlalu luas untuk sebuah negara. Maka wajar belaka jika terjadi dinamika yang kadang cukup keras. Di republik ini kita tak perlu malu mengakui misalnya, kalau ada kelompok yang secara diam-diam hendak mengatur negara berdasarkan agama tertentu, ideologi sekular, komunisme atau bahkan tanpa agama. Fakta-fakta tersebut sudah berlangsung sejak kelahiran nya dan proses pencarian serta imajinasi tersebut akan terus hidup. Dan itu sah saja. Tarik-menarik itu akan menghasilkan jalan tengah. Tetapi jihad kebangsaan Titaley maupun Kyai Siddiq di atas sejatinya sama-sama hendak mengakhiri hubungan traumatis negara dan agama.

Di kalangan sebagian muslim sudah lama muncul kecurigaan bahwa Kekristenan adalah sebuah ancaman baik secara teologis maupun kebangsaan. Kehadiran kolonialisme barat yang bersamaan dengan misi Kristen mau tak mau memberikan kesan terjadi ‘perselingkuhan’ politik dan penyebaran agama selama masa penjajahan. Kekristenan identik dengan penjajahan. Terkenal ungkapan tiga motif kedatangan bangsa Eropa ke nusantara yakni gold, glory dan gospel.

Sebaliknya upaya sebagian umat Islam untuk terus memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara, baik secara sembunyi maupun terbuka, juga menimbulkan trauma kalangan nasionalis dan sekular. Kelompok Islam dianggap tetap menyimpan impian memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara, temasuk dengan memanfaatkan gelombang demokrasi.

Dengan demikian kecurigaan menjadi suasana kebatinan yang terus mewarnai dinamika politik dan kesejarahan berbagai kelompok politik di Indonesia. Jihad kebangsaan Titaley maupun Kyai Siddiq di atas adalah bagian dari upaya memecah ombak. Mereka sedang dan terus mencari jalan arteri agar kapal Indonesia selamat melintasi badai dan tiba di pulau harapan.

Ilustrasi: jalan damai

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *