Tuhan yang bergantung pada-Nya semua makhluk, termasuk kita dalam semua urusan, kepentingan, dalam setiap kesempatan dan setiap waktu. Dia Tuhan Yang Maha segala-galanya. Semua umat muslimin dan mukminin meyakini dengan sepenuh hati, sehingga lahir kepatuhan dan ketundukan pada semua aturan yang dititahkanNya.
Dalam perjalanan dan perputaran waktu yang kita jalani dalam hidup ini, entah kita sadari atau tidak, keyakinan yang tebal dan mendalam tentang Tuhan Yang Maha, terkadang goyah dan tidak istiqomah (inkonsisten) pada tataran ruang dan waktu. Apakah karena kita alpa atau memang karena keyakinan kita bisa terombang ambing oleh situasi, keadaan, ruang, dan waktu? Padahal kita memahami bahwa Maha-Nya Tuhan tanpa batas ruang dan waktu.
Baca juga: Berniaga dengan Tuhan
Kalau kita merefleksi jejak praktik keberagamaan dan praktik bermuamalah yang kita lakoni, nampak ada keanehan dengan iman yang kita sandang tentang Tuhan Yang Maha segalanya. Tuhan Maha melihat misalnya, keyakinan itu benar-benar terasa dalam hati dan terlihat dalam prilaku nyata tatkala sedang berada di ruang kebaikan, semisal salat, membaca al-qur’an, hadir di majelis ta’lim, mengeluarkan sedekah dan infaq—Tuhan begitu dekat dan kita sangat yakin, Dia melihat seluruh aktivitas yang kita jalankan.
Akan tetapi keyakinan itu menjadi berbalik sekian derajat di mana Tuhan menjadi tidak Maha Melihat manakala kita berada dalam ruang dan waktu yang menggiring kita berbuat tidak baik, semisal bermaksiat dalam hening, membuat persekongkolan negatif, tatkala mengambil hak orang lain, memanipulasi, dan dalam aktivitas-aktivitas buruk lainnya—Tuhan seakan-akan tidak melihat aktivitas yang kita lakukan.
Demikian pula keyakinan kita tentang Tuhan Maha Mendengar, begitu yakin kita tatkala berada dalam ruang untuk beraktivitas mulia, seperti saat menyampaikan pesan-pesan moral kepada orang lain, tatkala membaca dan mengkaji al-qur’an, memberi nasehat tentang kebenaran dan kesabaran, kita lakukan begitu serius karena Tuhan Maha Mendengar apa yang kita katakan.
Keyakinan itu begitu cepat berubah tatkala kita berada pada situasi dan keadaan yang menyediakan ruang untuk menggunjing, membicarakan keburukan orang lain, tatkala kita membual, memfitnah, berbisik tentang kejahatan dan keburukan, dan tatkala membuat konspirasi negatif—Tuhan menjadi tidak Maha Mendengar.
Kemudian keyakinan kita kepada Tuhan Maha Mengetahui sangat mendalam tatkala berada dalam ruang aktivitas kebaikan dan kebenaran sekecil apa pun—bahkan kita kuatkan dengan keyakinan bahwa sebesar zarrah pun kebaikan yang kita lakukan Tuhan mengetahuinya. Begitu kita berada pada ruang kesempatan untuk beraktivitas buruk, mengambil sesuatu tanpa ijin, mengaburkan hak orang lain, bertransaksi dalam kebohongan, sampai menyalahgunakan wewenang dan hak, sering kali keyakinan kita tentang Tuhan Maha Mengetahui mulai meredup, seakan-akan Tuhan tidak mengetahui sama sekali.
Baca juga: Pemaksaan Tuhan agar Manusia Menyempurna
Begitu juga dengan keyakinan kita bahwa Tuhan Maha Kuasa begitu kuat tatkala kita sedang berada dalam keadaan sempit (kepepet), sedang membutuhkan sesuatu, sedang dalam kondisi tidak berada, sedang dalam kedaan sakit dan tertekan. Tuhan kita tempatkan pada posisi spesial atas KemahakuasaanNya.
Tatkala kedaan berbalik, di mana kita berada pada kondisi lapang, berkecukupan, dan sehat, Tuhan sering kita sikapi menjadi tidak kuasa, malah dengan entengnya kita bersikap sejatinya orang yang sangat kuasa, yakni sewenang-wenang, sombong, dan angkuh.
Pertanyaannya, mengapa tatkala kita sedang berada di ruang kebaikan, kita betul-betul yakin bahwa Tuhan Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa? Namun begitu memasuki ruang dan waktu untuk berbuat keburukan, keyakinan kita tentang Tuhan Yang Maha, menjadi terganggu dan berubah menjadi kurang yakin bahkan tidak yakin?.
Kita pantas untuk tersinggung dan menyoal diri masing-masing dengan sindiran Tuhan pada Surah Al Hujurat ayat 14, “Qālatil-a’rābu āmannā, qul lam tu`minụ wa lākin qụlū aslamnā wa lammā yadkhulil-īmānu fī qulụbikum.” Orang-orang Arab Badui berkata, kami telah beriman. Katakanlah (kepada mereka), kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk (Islam), karena iman belum masuk ke dalam hatimu.
Bisa jadi Tuhan memberikan tamsil dengan sengaja menyebut orang Badui didalam firman-Nya, padahal yang dimaksud juga adalah kita-kita ini yang mungkin termasuk ke dalam golongan orang yang disebut Badui, yang hakikatnya belum beriman secara sunggu-sungguh—namun kita tidak menyadarinya.
Baca juga: Dua Pendengaran Manusia: Catatan untuk Dua Suara Tuhan
Iman itu serupa dengan kedudukan sifat Tuhan yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Itulah sebabnya Nabi SAW mengatakan “Ittaqullah haitsuma kunta.” Praktekkanlah ketaqwaan yang ada dalam dirimu di manapun kamu berada, baik ketika sendirian, apalagi sedang dalam keadaan ramai. Artinya dalam seluruh hidup ini, dalam kondisi apapun dan di manapun tetaplah beriman dan bertaqwa secara konsisten, tidak mudah terombang ambing oleh situasi dan keadaan yang menggoda.
Istiqomah dalam keyakinan itu sangat penting, Nabi SAW berpesan dalam mengakhiri wasiatnya tentang keyakinan terhadap syariat yang diajarkannya; “’Addhu ‘alaiha bin nawajidzi”, gigitlah keyakinanmu itu dengan gigi gerahammu. Jadi keyakinan kita harus menjadi komitmen imani, yang teguh, kokoh dan kuat dalam pendirian, tidak mudah goyah dengan godaan apapun.
Ilustrasi: BBC
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Astagfirullahal adzim….
Amat sangat tersinggung krna merasa belum konsisten dlm iman san taqwa😭😭😭
Ssmog Allah mnjdikan saya pribadi dan kita semua pembaca artikel ini senantiasa dlm rahman rahimnya Allah agar mnjdi insan yg lbh baik kedepannya, bertamabh n konsisten dlm iman n taqwa…aamiin 🤲
Jum’at mubarok..
Terimakasih bapak, doa terbaik selalu untukmu🤲 🙏🙏🙏