Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun

“Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan yang sesuai dengan keperluan sebagai kaum perempuan dan harus mendapatkan pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki” (R.A Kartini)

Kita sering mendengar ungkapan yang meminggirkan kaum perempuan di sektor pendidikan, misalnya, “untuk apa perempuan berpendidikan tinggi, toh akan kembali ke dapur juga,” atau pameo yang sering terdengar di tengah masyarakat “perempuan jika sekolahnya terlalu tinggi sulit dapat jodoh.”

Ungkapan yang dituturkan turun-temurun ini, cenderung mengabaikan pentingnya perkembangan ilmu pengetahuan. Pun, semakin memperlebar jarak relasi gender antara perempuan dan laki-laki.  Bukankah hak dasar seluruh warga negara salah satunya akses pendidikan, bagi perempuan dan laki-laki.

Baca juga: Refleksi Pemilukada NTB, 2020: Perempuan, Kemampuan atau Keturunan? (2)

Hak mendapat pendidikan tertuang dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Pentingnya kesetaraan akses bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai  bidang  menjadi salah satu tujuan pembangunan  melalui salah satu instrumen SDGs (Sustainability Developmnet Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada goals ke lima  yakni Gender Equality.

Potret Perempuan

Bagaimana posisi perempuan saat ini dalam dunia pendidikan? Dalam buku Profil Perempuan Indonesia 2019 yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI mengacu pada data Susenas Tahun 2018, secara nasional angka melek huruf laki-laki masih lebih tinggi daripada perempuan, yaitu sebesar 97,33% untuk laki-laki dan 93,99% untuk perempuan.

Kondisi yang sama juga terjadi di Nusa Tenggara Barat. Dalam Statistik Pendidikan NTB 2019 angka melek huruf laki-laki masih lebih tinggi daripada perempuan, laki-laki mencapai 92,12% dan perempuan 83,49%. Sedangkan presentase perempuan dan laki-laki berumur 7-24 tahun menurut status pendidikan menujukkan bahwa kondisi laki-laki lebih rendah yang tidak melanjutkan pendidikan daripada perempuan. Laki-laki mencapai 25,50%, perempuan 28,23% (Susenas, Maret 2019).

Baca juga: Haji dan Penguatan Jati Diri Perempuan: Merdeka!

Dalam perkembangannya, konstruksi sosial dengan ungkapan yang meminggirkan perempuan lambat laun mulai diretas. Kesetaraan gender dalam dunia pendidikan pun semakin membaik. Hal itu terlihat dari mulai banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan tinggi. Namun untuk mencapai jabatan tertinggi seperti “Guru Besar atau Profesor, keberadaan perempuan masih sedikit. Tahun 2020, jumlah guru besar atau profesor mencapai 5.664 orang atau sekitar 2,16 persen dari total dosen di Indonesia yang mencapai 261.827 orang (SPT, 2019).

Prof. Atun Wardatun sedang menjadi fasilitator La Rimpu

Menjadi yang pertama dan menginspirasi di bidangnya sangatlah istimewa.  Mereka pastilah orang-orang pilihan yang penuh kesungguhan dan rela berkorban. Kita mengenal Esther Gayatri perempuan pilot pertama yang melakukan uji coba penerbangan. Marie Thomas perempuan pertama sebagai dokter. Fatimah al Fihri, pendiri universitas pertama di Maroko dan Siti Baroroh Baried, seorang pakar sastra Arab yang merupakan perempuan pertama yang tercatat bergelar guru besar di usia 39 tahun.

Atun Wardatun dan Aktivisme Sosialnya

Dari  ujung Nusa Tenggara Barat, Selasa 8 Juni 2021 menjadi tonggak lahirnya seorang tokoh perempuan yang mendedikasikan hidupnya pada dunia pendidikan. Beliau masih muda usianya baru 44 tahun. Namanya, Atun Wardatun yang menjadi perempuan pertama  dari Bima mendapat jabatan Guru Besar  dalam bidang Hukum Perdata Islam Indonesia di Universitas Islam Negeri Mataram, NTB. Ia adalah salah satu sosok nyata pejuang yang melawan budaya patriarki dan mewujudkan kesetaraan.

Baca Juga  Perempuan Kedua

Di tengah dunia yang terus menggaungkan kesetaraan di berbagai bidang, Indonesia terus menghadirkan sosok perempuan pilihan. Hadirnya perempuan inspiratif ini, diharapakan mampu menjadi role model bagi perempuan. Kita harus belajar banyak dari kisah sukses mereka.  Berbagi energi positif, semangat untuk maju dan berkembang, tidak cepat menyerah, bergandengan tangan, memiliki sejuta jalan untuk berdiri tegak dan tidak gampang tumbang.

Pesan-pesan kuat seperti ini tersirat dalam karya-karya tulis Atun Wardatun, seperti dalam buku Perempuan NTB Mendunia, Siapa Takut? dan buku memoar Bukan Satu Mata, yang membikin semua orang kagum, bagaimana seorang perempuan berusaha tegar, dan mencoba merubah musibah menjadi anugerah yang harus disyukuri.

Beliau hadir di tengah masyarakat dengan menyalakan obor pengetahuan kritis melalui gerakan pemberdayaan dan literasi. Mendirikan Yayasan La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan), sebuah wadah yang memberikan edukasi untuk membangun partisipasi perempuan dalam gerakan perdamaian dan perubahan sosial.

La Rimpu yang didirikan oleh Guru Besar perempuan termuda di NTB ini menjadi sebuah ruang perjumpaan bagi perempuan untuk saling belajar, dan berbagi tentang persoalan konflik sosial dan bagaimana mencari problem solving bersama.

Ibu Atun, sapaan akrabnya, menyadari betul bahwa perempuan adalah kekuatan dan memiliki potensi untuk membangun kondisi sosial yang lebih baik, lebih bermartabat. Dan kesadaran itu beliau tularkan kepada kaum perempuan lain di akar rumput, di desa-desa, terutama desa yang bisa terpuruk karena karena konflik.

La Rimpu tidak hadir dalam ruang kosong. Komunitas perempuan, hasil binaan ibu empat orang anak ini, hadir dengan definisi sosial yang jelas. Ada problem sosial yang harus dicarikan jalan keluar. Konflik komunal yang laten, bahkan “dilanggengkan”. Konflik Renda dan Ngali di Bima misalnya, adalah dua desa yang menjadi pijakan awal La Rimpu dalam mengurai benang kusut konflik berkepanjangan.

Prof. Atun Wardatun setelah acara wisuda S3-nya di Western Sydney University, Australia 2017 lalu.

Pengalaman mengurai konflik dan mengubah perilaku sosial yang produktif ini diikuti oleh desa-desa terlibat konflik, seperti Kalampa dan Dadibou di Kecamatan Woha, dan Wora dan Nangawera di Kecamatan Wera, semuanya di Kabupaten Bima. Ini bukanlah pekerjaan dan pengalaman yang mudah. Kehadiran La Rimpu telah membuka narasi baru, yakni narasi perempuan sebagai agen perdamaian, agen perubahan sosial yang sering dilihat sebelah mata.

Bahwa potensi baik perlu ditumbuhkan dan proses belajar yang menyehatkan perlu disebarluaskan. Ini nilai dasar (core values) yang menjadi landasan pacu dari gerak La Rimpu: Mahawo (mendinginkan), Marimpa (menyebar luaskan), Manggawo (meneduhkan). Memastikan bahwa proses belajar harus didokumentasikan dengan baik, La Rimpu wujudkan dalam sebuah modul yang menjadi panduan, peta jalan bagi banyak orang bahwa belajar memerlukan tuntunan agar fokus, tidak hilang arah.

Baca Juga  Haji dan Penguatan Jati Diri Perempuan: Merdeka!

Baca juga: Mengingat Siti Hajar, Merenungi Kehadiran Perempuan

Kekuatan apa yang dimiliki Ibu Atun sehingga mampu melakukan itu semua? Tidak lain kuncinya adalah kesadaran akan kapasitas untuk bertidak (agency) dan kemauan untuk terlibat. Ini yang membedakan ia dengan banyak akademisi lain. Selain tanggung jawab sebagai manusia seutuhnya, kecintaan akan kampung halaman, jejaring luas, pengetahuan mumpuni, yang utama juga adalah keteladanannya dan leadership-nya.

Bahwa kata-kata dan tindakan haruslah menyatu dengan semangat saling membesarkan, mendukung satu sama lain. Beliau tidak hanya hadir di mimbar-mimbar besar, tapi juga pada ruang-ruang sunyi, di sarangge ibu-ibu di kampung. Serupa ungkapan Plutarch, seorang sejarawan dari Yunani itu, bahwa sejatinya pikiran adalah api yang harus dinyalakan, bukan bejana yang harus diisi”.

Bahwa dalam dunia pendidikan, pentingnya sikap proaktif, tak bisa hanya sekedar menunggu untuk menciptakan sesuatu yang berarti. Dan Ibu Atun adalah pionner” untuk modus tindakan ala intelektual organik-nya Antonio Gramsci.

Saya dan Ibu Atun

Saya sendiri memiliki pengalaman personal dalam hal terkontaminasi oleh modus gerak seperti yang dicontohkan oleh Ibu Atun. Beliau bagi saya pada akhirnya adalah guru sekaligus kakak. Tempat kami belajar banyak hal. Sebagai pendengar yang baik, beliau sangat care terutama untuk soal kemajuan perempuan. Misalnya menanyakan perkembangan sekolah kami yang tidak selesai-selesai. Semangat untuk maju terus beliau suntikkan.

Beliau juga tak bosan mengajak kami untuk terlibat dalam ruang perjumpaan dengan cara sederhana, misalnya dengan kemah bersama untuk menguatkan rasa persaudaraan sambil menikmati bebek bakar plus sambal ‘doco” khas Bima. Pada kesempatan-kesempatan seperti itulah beliau mendorong kami untuk melihat kampung, kembali ke kampung halaman walaupun hanya sekedar napak tilas, apalagi berupaya  membangun kembali “Bima Ramah, Bima  Berkemajuan,” yang dicita-citakan bersama itu.

Baca juga: GOW dan Pengembangan Organisasi Perempuan

Ibu Atun melakukan semua itu tanpa lelah, tanpa pamrih, juga dengan simpel. Dou Mbojo khususnya siwe Mbojo telah menemukan role model atau pijakan untuk bermimpi besar. menjadi manusia tidak terbatas.

Selamat untuk ibu sekaligus kakak panutan dan teladan kami atas pencapaiannya yang melampaui batas usia dan zamannya. Proud Of You Prof. Atun Wardatun, M.Ag., MA., Ph.D., kami padamu!

Ilustrasi: Dok.Pribadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *