Sosiologi Kopi: Memaknai Ngopi dan Kesetaraan

TULISAN ini pada dasarnya terilhami dari pertanyaan salah satu mahasiswa sosiologi agama akhir semester. Dalam suasana tenang mahasiswa itu bertanya,”kira-kira judul riset untuk skripsi yang bagus buat saya menurut abang, apa bang?” Tanya nya!

Karena berhubung malam itu kami sedang duduk di salah satu kedai kopi, yeah sudah muncul lah ide untuk membincangi fenomena ngopi dengan prespektif sosiologis. Mengingat sosiologi merupakan ilmu pengetahuan sosial, maka saya pikir—melalui secangkir kopi kita dapat menjelaskan berbagai perilaku sosial yang terjadi dalam budaya ngopi. Maka munculah topik dengan tajuk, “Sosiologi Kopi: Kesetaraan dan Runtuhnya Stratifikasi Sosial

Seperti yang kita ketahui, kopi merupakan minuman yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan—mulai dari kalangan menengah ke bawah hingga kalangan menengah atas. Setiap kalangan dapat mengkonsumsi kopi dalam berbagai situasi dan keadaan. Kopi selalu hadir di setiap sela-sela aktivitas manusia bahkan menjadi media pembuka bagi berlangsung-nya komunikasi dan interaksi.

“Di hadapan kopi, kita semua sama.” Demikian quote by Paox Iben Mudaffar. Kutipan singkat ini amat menggambarkan kesetaraan di hadapan secangkir kopi; bahkan tak ada kelas atau status sosial khusus yang berhak menikmati jenis kopi tertentu, yeah meski pun aktivitas ngopi itu sendiri pun satu sisi juga menegaskan adanya stratifikasi sosial dari adanya beberapa tahap, seperti proses pengolahan, jenis biji, siapa yang mengolah, tempat diproduksi dan tempat dinikmati merupakan atribut kelas itu sendiri (Mida Busyrah). Meskipun begitu, esensialnya adalah kopi yaa kopi, dan semua kalangan dapat menikmatinya.

Dulu kopi hanya dikonsumsi oleh “kelas” tertentu; seperti tuan “kolonial yang ber-uang dan berpengaruh”. Berbeda dengan masyarakat yang menanamnya, bahkan tidak mampuh atau sengaja tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsinya. Namun, seiring berjalannya waktu, kopi menjadi sangat populer dan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Dalam setiap acara-acara pun selalu disuguhkan kopi sebagai simbol kebersamaan. Seseorang saling membuat janji untuk bertemu di coffee shop dan biasanya keluar ajakan, “ngopi yuks !” yeah meski pun pada akhirnya tidak minum kopi.

Kemudian muncul ide-ide kreatif, tentang bagaimana mengolah kopi agar menjadi sesuatu yang istimewa dengan melakukan berbagai variasi terhadap kopi; mulai penanaman, pengolahan, hingga menata ruang untuk minum kopi (coffee Shop) dan seterusnya. Semua itu pada dasarnya hanyalah cara menikmati yang bisa dibaca sebagai estetika, atau cara lain dalam bahasa agama adalah “mensyukuri karunia Tuhan”.

Terkait adanya kelompok dari jenis tertentu yang merasa berbeda, merasa kelasnya lebih tinggi dari kelompok lain atau menjadikan kopi sebagai komoditas kelas, dsb. Hal itu tetap saja tidak mengurangi popularitas kopi sebagai minuman yang paling banyak dikonsumsi orang-orang di dunia. Bahkan di mata kebanyakan masyarakat “kopi adalah kopi” yakni salah satu minuman yang digemari dan penuh kehangatan persahabatan (Paox Iben).

Baca Juga  Membaca "Teks" Metafor Model Relasi Gender dalam Spiritual Bima: Analisis Hermeneutika Paul Ricoeur

Ada keakraban dan keharmonisan yang tumbuh dalam tradisi ngopi. Seperti halnya dalam tradisi ‘Fika‘ di Swedia atau ‘coffee break‘ yang umumnya kita jumpai di rundown acara. Tradisi ini memberi kesempatan pada pekerja atau yang sedang berkegiatan untuk sekedar istrahat dan ngobrolngobrol sejanak sambil menikmati kopi. Meskipun tidak semua suka kopi, namun tercipta kebahagiaan tersendiri bagi mereka.

Lahirnya tradisi ‘Fika‘ ini juga bukan tanpa alasan, melainkan salah satunya adalah karena, saat itu kopi merupakan bagian dari kelas-kelas tertentu. Bahkan pada abad ke-18, ngopi dilarang di Swedia karena dianggap merusak kesehatan. Namun pada perkembangannya, kopi telah menjadi komoditi semua kalangan, terlepas dari proses kreatifitas yang mendahuluinya. Hal ini tentu saja telah memangkas seluruh aturan dan hirarkisme kelas perkopian (Ardy S).

Saya kira, inilah yang membedakan kopi dengan beberapa jenis minuman lainya. Katakanlah minuman yang berbahan dasar alkohol seperti wine, anggur, vodka dsb. —yang hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan tertentu. Bahkan di dalam keagamaan tertentu—yang bisa mengkonsumsi anggur dengan kualitas terbaik hanyalah pihak-pihak tertentu saja. Sedangkan kopi, di dunia ini hanya ada dua jenis saja, yakni arabika dan robusta—dan kedua jenis kopi itu pun masih bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Berdasarkan kenyataan itu, kutipan yang mengatakan bahwa, “di hadapan kopi kita semua sama” dapat dibenarkan. Tak ada pula istilah pembagian kelompok masyarakat ke dalam lapisan kelas bertingkat (hierarkis) dengan perwujudan kelas rendah atau kelas tinggi—yang berhak mengkonsumsi jenis kopi tertentu; entah itu kopi dengan jenis robusta atau pun arabika. Di hadapan kopi, tak ada pula istilah kelompok yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki sosial—yang memiliki akses lebih besar terhadap kopi, dan—sekali lagi; “semua kalangan bisa mengkonsumsinya dalam berbagai situasi dan keadaan—kapan dan dimana pun itu.”

Selain itu, dalam aspek yang lebih teologis, misalnya, mengkonsumsi kopi karena rasa syukur dan kecintaan terhadap ciptaan-Nya menjadi renungan yang cukup filosofis; “hubbul qohwah minal ‘iman” —juga merupakan salah satu quote yang saya suka dari Paox Iben Mudaffar. Menurut saya, kutipan ini memiliki makna yang cukup dalam. Mengkonsumsi kopi dengan kesadaran filosofis semacam itu tentu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu (tidak termasuk penulis).

“Mencintai kopi adalah bagian dari iman.” Artinya, mengkonsumsi kopi dengan tingkat kesadaran seperti itu merupakan bentuk rasa terimakasih kita terhadap nikmat yang telah Tuhan berikan melalui kopi. Maka, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa kopi adalah minumannya para “sufi”. Syuruput demi syuruput sembari diiringi dzikir-dzikir tertentu akan memberikan sensasi klimaks spiritualitas tersendiri yang cukup intim. Bahkan kesataraan dalam budaya ngopi ini juga menjadi konsep ajaran penting di kalangan kaum sufi.

Baca Juga  Dari Fikih Qauli ke Fikih Manhaji

Sebenarnya tidak hanya sebatas kopi yang harus disyukuri, namun segala yang diciptakan oleh Tuhan. Bahkan kehidupan ini merupakan nikmat itu sendiri; termasuk segala sesuatu yang dialami oleh manusia di dalam proses menjalani kehidupan; entah yang dialaminya adalah kebahagiaan, kesengsaraan, kemiskinan, kekayaaan, kesakitan, kesehatan dsb. Semua itu merupakan nikmat Tuhan yang patut disyukuri.

Maka nikmat Tuhan-mu yang mana lagi yang kamu dustakan?”
—(Q.S Ar-Rahman:13)

Selama ini, kita memaknai nikmat Tuhan hanya sebatas kesenangan semata—dan kita seringkali tak sadar atas ketakterhinggaan nikmat Tuhan yang kita rasakan. Apalagi era yang cukup hingar saat ini, segala aktivitas memang hampir tak lagi dimaknai secara mendalam. Terkikisnya unsur kedalaman ini beriringan dengan semakin canggihnya teknologi yang menawarkan segala kemudahan. Sehingga aktivitas-aktivitas seperti makan, minum, perjumpaan, dsb. menjadi hal yang tidak lagi penting untuk dimaknai.

Makan yaa makan, minum yaa minum—atau berjumpa yaa berjumpa. Seakan aktivitas-aktivitas semacam itu tak memiliki maknah “bagai mesin yang berputar tanpa tujuan”. Padahal, saat menghidangkan makanan misalnya, jika dimaknai merupakan salah satu aktivitas yang cukup sakral—karena ketika makan terjadi proses transformasi energi alam yang masuk ke dalam tubuh kita.

Pada aspek lain, (Ulil Absar Abdalla, 2016) mengungkapkan bahwa, “dewasa ini, orang tak sekedar makan dan minum sebagai keniscayaan hidup untuk menghindarkan diri dari kelaparan yang mematikan. Mereka ingin makan dengan sebuah gaya (an- eating with style) dan juga mereka tak sekedar minum untuk mengobati dahaga, tetapi minum dan makan secara estetis.” Begitu pula dalam konteks budaya ngopi kita saat ini seolah telah menjadi gaya hidup (life-style) khususnya di kalangan milenial tanpa adanya motiv-motiv filosofis tertentu yang membuat dahi mengkerut []


Ilustrasi: Minuman Kopi (credit: heartfoundation)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *