Tepat dua puluh lima tahun yang lalu, di jalan Diponegoro, Jakarta. Terjadi kerusuhan berdarah antara: Kubu Soerjadi dan kubu Megawati Soekarnoputri. Dalam upaya menguasai saham terbesar Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Belakangan, setelah dipegang oleh Megawati, partai ini berusaha tampil impresif dengan menambah kata “perjuangan” di belakang nama sebelumnya, kini menjadi: PDI-Perjuangan dengan lambang banteng bermoncong putih.
Hal yang menarik adalah munculnya akronim tentang peristiwa itu. Kerusuhan 27 Juli 1996 diakronimkan menjadi Kudatuli. Tentu sudah banyak analisa politik yang mengatakan peristiwa ini juga menjadi tanda campur tangan Orde Baru dan penjegalan trah Soekarno dalam politik Indonesia.
Baca juga: Menilik Narasi Gerakan Politik Islam Indonesia
Sudahlah, hal itu lumrah dibicarakan. Saya ingin mengatakan bahwa akronim yang dipakai, sangat cocok dengan kondisi politik kita. Seekor kuda dan telinga yang tuli. Apakah tulinya “kuda-kuda” kita sudah sejak lama, tak menjadi soal. Tapi, yang mengkhawatirkan sekarang adalah penyakit tuli “kuda-kuda” yang kita lepas itu ternyata sudah menyeluruh. Ini sesuatu yang buruk bagi politik cum masa depan demokrasi di negara Pancasila tercinta ini.
Kuda sangat dekat dengan politik kita. Bahkan, dalam menentukan sukses tidaknya seorang politisi di panggung politiknya, ditentukan sukses tidaknya kuda yang ia miliki di lintasan pacu. Persis, semakin bagus pamor kudanya, semakin berwibawalah ia dalam arena politiknya. Posisi kuda sama sucinya seperti kucing bagi keberuntungan orang Cina dan sama sakralnya sapi di mata orang Kudus.
Baca juga: Jalan untuk Politisi Non Partai
Dalam perhelatan politik, masyarakat kita juga bisa menganalogikan politisi dan partai politik itu dengan kuda. “Jara nomor pila ra co’o mu lenga, jara warna au ra nenti mu lenga?” (Kuda nomor berapa yang kau lepas kawan, kuda warna apa yang kau percaya kawan). Hal ini menjadi “tanda” bahwa harapan masyarakat kita terhadap politisi itu seperti kuda, yang larinya kencang, kakinya kuat, ototnya tertata rapi, posisi pelananya pas untuk diamanahi aspirasi. Unek-unek masyarakat ada di pundak sang “kuda” itu.
Kondisi hari-hari ini menjadi bukti, bahwa “kuda-kuda” yang kita lepas dan percaya itu, kian hari sudah tak terkendali lagi oleh sang joki. Siapa jokinya? Tentu saja Rakyat. Joki berhak untuk mengendalikannya, malah sang kuda memberontak. Yang lebih parah “kuda” yang kita percaya sudah tuli semua. Tak mau lagi mendengar kata yang joki.
Yang terbaru, masalah rangkap jabatan yang dilakukan oleh Rektor Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu komisaris BUMN menuai kontroversi. Di saat masyarakat menginginkan sang Rektor untuk mengundurkan diri, Presiden Jokowi malah mengubah statuta UI untuk melegalkan posisi sang rektor. Ajaib bukan? Sekali lagi, demikianlah kondisi “kuda” kita hari ini. Tak mau mendengar dan pura-pura tuli.
Itu baru di tingkat pusat, dinamika politik daerah lain lagi jalan ceritanya. Bahkan, lebih ngeri lagi. Akhirnya, tingkat kepercayaan publik menurun terhadap pemerintah, karena semakin tuli, dan semakin melawan tuan jokinya, “kuda-kuda” itu akan semakin mendapat sorotan dari tuannya.
***
Sebenarnya bukan barang baru apabila kekuasaan sekarang tuli dan tak mau tahu nasib rakyat di tengah pandemi ini. Lihat saja sembrononya, di saat semua orang mengkampanyekan bahaya Covid-19, penguasa kita sibuk mengkampanyekan calon kepala daerahnya masing-masing.
Baca juga: Cara Tolak Bala dalam Politik
Satu lagi, di saat semua orang berdoa untuk bangsa yang mencekam akibat Covid-19, “kuda” penguasa sibuk memburu pelaku vandalis di baliho salah seorang yang bakal digadang-gadang calon presiden itu. Begitulah, “kuda-kuda” yang kita lepas dan percaya. Semuanya sudah tuli, masih mau memberi aspirasi dan kepercayaanmu pada “kuda-kuda” yang sudah tuli?
Sampai atau tidak? Kamu sendiri yang tahu jawabannya. Lah wong tuli kok. Hehe.
Ilustrasi: Fokus Banyumas
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe