Dalam kehidupan di alam semesta raya ini, pergiliran itu suatu keniscayaan yang Tuhan berlakukan untuk seluruh makhlukNya—termasuk kita sebagai manusia. Bisa dikatakan bahwa tidak ada satu etape pun dalam seluruh proses kehidupan ini yang luput dari pergiliran dan pergantian.
Mulai dari bergantinya waktu dari detik ke detik, dipergilir hingga sampai kepada jam. Bergantinya siang dengan malam, setiap hari ada pergiliran hingga tiba pergantian tahun. Bergantinya musim dari panas, dingin, cerah, mendung, hingga hujan yang lebat dipergilir pada masa dan musim tertentu.
Pergiliran alamiah yang berlaku untuk jagat raya ini terjadi dengan damai, patuh, dan tunduk sesuai rute dan aturan yang Tuhan tetapkan. Tidak ada kerisauan dan kekisruhan, tidak ada kegaduhan, tidak pula ada kecewa. Seluruhnya pasrah dengan damai dalam menyikapi pergiliran itu.
Mungkinkah jagat raya ini memang telah dipersiapkan Tuhan untuk menjadi makhluk yang senantiasa patuh tanpa pemberontakan? Ataukah mungkin Tuhan telah membisikkan padanya bahwa pergantian itu hanyalah pergiliran dan bukan malapetaka yang mengancam keteraraturan dan keseimbangan? Ataukah mungkin mereka seluruhnya telah belajar dari proses pergantian yang sering terjadi setiap waktu dan setiap saat, bahwa hal itu hanya pergiliran biasa saja dan bahkan memberikan kemaslahatan?
Seakan-akan alam semesta ini paham betul bahwa dirinya hanyalah kefanaan yang berlaku padanya pergiliran kapan saja, dan itu sebuah fitrah Tuhan yang tidak pantas dipermasalahkan oleh makhluk yang menggunakan kekuatan Tuhan sebagai daya kembang, daya tumbuh, dan daya hidupnya.
Sekarang kita tengok proses pergantian atau pergiliran yang diberlakukan Tuhan pada kita sebagai manusia. Kita juga mengalami suatu proses yang dialami alam semesta, ada pergantian pada etape-etape kehidupan yang kita jalani, yang dipergilir Tuhan secara merata pada semua kita. Rasa susah, kecewa, berganti senang hingga merasakan kebahagiaan—ditimpakan secara bergilir untuk dapat dirasakan oleh kita semua. Kesehatan, kenyamanan, dan kedamaian, berganti kesedihan hingga rasa sakit, juga suatu keadaan yang dipergilir untuk kita idap secara bergantian. Kedudukan, pangkat, dan jabatan, berganti—naik dan turun adalah suatu kondisi untuk kita nikmati dengan cara dipergilir oleh Tuhan. Kaya, berada, hingga kondisi sakit dan berujung kematian pun merupakan pergantian yang menjadi keadaan yang dipergilir.
Pernahkah kita membaca pergiliran pada manusia atau kita-kita ini sebagai suatu proses pergantian yang damai, patuh, dan tunduk seperti yang diperlihatkan jagat raya?
Jujur saja, bahwa pergantian dan pergiliran yang terjadi pada manusia tidak pernah damai, tidak pernah pasrah, tidak pernah nerimo, tidak pernah tenang, dan tidak pernah nyaman. Selalu saja terjadi kerisauan, kekisruhan, kegaduhan, kesedihan, hingga kekecewaan.
Mungkinkah hal itu terjadi karena kita merasa bisa mengitervensi Tuhan lewat syariat yang diajarkan Nabi yang disebut doa, shalat, dan ikhtiar? Atau mungkinkah karena kita merasa telah menanam saham yang membuat Tuhan senang yang kita namai ibadah dan akhlak? Ataukah proses alamiah berupa pergiliran itu belum kita pahami dengan mendalam dan yakin? Atau kita kurang berpasrah dan kurang yakin kepada kehendak Tuhan, yang sering kita lawan—ternyata pada akhirnya membawa kemaslahatan bagi diri kita sendiri?
Mari kita belajar dari jagat raya sebagai ayat-ayat kauniyah yang selalu berdamai dengan pergiliran, barangkali dengan bercermin pada jagat raya, kita bisa menyadari dengan ikhlas bahwa Tuhan memang mempergilir kita dalam setiap kondisi dan keadaan dalam hidup ini.
Mestinya kitalah yang harus lebih damai dan lebih tenang ketimbang alam semesta dalam menyikapi pergantian sebagai iradah Tuhan, dan sebagai fitrahNya yang senantiasa mempergilir kondisi dan keadaan. “Watilkal ayyamu nudawiluha bainannas…”, Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…QS. Ali Imran ayat 140.
Dengan firman Tuhan di atas, kita seharusnya merasa cukup untuk paham tentang pergiliran itu sebagai sebuah keniscayaan, yang pasti Tuhan berlakukan diantara kita. Sehingga kita harus malu untuk meratap, malu untuk kecewa, dan malu untuk berburuk sangka pada Tuhan.
Di surah yang lain Tuhan juga mengedukasi kita bahwa mempergilir kondisi dan keadaan diantara hambaNya, dilakukan atas dasar pemahaman yang utuh tentang kondisi hambaNya, siapa yang pantas dan siapa pula yang tidak pantas. Tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi’ul-mulka mim man tasyā`. Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. QS. Ali Imran ayat 26.
Dengan memahami bahwa kehidupan ini sebagai rentetan dari peristiwa, keadaan dan kondisi yang Tuhan pergilir, paling tidak membuat kita menjadi bijaksana dan lapang dada dalam menyikapi setiap pergantian dalam perjalanan hidup kita, dan yang lebih penting adalah kita menyadari dengan sebenar-benarnya bahwa keberadaan kita di hadapan Tuhan hanyalah seorang hamba—tidak lebih dari itu, yang paling pantas untuk mengerti dan menerima kehendak Tuhan—bahwa hidup kita ini hanyalah menunggu dipergilir, dan siap sedia dengan optimis untuk mendapat giliran.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Bismillah…
MaasyaAllah..terimakasih ayahanda selalu mengingatkan kami dan secara tdk langsung memberikan support untuk harus selalu optimis dlm setiap pergantian dan pergiliran hidup ini… 😚
Harapannya semoga kita bisa menikmati dengan damai, ttp bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah anugrah,,
Alhamdulillah alaa kullihal 😇😇🥰