SAYA menyambut gembira, rencana peluncuran buku Antologi Cerpen 25 Penulis Bima berjudul Zikir Geladak yang diagendakan tanggal 28 Oktober 2021 di Kalikuma Educamp & Library, kawasan Ule, Kota Bima. Kegembiraan ini bukan karena saya termasuk salah seorang dari 25 penulis tersebut, melainkan lebih dipicu oleh dua hal, pertama, berkesempatan pulang kampung, dan kedua, melunasi janji pada Abang Khakha, anak saya yang nomor dua. Saat ini Ia baru duduk di kelas satu sekolah dasar.
Tersebutlah beberapa bulan yang lalu saat kemarau lagi di puncak-puncaknya, saya pulang kampung bersama Khakha. Saat melihat gugusan pegunungan yang terhampar begitu memasuki Bima, ia celetuk polos, “Banyak sekali milo, Ama!” telunjuknya berkali-kali diarahkan pada hamparan gunung tandus. Bagi yang pernah naik pesawat dari Lombok ke Bima ketika musim kemarau pasti menyaksikan lanskap seperti gundukan cokelat bubuk milo.
Saya tentu kaget dengan deretan kalimatnya, saya tertampar, sakit –seperti kena uppercut petinju asal Bima, Yani Malhendo. Saya juga tidak ingin berapologi banyak padanya karena kenyataannya hutan dan pegunungan di Bima rusak parah. Sebagai orang Bima, saya dibuatnya malu, seolah mengejek saya dengan keadaan tanah kelahiran, sebab Khakha yang lahir dan besar di Mataram tahunya dia orang Mataram, karena memang belum mampu mengidentifikasi dirinya sebagai orang Bima, apalagi saya termasuk orang yang tidak nyaman membanggakan sukuisme pada siapa pun, apalagi pada anak-anak yang tengah saya proyeksikan untuk terbiasa hidup dalam keragaman, sehingga kelak lebih siap menjadi masyarakat dunia.
Baca juga: Politik Agraria dalam Pengelolaan Hutan di Bima
“Itu bukan milo, Nak.” Saya menarik napas. “Sekarang lagi kemarau, ketika musim hujan tiba, gunung-gunung itu akan kembali menghijau,” ucap saya melanjutkan, pada akhirnya memilih berapologi juga.
“Kan cokelat, Ama. Gunung harusnya hijau. Ditumbuhi apa, Ama? Jagung?”
“Tidak semua yang berwarna cokelat itu milo, Nak. Bukan saja jagung, tetapi beraneka ragam tumbuhan.”
“Kapan akan menghijau?”
“Nanti Ama akan ajak Abang Khakha pulang kampung kalau musim hujan telah tiba,” janji saya padanya, maksudnya agar dia melihat langsung gunung yang menghijau yang memang bisa disaksikan pada musim penghujan. Sebenarnya saya juga tidak yakin, karena kebanyakan rumput hijau yang memenuhi gunung.
Selepas bincang singkat itu, saya lebih banyak diam, tepatnya sih merenungi betapa generasi sekarang jauh berbeda dengan generasi terdahulu yang lebih bijak hidup berdampingan dengan alam. Pikiran saya pun lebih jauh berkelana, hingga bertumbukan dengan berbagai pertanyaan. Satu dari sekian pertanyaan tersebut adalah tanaman apa yang sekiranya paling bagus sebagai pengganti tanaman jagung? Sebab saat ini jagung menjadi salah satu komoditi unggulan para petani, hanya saja mengakibatkan kerusakan hutan dan lingkungan karena “kerakusan” membuka lahan.
Sebelum pikiran memasuki lorong kebuntuan, mata saya tertuju pada kaos yang saya kenakan. Di bagian dada terpampang logo huruf K untuk merek Katotu United yang tengah saya rintis. Saya tak hendak membicarakan Katotu, tapi bahan dasar pembuatan kaos tersebut. Iya, benar, kapaslah yang saya maksud.
Sepengetahuan saya, salah satu komoditi andalan yang diperdagangkan kerajaan Bima pada eranya adalah kain tenun. Masyarakat juga kala itu sudah terbiasa memintal kapas sendiri untuk dijadikan benang yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Jangan ditanya mereka memperoleh kapas dari mana, sebab kapas yang dalam bahasa Bima disebut wunta ditanam oleh mereka sendiri.
Pada skala dunia, deretan negara penghasil kapas terbesar adalah India, China, Amarika Serikat, Pakistan, dan Brasil. Lalu posisi Indonesia di mana? Jangan malu, Indonesia bukanlah negara penghasil kapas, melainkan pengimpor kapas. Hampir 100% kebutuhan kapas dalam negeri untuk industri tekstil dan turunannya diimpor dari negara lain.
Baca juga: Oksigen Baru untuk Pancasila
Sebagaimana dirilis oleh Gatra.com bahwa berdasarkan data International Trade Center (ITC), Indonesia menjadi importir kapas terbesar di dunia dengan nilai impor sebesar US$ 2,4 miliar atau 4,4% dari kebutuhan kapas dunia pada tahun 2018.
Angka dari ITC tersebut menunjukkan betapa Indonesia dalam pemenuhan kapas dalam negeri harus mengimpor, padahal posisi Indonesia sebagai negara agraris seharusnya mampu memproduksi sendiri, minimal untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, syukur jika bisa ekspor juga nantinya.
Peneliti Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Prof Sudjindro mengatakan, kapas berpotensi dikembangkan di Indonesia asal memiliki cuaca yang panas dan ditanami di tempat terbuka. Pihaknya telah mengembangkan puluhan varietas kapas untuk bisa ditanam di Indonesia.
Dari pernyataan Prof Sudjindro tersebut, kondisi alam Bima memenuhi syarat untuk pengembangan kapas. Jika bisa diterima oleh petani di Bima, maka kapas bisa menjadi pengganti tanaman jagung, asal dilakukan secara intensif. Mungkin pada tahap awal pengembangannya, kapas bukan satu-satunya jalan untuk memutus mata rantai krisis lingkungan di Bima, tetapi dapat dijadikan komoditi alternatif di bidang pertanian, lebih-lebih jenis tanaman ini berbentuk pohon atau batang, mengikat tanah, dan sekali tanam berkali panen.
Memang tidak gampang meyakinkan petani, dibutuhkan energi ekstra, apalagi jika tidak didukung oleh pemerintah daerah secara serius, baik berkenaan dengan pembibitan, harga, maupun pasar. Tetapi jika belajar dari cerita sukses teman facebook saya, Bang Irwan Hisdi, yang mengembangkan tanaman sorghum (latu), maka optimisme itu ada. Selama ini sorghum tidak dilirik, kalaupun ditanam, hanya dalam skala kecil untuk kebutuhan di ladang saja. Tapi kini, Kota Bima saja misalnya, sudah menjadikan tanaman yang serumpun dengan padi tersebut sebagai komoditas unggulannya.
Kembali pada tanaman kapas, jika diseriusi, kelak Bima dapat menjadi penyumbang bagi pemenuhan kebutuhan kapas dalam negeri dan juga bukan hal mustahil akan mampu mendirikan industri tekstil yang diperhitungkan di kancah nasional. Tinggal diselaraskan dengan program industrialisasi yang terus digaungkan oleh NTB Gemilang di bawah kepemimpinan “duo doktor” Dr. Zulkieflimansyah, M.Sc. dan Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd.
Terbukanya kolaborasi dengan berbagai unsur merupakan kepingan kebaikan lain untuk memulai. Pemerintah jika memang masih ragu, bisa menggandeng perguruan tinggi untuk mengkajinya terlebih dahulu. Di Indonesia berdiri begitu banyak kampus pertanian dan kehutanan, bukan?
Baca juga: Mitos Kota
Oh yah, baru-baru ini saya melihat flyer dengan tulisan Mbojo Mantoi: Jejak Peradaban Bima. Jika menelusuri jejak peradaban, maka menanam kapas, memintal, dan menjadikannya kain merupakan gambaran peradaban juga. Oleh karena itu, saya titip dunk emangnya loe siapa dalam acara tersebut serempetin kajian tentang budaya pertanian kapas masyarakat Bima tempo dulu. Semacam wacana Kambali Mbojo Mantoi-lah. Mmmmm… mengingat kapas saya jadinya rindu membakar ilo peta berbahan kapas (termasuk bijinya) ketika Ramadan, seperti tradisi dile jojor yang masih saya temukan pada masyarakat Lombok dewasa ini.
Sebagai penutup ocehan receh ini, saya ucapkan selamat Hari Tani Nasional (24 September 2021), semoga di negeri yang mengakui dirinya negara agraris ini, kelak para petaninya makmur dan tidak minder lagi untuk mengakui dan menyebut dirinya petani. Yiiiiihahhhhh… Mari dukung petani![]
Suatu Senja di Tepi Kali Brantas, 24 September 2021.
Ilustrasi: Republika
Pendiri Komunitas Mbojo Matunti, penulis novel Cinta Tak Terlerai dan Mbojo Mambure. Beberapa Pentigraf dan Putibanya termuat dalam Kitab Pentigraf 4: Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau, Kitab Pentigraf Edisi Khusus: Sepersejuta Milimeter dari Corona, dan Kitab Puisi Tiga Bait tentang Corona: Hari Hari Huru Hara.