Konsep Ekofeminisme dalam Mantra “Inaku Dana, Amaku Langi” (2-Habis)

Belajar Dari Para Pemeluk Pohon di India

Beberapa dekade terakhir, koalisi perempuan di India telah membangun strategi-strategi untuk mempertahankan hidup dan perjuangan melawan ancaman terhadap anak-anak mereka yang diakibatkan oleh ancaman dari kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah Gerakan Chipko pada awal 1970-an di Perbukitan Garhwal, India untuk melindungi pohon-pohon agar tidak ditebang—yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pemeluk pohon”, (Vandana Shiva & Maria Mies, 2005).

Para pemeluk pohon ini adalah gerakan perempuan dari cabang Hinduisme Bishn pada 1730. Banyak dari mereka yang meninggal karena mencoba melindungi pohon-pohon di desa mereka agar tidak diubah menjadi bahan baku untuk membangun istana. Mereka benar-benar menempel di pohon, saat dibantai oleh rimbawan. Tetapi tindakan mereka tersebut kemudian menghasilkan dekrit kerajaan yang melarang penebangan pohon di desa Bishnoi mana pun. Sekarang desa-desa itu adalah oasis hutan virtual di tengah-tengah lanskap gurun.

Tidak hanya itu, Bishnoi mengilhami Gerakan Chipko (chipko dalam bahasa Hindi berarti “melekat”) — yang dimulai pada tahun 1970-an, ketika sekelompok wanita petani di perbukitan Himalaya India Utara, memeluk pohon yang akan ditebang. Dalam beberapa tahun, taktik ini juga dikenal sebagai satyagraha pohon, dan telah menyebar ke seluruh India— yang pada akhirnya memaksa reformasi di bidang kehutanan dan moratorium penebangan pohon di wilayah Himalaya. India menjadi negara yang sangat sensitif terhadap masalah yang berkaitan eksploitasi lingkungan.

Tanah bagi mereka adalah “ibu bumi” yang memberikan mereka kehidupan. Alasan mereka sangat teologis. Sebab, India merupakan negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Hindu-Budha dimana basis konsep keagamaan mereka tidak berasal dari langit (samawi) melainkan dari bumi (ard’) itu sendiri. Pemerintah India sampai mengintesifkan 2 Rupe bagi setiap orang yang mau membuang hajat di toilet umum. Meskipun telah disediakan toilet yang berjejeran layaknyya deretan ruko, tetap saja mereka enggan untuk membuat hajat di toilet. Lagi-lagi alasan mereka sangat teologis, dengan mengatakan; “Kami tidak ingin mengotori perut ibu bumi kami”.

Sejauh ini saya masih berpikir dan bertanya-tanya, mengapa kebanyakan masyarakat dengan tingkat kesadaran ekologis yang tinggi justru kebanyakan dari kalangan penganut agama bumi (ard’) seperti, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya. Sedangkan penganut agama-agama langit (samawi), seperti Yahudi, Islam, Kristen dan sebagainya, cenderung menanggapinya dengan biasa saja. Ataukah mungkin karena agama langit disimbolkan sebagai laki-laki (ayah) sehingga kurang respect dengan Bumi? Jika benar demikian, saya kira ini semacam salah duga dalam memaknai agama langit. Keduanya bukan sesuatu yang terpisah namun merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Bumi yang disimbolkan sebagai ibu, mustahil bisa melahirkan berbagai kehidupan tanpa dibuahi oleh sang langit (ayah) melalui hujan yang membasahinya.

Baca Juga  Wisata Halal: Memenuhi Gaya Hidup Kelas Menengah Muslim

 Alam Ayat Hayat: Falsafah yang Terlupakan

Dalam tradisi kebudayan masyarakat Bima dan sekitarnya; tepat setelah Islam masuk di beberapa kerajaan, falsafah tentang pentingnya menjaga alam dipegang secara kuat oleh masyarakatnya. Salah satu dari sekian falsafah itu adalah “Alam Ayat Hayat”. Falsafah ini cukup dikenal oleh di beberapa kerajaan, seperti Tambora, Sanggar dan Pekat. Tiga kata dalam falsafah tersebut mengandung makna bahwa “ayat” yang dimaksud adalah teks suci al-Qur’an, dan Alam Hayat adalah semesta atau kosmos yang wajib dihayati.

Baca juga: Konsep Ekofeminisme dalam Mantra Inaku Dana, Amaku Langi (3)

Alam semesta ini dipenuhi oleh ayat-ayat Allah, dan manusia harus mampu membaca dan menghayati untuk menangkap makna yang terkandung di baliknya. Manusia, selain diwajibkan menjalin hubungan baik secara vertikal dengan Tuhan dan menjalin hubungan baik secara horizontal dengan sesama manusia—juga harus menjalin hubungan baik dengan alam semesta untuk menjaga dan melestarikannya. Jika tidak dilakukan, maka akan datang suatu kehancuran—sebagaimana meletusnya Gunung Tambora pada 1815 yang meluluhlantakkan kerajaan-kerajaan saat itu.

Alam Ayat Hayat diterjemahkan sebagai kategori relasional bukan reduksionis; yakni satu konsep yang menyatu, bukan terpisah sehingga memunculkan keseimbangan dan keserasian.”

Masyarakat Bima harus segera disadarkan dengan kerusakan lingkungan sebagai ancaman yang berbahaya bagi kehidupan generasi yang akan mendatang. Sebagian besar ancaman tersebut telah dicatat dalam kesinambungan sebagai keadilan antar generasi, tetapi persoalan keadilan antara generasi hanya bisa direalisasikan lewat keadilan di antara jenis kelamin. Dengan kata lain bahwa anak-anak tidak bisa menjadi prioritas utama jika ibu mereka saja terus dipinggirkan, (Vandana Shiva & Maria Mies, 2005). Kelangsungan hidup yang terus-menerus terancam oleh kecenderungan pembangunan mengerikan menciptakan degradasi lingkungan dan kemiskinan perempuan yang tak pernah kita tahu kapan semua ini berakhir.

Tapi perempuan Bima masih memiliki kesempatan untuk menjadi manusia yang benar-benar bebas dari segala ketertindasan dan kejahatan yang selama ini mereka rasakan. Sebab Bima adalah gunung, gunung adalah tanah, tanah adalah sawah, dan itu semua bersumber dari Inaku dana yang memberikan kehidupan bagi masyarakatnya. Lumpur hasrat kerakusan itu harus segera disucikan dengan air mata sang “amaku langi” yang menangis melihat sang istri dijamah dan ditelanjangi. Bima adalah bumi yang memiliki peradaban yang harmoni. Harmoni dengan tuhan, sesama dan alam sekitar.

Bukankah kata pertama yang kita ingat di dalam al-Qur’an adalah iqra‘­—yang berasal dari kata qara’Iqra’ diartikan “bacalah”, dan qara‘ memiliki arti menghimpun. Jadi, al-Qur’an adalah himpunan dari huruf dan kata yang bisa dibaca—menghimpun seluruh pengetahuan tanda-tanda, perumpamaan-perumpamaan di alam ciptaan. Perintah membaca huruf-huruf, kata-kata dan kalimat-kalimat dalam al-Qur’an merupakan ajakan untuk memahami alam raya yang sangat luas dan berlapis-lapis, bukan sekedar melafazkan atau membunyikannya, (Musa Kazhim, 2003: 100). Itulah mengapa ketika Jibril as memberi wahyu ke Nabi Muhammad, tidak mengatakan “lihat dan perhatikanlah!” melainkan “bacalah!”

Baca Juga  Perlunya Transformasi Diri: Sebongkah Hikmah dari Peristiwa Isra’ Mi’raj

Antara kata iqra dengan ayat alam hayat memiliki kesamaan pemahaman bahwa alam semesta tak ubahnya sebuah buku. Alam adalah ayat sekaligus tanda yang harus dihayati. “Segala sesuatu yang ada merupakan sebuah tanda, dan dalam suatu hal lain, adalah sebuah tulisan. Dalam bentuk tertulis, Allah menyebut kosmos sebagai “buku” (kitab) dan barang siapa membaca buku ini, maka dia akan mengenal diri-Ku dan pengetahuan, keinginan, serta kekuasaan-Ku, (Musa Kazhim, 2003: 74). Demikian juga ayat alam hayat sebagai falsafah yang lahir dari pengkhayatan akan Tuhan melaui cakrawala yang membentang di tanah luhur Bima.

Al-Qur’an merupakan kumpulan ayat, begitu juga dengan alam semesta. Ayat bermakna sesuatu yang tampak dan tak terpisahkan dari sesuatu yang tak tampak, sehingga ketika seseorang memahami yang tampak, maka dia mengetahui bahwa dia mulai memahami yang tak tampak, di mana yang tak tampak tidak bisa dipahami dengan dirinya sendiri. Fakta bahwa kata ayat (tanda) sebagai bagian-bagian ciptaan dan sekaligus bagian-bagian al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks alam semesta, sedangkan alam adalah konteks dari al-Qur’an. Firman Allah terekam di dalam al-Qur’an dalam bentuk huruf dan kata, sementara Tindakan-Nya terungkap di alam semesta dalam kejadian dan fakta, (Musa Kazhim, 2003: 98).

Ayat alam hayat harus membumi dan diinternalisasikan kembali oleh masyarakat Bima. Sebab ia merupakan pesan agar masyarakat Bima kembali melihat, mengingat, memahami, mempergunakan akal, merenung, bertakwa, meyakini, bersyukur, dan sebagainya. Ayat alam hayat menegaskan bahwa tanda-tanda Allah adalah petunjuk untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya melaui inaku dana, amaku langi. Kenyataan ini juga selaras dengan kesatuan wujud (wahdat al-Wujud) dalam konsep kunci mistisisme Ibnu ‘Arabi—tentang segala ciptaan adalah tanda dan perumpamaan bagi kehadiran Ilahi. Maka aktivitas eksploitasi terhadap alam merupakan pelecehan yang tidak saja tertuju kepada Inaku dana, namun juga terhadap Tuhan itu sendiri.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *