SEBAGAI umat yang beriman tentunya sangat yakin bahwa seluruh dinamika yang ada di jagat raya, baik yang terjadi di alam semesta maupun pada seluruh makhluk, tak terkecuali manusia, ada yang memberi takdir terhadapnya.
Keyakinan tersebut mestinya melekat pada sekujur tubuh umat beriman, menempel pada setiap sendi, merekat pada setiap ruas anggota tubuh, bahkan ikut larut di dalam darah yang mengalir tanpa henti. Ia tak boleh memudar hanya karena situasi dan keadaan tertentu, tidak boleh dikalahkan hanya oleh bayang-bayang yang kita tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentangnya.
Tatkala kita berada pada kondisi dan situasi yang sulit ataupun mudah, pada posisi yang senang atau susah, dan pada posisi yang lapang atau sempit, komitmen keimanan itu seharusnya stabil sebagaimana stabilnya zat yang kita imani. Namun dalam kondisi tertentu, keimanan kita sering labil, sehingga sadar atau tidak, kita sering memaksa Tuhan untuk berpihak pada keadaan yang sedang kita rasakan dan alami.
Tatkala kita berada pada kondisi senang, lapang, beruntung, menang, dan sukses—optimisme kita bisa menafikan takdir Tuhan, di mana pada kondisi yang demikian, posisi Tuhan kita kerdilkan, bahkan kita tiadakan. Kita lupa berdo’a, lupa berharap kepadaNya, bahkan lupa berpasrah diri. Kita lupa bahwa wewenang kita di hadapan takdirNya hanya merencana dan mengharap, hasil akhir tetap akan terjadi sesuai yang Tuhan rihdoi.
Ali bin Abi Thalib menguntai atsar yang cukup indah tentang kesadaran imani, “Ana urid, anta turid, wallahu yaf’alu ma yurid”. Saya berkeinginan (terhadap sesuatu), anda pun juga demikian, akan tetapi yang berlaku pasti kehendak Tuhan.
Demikian pula tatkala kita sedang berada pada kondisi susah, terjepit, kepepet, sempit, gagal, tertekan, dan ketakutan—pesimisme kita bisa mengalahkan keberpihakan Tuhan. Tuhan kita tempatkan jauh di belakang ketakutan dan kesusahan kita. Kita lupa bahwa Tuhan itu dekat sekali dengan hambaNya sedekat urat nadi. Lisan kita memang memanggilnya dengan yakin, tetapi hati kita lebih condong untuk pesimis. Kita alpa terhadap komitmen Tuhan bahwa hidup dan mati itu ada deadline Tuhan yang Maha Konsisten.
Dari dua kondisi di atas kiranya sudah cukup bagi Tuhan untuk memposisikan seberapa dalam komitmen keimanan kita. Tatkala kita senang, lapang, beruntung, menang, dan sukses—berimankah kita dengan iman yang sesungguhnya?. Begitu pula tatkala kita susah, terjepit, kepepet, sempit, gagal, tertekan, dan ketakutan—berimankah kita dengan iman yang sesungguhnya?.
Tuhan menunggu jawaban kita melalui kesadaran untuk merubah sikap dan prilaku imani dari diri masing-masing—Bukan melalui hipotesis yang mendahului takqir. Tuhan tidak ingin kita ragu dan tidak ingin pula kita bimbang. Melalui lisan NabiNya Tuhan menitip pesan “Qul! Amantu bil-lahi tsummas-taqim!”, Katakanlah! Aku percaya kepada Allah, kemudian pegang teguhlah pendirian itu!
Tuhan tidak sekadar menitip pesan moral lewan lisan Nabi SAW, ditampakkan pula testimoni dari beberapa kejadian yang dapat kita gunakan sebagai pelajaran yang membuat kita lebih yakin.
Masih ingatkah kita dengan kisah Nabi Yunus as. yang ditelan ikan besar?. Di saat perahu yang ditumpangi terombang ambing, diputuskan untuk mengurangi satu orang penumpang, dalam undian yang dilakukan beberapa kali, nama Yunuslah yang keluar dan harus dibuang ke laut. Tatkala beliau dibuang, datanglah seekor ikan besar menelannya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi di dalam perut ikan, pasti sangat pengap dan gelap. Nabi Yunus tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun sedih, beliau tidak berputus asa dan selalu mengingat Tuhan. Selama 40 hari di dalam perut ikan, tidak mengurangi komitmen keimanan Nabi Yunus sedikit pun. Dengan modal iman dia untai kalimat “Laa ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin. Ya Allah, Tidak ada Tuhan melainkan Engkau. Mahasuci Engkau. Sungguh aku termasuk orang yang zalim.” Beliau pun bebas dari malapetaka yang mengerikan itu.
Kemudian kisah Tsa’labah, seorang yang beriman yang dirubah kondisi hidupnya oleh Tuhan dari keadaan serba kekurangan menjadi seorang yang memiliki kesenangan dan kebahagiaan labih. Di tengah-tengah kehidupan yang gemerlap itu, optimismenya tentang hidup bahagia melampaui komitmen keimanannya, sehingga dia lalai dari berharap dan berpasrah kepada Tuhannya. Karena kelalaiannya membaca diri dan membaca kemurahan Tuhan, maka dia dikembalikan kepada kondisi asalnya, menjadi orang yang tidak berada.
Dan masih banyak iktibar lain yang dialami oleh generasi terdahulu yang diabadikan dalam teks-teks keagamaan untuk dapat kita jadikan referensi penguat komitmen keimanan kepada Tuhan.
Sebagai kalimat motivasi pada setiap kondisi yang kita hadapi, Tuhan meminta kita berada pada posisi keimanan yang seimbang melalui firmanNya di surah Al Hadid ayat 26, agar kita tidak bergembira dan tidak berduka cita yang melampaui batas. “Likai lā ta`sau ‘alā mā fātakum wa lā tafraḥụ bimā ātākum, wallāhu lā yuḥibbu kulla mukhtālin fakhụr”. (Kami jelaskan) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram