Pagi ini saat duduk di teras rumah, tiba-tiba teringat teras apartemen di Belanda sana. Cuaca mendung dan dingin mengingatkan pada secangkir teh susu yang sering kami nikmati di beranda lantai empat. Seorang teman dari Nepal biasanya akan sukarela -dalam arti sebenar-benarnya- suka dan rela menyuguhkan teh susu panas sebagai teman ngobrol. Lengkap dengan praktik pembuatan dan filosofi teh susu itu dalam tradisi keluarga mereka.
“Raani, make sure the water is hot. Boil it with cattle. Dont take from your dispensser.. ” Atau “You know, Tea is a kind of warming attention. The way you care of your family”.
Seorang dosen dari sebuah universitas di Nepal yang begitu tertarik mengenai Indonesia dan pernak-perniknya. Paling rajin bertamu. Selalu menghadirkan pertanyaan dan obrolan seru. Bawel dalam arti yang tidak dilebih-lebihkan.
Tapi karena teh susunya hangat dan menghangatkan kami biasanya betah duduk berlama-lama di situ. Meski dingin dan agak gelap. Mendengarkan optimismenya mengenai Nepal. Ikatan emosionalnya dengan India atau pengetahuannya tentang Indonesia.
Di seberang Kami membentang empat atau lima lajur rel kereta. Rotterdam adalah kota kedua terbesar di Belanda yang merupakan urat nadi perekonomian karena merupakan kota pelabuhan dan perdagangan. Apartemen kami hanya selemparan batu dari Rotterdam Station yang besar dan sibuk itu.
Ada banyak gerbong kereta yang wara-wiri mengangkut penumpang dari selatan ke utara atau sebaliknya. Duduk dua jam di teras berarti dilewati oleh ratusan gerbong yang panjang dan meliuk cepat.
Tak jauh dari situ, jika Kita menyusuri jalan kecil di samping aparteman dan melewati sebuah tunnel di mana di atasnya ratusan gerbong kereta tadi lewat, kita akan sampai pada perempatan sudut kota yang bersahaja.
Di senja hari menjelang magrib suasana dingin menyelipkan perasaan ingin segera bergegas. Di pojok perempatan di deretan ruko-ruko beton lantai tiga itu, terselip ruko yang merupakan Islamic Centre terdekat dengan apartemen.
Tempat itulah yang sering kami kunjungi untuk melabuhkan kepenatan merantau. Pengelola IC ini orang Turki. Komunitas muslim terbesar di Belanda. Papan namanya kecil saja. Ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Ruko lantai tiga itu terbagi atas tiga fungsi. Ada meeting point dan ruang pertemuan di lantai satunya. Di tempat ini pula pada hari-hari tertentu ada layanan untuk mualaf dan konsultasi agama. ‘Masjid’ tempat salat berjamaah di lantai dua dan tempat tinggal pengurus IC di lantai tiga.
Saat bulan puasa ada jatah buka puasa bersama bagi semua jamaah. Kurma yang khas, buah dan aneka jus. Makanan berat khas timur tengah tersedia banyak setelah magrib. Kebab, roti mariam, kari yang lezat dan hangat serta daging dan ayam dalam berbagai olahan. Melimpah dan nikmat.
Wajar saja jika salah satu teman apartemen sering meragukan motivasi kami salat di IC ruko itu. “Salat jamaah atau paketan salatnya?” Ledekan yang saat ini sering saya kenang sambil tersenyum.
Lain timur, lain barat!
Dari apartemen kami, hati-hatilah bersepeda menyusuri tunnel ke arah Barat. Ini peringatan keras bagi pendatang baru. Terutama dari negara muslim, perempuan dan berhijab. Semacam vorbidden.
Itulah mengapa jika ingin ke toko Cina membeli beras atau mencari ikan laut, kami disarankan memutar hingga tiga blok ke selatan baru ke arah Barat. Tapi terkadang kayuhan sepedamu bukan milikmu sendiri itu. Kenyataannya di suatu hari kayuhan sepeda kami melewati jalan itu.
Pagi di akhir pekan, ketika hendak membeli beras di wilayah pecinan tetapi tak kuasa memutar tiga blok karena tenaga yang terkuras sepulang dari dolan ke negara tetangga. Di mana beras habis dan kau merindukan makan ikan laut, setelah semalam kembali tiba di apartemen, maka kayuhan sepeda membawamu melewati jalan pintas itu.
Ke arah barat di pagi yang hangat itu harusnya anugerah. Jalanan yang lengang, perumahan yang bersih dan rapi, bunga-bunga yang diatur rapi di tangga dan digantung di teras-teras sempit, serta cuaca yang bersahabat. Tidak dingin dan lembab. Serta udara segar yang bisa kau hirup sesuka hati.
Baru dua ratus meter kami berpapasan dengan dua bule yang menatap aneh. Sesaat saling menatap dan lalu mengangkat bahu meneruskan kayuhan.
Ketika sampai di perempatan pertama, baliho video iklan selebar meja pimpong yang bertebaran di kiri kanan jalan menyambut riuh. Hampir semua tanpa sensor..
Suara dan aksi yang harusnya berada di tempat “khusus”, diiklankan dengan terang benderang. Dengan harga dan pilihan menu lengkap dan variatif. Tidak ada satu pun makhluk yang terlihat, mungkin sedang tertidur karena semalam mabuk.
Belakangan kami tau bahwa semua aktifitas nyata diharuskan dalam gedung. Menunjukkannya atau melakukannnya di luar gedung adalah pelanggaran ketertiban umum dan akan dikenakan pinalti dari pemerintah kota.
Tapi iklan-iklan itu membuat jengah tak alang kepalang. Dalam kebingungan antara terus mengayuh secepat mungkin atau berbalik arah, tiba tiba dua orang Afrika yang baru saja keluar dari salah satu pintu gedung berteriak lantang.
“No sister no. No, turn around, turn around..”
Dalam kepanikan, saya dan teman saya yang petinggi LAN itu malah refleks mengayuh sepeda sekuat tenaga. Lebih cepat, lebih kuat bak dikejar anjing gila, yang justru membawa kami lebih dalam memasuki kompleks itu.
“Nyasar! Tapi kok ya di pagi yang terang benderang!”
Ilustrasi: Pixabay
Penulis buku Gurun Tak Bernama, mantan wartawan, dan alumni Erasmus University Rotterdam.