Merawat Masa Depan HMI

Tahun ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah memasuki usia ke-75. Sebagai organisasi, HMI telah membersamai republik ini sejak dua tahun pascakemerdekaan. Tentu pasang surut, kemajuan, konflik, integrasi hingga masa-masa “stagnansi” republik ini dialami oleh HMI. Bisa dibilang, arus dan arah sejarah republik ini, salah satu lokomotifnya adalah HMI.

Ada yang menarik dari perayaan milad HMI ke-75 tahun ini, berangkat dari postingan di instagram Menkopolhukam, Moh Mahfud MD yang juga sesepuh di HMI yang ingin meluruskan hymne HMI yang menurutnya frase “turut al Qur’an-hadis” keliru, yang benar adalah “turut Qur’an-hadis”. Jadi tidak ada frase “al” dalam menyanyikannya.

Postingan Prof Moh Mahfud MD –untuk tidak menyebutnya bang—mendapat tanggapan dari Raihan Ariatama, Ketua Umum PB HMI sekarang, bahwa dalam sejarahnya terjadi perubahan-perubahan dalam cara menyanyikan frasa itu. Perlu dipertegas bahwa yang benar, menurut Raihan, seperti dikutipnya dalam postingan akun instagram historiahmi, bahwa yang benar adalah frasa “turut Qur’an-hadis” ini menurut perubahan terakhir, hasil Munas HMI di Ambon, katanya.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peristiwa di atas? Tentu saja, kesadaran akan sejarah dalam tubuh HMI itu tidak benar-benar mati. Ini baru yang terlihat ke permukaan, karena mereka adalah “elite” di HMI. Saya yakin perdebatan akan “pelurusan” sejarah HMI di akar rumput setiap hari terjadi. Apalagi kader yang kepo akan perpecahan HMI selalu saja ada di forum-forum LK. Namun, sayangnya tidak ada yang benar-benar mampu menjawab rasa penasaran akan masa lalu organ yang berakta kelahiran di Yogyakarta ini.

Perlu diakui, HMI seakan masih “absen” dalam kerja-kerja kesejarahannya. HMI masih “sibuk” mengurus agenda-agenda politik praktis dan wacana “mengamankan kursi”. Namun, salah satu space penting yang dibisa konstruksi oleh HMI sebagai penanda HMI hadir di tengah-tengah masyarakat masih dipandang sebelah mata, bahkan oleh HMI sendiri.

Sejauh ini, kontribusi HMI masih dilekatkan pada individu kader. Seolah-olah ke mana kader pergi dan apa jabatan kader itu; itulah kontribusi HMI untuk masyarakat dan negara. Begitu juga sebaliknya, prilaku koruptif, dekadensi moral, dan ribut-ribut kader itulah dosa-dosa HMI untuk pertumbuhan masyarakat dan negara. Paradigma semacam ini bukan saja mengjangkiti masyarakat awam, tapi sudah merasuki pikiran kader-kader HMI sendiri. Hal ini harus segera diperhatikan oleh HMI, agar kontribusi HMI selama ini tidak dipandang sebelah mata oleh publik, tapi juga untuk memastikan bahwa HMI selalu hadir dan membersamai masyarakat.

Baca Juga  Nuansa Masjid Jawa di Tengah Kota Bangkok yang Metropolitan

Museum HMI

Salah satu tanda masyarakat berperadaban ialah selalu merawat sejarah. Sejarah dijadikan cermin, bukan legitimasi atau dijadikan senjata politik dengan argumen: hanya sejarah “kami” yang benar dan selain itu pasti salah. Dikotomi semacam ini tidak boleh ada dalam HMI. Sebab, hal itu bukan saja tidak sesuai dengan Nilai Dasar Perjuagan (NDP), tapi juga melukai cita-cita “insan akademis” itu.

Selain untuk menyelamatkan masa depan HMI, keberadaan museum HMI ini sebagai bentuk rekaman sejarah HMI dalam bentuk lain, yang bisa dilihat, dikunjungi, dan diapresiasi oleh publik luas, utamanya kader yang kepo tadi. Bahwa ada wahana yang representatif bagi kader dan publik untuk belajar sejarah bangsa dengan perspektif HMI. Bagaimana HMI “membawa” bangsa ini dengan segala uapayanya, yang banyak dijelaskan lewat materi sejarah HMI di Latihan Kader (LK) itu. Tetapi materi sejarah di LK yang hanya kurang tadi tiga jam, tentu tidak menyembuhkan dahaga penasaran kader, bukan?

Serpihan-serpihan sejarah HMI yang tercecer ini, harapannya, lewat museum HMI bisa direkonstruksi menjadi sebuah bangunan sejarah yang utuh, tentang tokoh, dokumentasi, arsip, surat, konflik, hingga folklore HMI yang begitu menumpuk di sekretariat dan mungkin di arsip-arsip pribadi tokoh-tokoh HMI  yang harus segera “diselamatkan”. Karena sekali lagi itu adalah bagian dari perjalanan bangsa ini.

Untuk pengembangannya, HMI sebenarnya tidak perlu risau, sebab HMI sudah punya basis masa yang jelas, kaderisasi yang berjalan setiap tahun dan dari beragam latar belakang studi itu tentu bisa dijadikan massa yang akan menghidupi museum tersebut. Eman-eman, biar kadernya itu ngak jadi pengangguran pascalulus nanti.

Untuk teknisnya, Jika saja satu kader masuk dan berkegiatan di museum tersebut dikenakan biaya lima ribu rupiah saja, berapa kegiatan HMI yang akan dibiayai oleh museum ini. Tentu ada tahu sendiri jawabannya.

Baca Juga  Mengapa Suara Ganjar-Mahfud Jeblok?

Mungkin hal ini sudah dipikirkan oleh PB HMI –saya berhusnuzan saja–. Sebab, jika hanya mengandalkan kampanye “sejarah HMI” lewat media sosial, bukan saja hanya masih kurang, tetapi menampung rumah besar hijau-hitam ini, tidak representatiif jika hanya lewat gawai. Ada cara-cara yang lebih elegan, termasuk lewat museum ini.

Desakan akan hal ini, saya kira akan terus bergulir untuk diwujudkan dalam aksi dan tindakan itu semakin menjadi. Seperti slogan kita, wujudkan dalam amal dan yakin usaha sampai.

Tantangan

Jika dilihat dari atmosfer yang terbentuk dalam HMI saat ini, wacana tentang pembangunan museum ini mungkin hanya isapan jempol belaka. Sebab, kawan-kawan di dalam HMI masih sibuk dengan kerja-kerja perbaikan internal, konsolidasi kader, hingga wacana-wacana penguatan badan-badan otonom HMI; yang semuanya adalah PR internal HMI.

Setidaknya jika dirumuskan lebih rinci, tantangan HMI untuk mengupayakan terbentuknya museum tersebut. Pertama, fokus HMI selama ini masih terpusat pada penyelesaian masalah internal. Paradigma yang stagnan seperti di atas hendaknya diselesaikan sesegera mungkin, agar kerja-kerja HMI yang outside-nya bisa dijalankan segera. Kedua, badan-badan latihan HMI masih terfokus hanya pada menciptakan pelatihan kaderisasi dan rekrutmen anggota baru setiap tahun. Belum ada alternatif lain.

Dua tantangan di atas, memang butuh waktu untuk menyelesaikannya. Namun, bukan berarti HMI tidak mampu, membuat sebuah badan baru untuk mengurus sejarah HMI, tentu saja tidak sulit untuk pengurus yang sudah terlatih soal administrasi. Tapi yang kini dibutuhkan effort and political will dari pengurus baru.

HMI memang organisasi kader, tapi sedikit mengubah orientasi, tentu tidak apa-apa, kan? Hal ini perlu dan segera.

Ilustrasi: Locita.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *