Takdir yang kita jalani dalam kehidupan selama ini dan jarang kita sadari adalah menunggu. Sepanjang perjalanan waktu yang kita lakoni dalam bentangan masa dari kehidupan kita, hakikatnya kita sedang bergelut dengan masa-masa menunggu.
Begitu kita terlahir ke bumi, kita memulai menjalani takdir kita sebagai makhluk yang selalu menunggu. Bahwa saat itu dalam ketidakberdayaan, sesungguhnya kita sedang menunggu pergantian masa untuk tumbuh dan berkembang, hingga menjadi makhluk yang memiliki kesempurnaan secara fisik dan psikis, dan memiliki kesiapan untuk menjadi bagian dari alam semesta.
Begitu kita menjadi bagian dari alam semesta raya secara utuh, kita mulai paham dengan diri dan lingkungan, maka kita pun membutuhkan pergantian waktu, dan dalam proses pergantian waktu itu, takdir kita pun ikut berproses, yakni menunggu pergantian waktu pagi, siang, sore, dan malam—apabila malam telah tiba, hasrat dalam diri kita sudah siap menunggu pagi. Apabila pagi merekah—asa kita sudah terpola untuk menunggu waktu siang. Begitu siang telah memancarkan cahaya—kita tunduk pada takdir menunggu tibanya waktu sore. Setelah sore mulai meredup—kita pun kembali menunggu datangnya waktu malam, begitu seterusnya.
Dalam aktivitas formal yang kita jalani, hari-hari yang kita songsong dengan langkah menuju tempat kerja, entah pekerja kantoran, pengusaha, pebisnis, buruh, petani, maupun nelayan, pada hakikatnya sedang menyongsong takdir menunggu. Mulai dari menunggu deadline waktu kerja, menunggu hasil kerja, hingga menunggu waktu untuk purna kerja.
Di luar aktivitas formal yang kita jalani, waktu kita pun sebenarnya juga dominan menunggu, minimal menunggu janji, menunggu informasi dan berita, menunggu tamu, menunggu kawan, atau mungkin menunggu kepastian hasil dari angan-angan dan harapan yang sudah kita tanam. Bagi yang mendapat musibah sakit—menunggu untuk sehat, bagi yang sedang terzalimi—menunggu untuk terbebas. Dan masih banyak kondisi yang tidak formal yang mengharuskan kita menunggu sebagai takdir kehidupan kita.
Dalam kaitannya dengan aktivitas keagamaan atau aktivitas ibadah yang kita jalankan secara rutin setiap hari, dari satu waktu salat ke waktu salat berikut, maka hidup kita juga pada hakikatnya menunggu waktu-waktu salat.
Di tengah-tengah menjalani takdir menunggu dalam aktivitas-aktivitas harian, mingguan, bulanan, dan bahkan tahunan, kita pun jarang menyadari bahwa kita juga sedang menjalani masa tunggu dari rencana besar Tuhan untuk semua makhluk, yakni menunggu akhir dari perjalanan kehidupan—menunggu waktu kematian.
Jadi penting kita sadari bahwa “menunggu” adalah takdir bawaan yang sudah pasti akan kita lakoni sepanjang hayat dikandung badan. Dalam proses menunggu itu, Tuhan sesungguhnya mendidik kita untuk mengerti dan memahami bahwa takdir menunggu adalah bagian dari skenario Tuhan untuk membuat kita mengerti tentang kehidupan yang kita jalani itu dinamis, optimis, dan selalu berubah.
Bukankah dalam tenggang waktu menunggu itu, terselip harapan untuk menggapai sesuatu yang diangan-angankan, yang dicita-citakan, yang diimpi-impikan, dan yang ditunggu-tunggu?
Maka selama menjalani masa menunggu sebagai takdir kita, sandaran terbaik untuk menitip harapan dan optimisme adalah keberpihakan dan intervensi Tuhan, karena kita tidak memiliki kemampuan dan daya untuk memastikan sesuatu benar-benar akan terjadi pada diri kita. Dan Tuhan telah memastikan ketidakmampuan kita itu sebagaimana firman-Nya di surah Lukman ayat 34, “wa mā tadrī nafsum māżā taksibu gada”. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan terjadi pada dirinya esok hari.
Menunggu sebagai salah satu kegiatan yang selama ini kita anggap membosankan, sesungguhnya bagian dari cara Tuhan untuk memberikan peluang bagi kita untuk penyadaran diri, seberapa sabar, seberapa patuh, dan seberapa tinggi tawakkal yang kita jalani.
Sikap terbaik dalam menjalani detik demi detik dari perjalanan kehidupan menjalani masa tawanan takdir menunggu, senantiasalah berkomunikasi dengan Tuhan, berzikirlah sebagai wujud bersandar kepada-Nya, dan bertawakkallah sebagai cermin kekerdilan dan kelemahan diri dalam mewujudkan optimisme terhadap kondisi yang akan dan bakal terjadi pada diri kita.
Menyadari bahwa takdir kehidupan yang kita jalani adalah menunggu, maka jangan pernah bosan, jangan pernah pesimis, dan jangan pernah mengeluh selama menjalani takdir menunggu. Tuhan dan Rasul-Nya senantiasa membersamai kita dalam takdir menunggu yang kita jalani, “Qul tarabbaşū fa’innī ma`akum minal mutarabbişīn.” Katakanlah, Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Demikian firman Tuhan dalam surah al Thur ayat 31.
Takdir kita sebagai makhluk yang senantiasa menunggu, bukan saja kita jalani selama hayat dikandung badan. Ternyata takdir itu kita jalani pula setelah kematian menjemput kita. Kita masih melanjutkan masa-masa menunggu itu tatkala kita berpindah ke alam barzakh, menunggu hari akhir yang dijanjikan Tuhan sebagai titik kumpul seluruh makhluk.
Sebagai catatan akhir, marilah kita menerima dan menjalani takdir menunggu dalam perjalanan hidup kita dengan optimis, dengan senang, dengan harapan yang indah dan dengan penuh keyakinan, bahwa Tuhan merencanakan yang terbaik untuk kita. Kata orang bijak “di mulut terowongan itu pasti ada cahaya”.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram