Cerita dari Masyarakat Toa

Pekan ini publik dibikin “tegang” dengan terbitnya surat edaran (SE) Menteri Agama tentang  Pedoman Penggunaan  Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Surat bernomor 05 tahun 2022 menimbulkan pro dan kontra di ruang publik, apalagi jagat media sosial yang terkenal julid. Serbuan netizen dari segala penjuru dialamatkan ke gedung “ikhlas beramal” itu. Bisa dibayangkan hal serupa terjadi 73 tahun silam, saat serangan umum 1 Maret terjadi.

Sialnya, di kesempatan lain, Menteri Agama memberi komentar publik dengan “membandingkan” bagaimana banyaknya suara-suara azan dalam satu waktu dengan suara-suara anjing dalam satu waktu. Tentu memekakkan telinga bukan? Tapi kita harus berhusnuzan, bahwa dengan terbitnya surat edaran dengan niat untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama.

Namun, setelah riuh menimbulkan polemik itu, dalam benak saya timbul pertanyaan yang menggelitik: mengapa urusan toa atau pengeras suara di masjid ini seramai ini? Ada apa dengan toa ini. Setelah berpikir sejenak, ternyata fungsi toa bagi masyarakat tidak sesempit hanya untuk azan dan iqamah saja, atau hanya sebagai corong pengumuman berita lelayu.

Tidak, toa masjid jauh dari itu, ia menjadi media komunikasi yang mengungkap identitas. “Ada diri saya di situ”, kira-kira begitu fungsi toa bagi masyarakat kita. Menjadi pembeda antara “saya” dan “kamu” atau antara “kita” dan “mereka”. Dalam fungsi teologinya, dengan toa inilah salah satu media masyarakat bisa “menangkap” suara tuhan itu. Dan bisa membedakan bahwa “suara tuhan” yang itu untuk mereka bukan untuk saya, atau sebaliknya. Walau sama-sama panggilan yang dimulai dari takbir itu.

Inilah mengapa fungsi toa bisa melampaui fungsi harfiahnya sebagai alat komunikasi. Jauh dari itu, dengan toa jugalah eksistensi keagamaan kita tersampaikan. Tentu bukan cerita baru di tengah-tengah masyarakat kita tentang adu cepat bapak-bapak yang akan menjadi muazin, atau siapa yang akan menjadi imam pada salat  kali ini. Begitulah masyakarat kita, memang pelik tapi itu fakta di lapangan. Dinamika keagamaan dan keberislaman kita begitu beragam dan penuh “kepentingan”.

Baca Juga  Dari Cinta berujung Benci

Mau contoh lain, tentu sebagai orang tua, siapapun itu, merasa bangga bahwa anaknya menjadi penceramah atau hanya mengiqamahi salat, tentu dengan menggunakan pengeras suara. Karena setelah salat itu dilakukan tentu saja Anda akan ditanya anak siapa itu, siapa nama bapaknya, dll. Itulah kebanggaan kita sebagai orang tua bukan? Sudah akui saja, Anda pernah merasakannya. Nah, hal-hal itu semuanya melibatkan toa sebagai pengeras suara, loh.

Anda bisa bayangkan, betapa kuatnya kesadaran masyarakat kita dengan toa ini. Hal-hal yang bersifat keagamaan pasti menyangkut dengan toa ini. Jika ada kegiatan keagamaan di tengah-tengah masyarakat kita, hal yang pertama yang kita persiapkan tentu saja pengeras suara. Itulah bukti, bahwa toa dan pengeras suara sudah tidak bisa dilepaskan dalam dinamika keagamaan kita.

Sedemikianlah budaya ini tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita. Tentu adanya resistensi terhadap pengaturan pegeras suara ini menandakan lama-kelamaan toa menjadi elemen penting dalam proses peribadatan yang semakin mapan. Berteriak sebagai identitas dan eksistensi “saya” yang punya otoritas ini pada toa ini.

***

Selain cerita tentang masyarakat yang tak bisa lepas dari toa dan menandakan eksistensi sebuah masyarakat. Jangan heran, toa juga bisa menjadi alat komunikasi paling ngehek dan sarkas untuk memanggil masyarakat yang sudah membangun masjid megah-megah dengan toa super besar yang disimpan di menara masjid puluhan meter namun tetap sepi jamaah.

Mungkin cerita ini sudah jamak di masyarakat. Begini ceritanya:

Di kawasan perumahan elit, dibangunlah masjid lumayan megah, dengan segala fasilitas nomor wahid. Ada AC, pengeras suara yang jernih, air bersih yang mengalir, dan ada taman kecil di halaman masjid itu. Karena di kawasan perumahan, masjid itu tak bisa dikatakan ramai. Maklum, warga perumahan sore menjelang Magrib, baru pulang ke rumah.

Marbot masjid tersebut bernama, Mbah Yakub. Selain Mbah Yakub, ada seorang jamaah masjid yang konsisten hadir. Setiap waktu salat, dia usahakan hadir salat berjamaah di masjid megah itu. Namun, si pria ini paruh baya ini orangnya bisu. Dialah yang membantu Mbah Yakub membersihkan masjid, menghitung uang kotak amal, hingga penyembelih sapi kurban tiap iduladha tiba.

Baca Juga  Jalan untuk Politisi Non Partai

Uniknya, pria ini tak pernah menjadi imam dan muazin, pokoknya blio hanya menjadi jamaah. Namun, ia jamaah yang konsisten, berbeda dengan jamaah yang lain hanya ke masjid megah itu saat waktu luang.

Di saat Mbah Yakub mulai sakit-sakitan, masjid megah itu redup. Jamaah masjid yang bisa dihitung jari itu tambah berkurang. Tak ada kumandang azan. Si pria paruh baya hanya datang salat sendiri. Kemudian pulang.

Si pria paru baya, melihat keadaan ini, berinisiatif menjadi muazin, dia ambil microphone yang sudah sepekan tidak terjamah itu dan mengumandangkan azan. Lewat microphone itu ia bersuara dengan suaranya sendiri. Masyarakat menjadi heran, cepat-cepat berlarian ke masjid. Menghentikan si pria itu mengumandangkan azan.

***

Dari cerita itu, siapa yang hendak disalahkan. Si pria itu atau masyarakat yang tak mau ke masjid? Tentu Anda tahu sendiri jawabannya. Sebegitu miris jugalah kondisi masjid kita, pembaca. Masjid-masjid megah yang dibangun dengan dana miliyaran dan hanya mampu menyerap jamaah dengan hitungan jari dan tanpa muazin tetap. Hanya sukarela dan kadang suka-suka.

Tapi tetap, toa bisa menjadi alat eksistensi bisa juga menjadi media komunikasi sarkas untuk memanggil masyarakat agar sadar bahwa masjid yang dibangunnya megah-megah itu bukan hanya dibangun, tapi juga dirawat dan berdayakan. Mungkin masjid seperti itu, ada di samping rumahmu sekarang?

Ilustrasi: Ngopibareng.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *