Pasar dan Prospek Konten YouTube

FENOMENA dunia digital di Indonesia kian hari kian menggeliat. Penyebaran informasi, gagasan, dan aktivitas yang kita lakukan makin mudah dan kian mendapat tempat. Banyaknya platform media massa online hari-hari ini membuat transformasi masyarakat semakin cepat. Hal itu ditandai dengan makin memudarnya klaim dikotomi misalnya antara tradisonalis-modernis, desa-kota hingga Barat dan Timur.

Dengan adanya internet yang masuk ke pelosok desa membuat daya jangkau informasi makin luas, namun kesadaran akan informasi berkualitas dan fragmen penikmat konten-konten edukatif tersebut malah makin menyempit. Hal ini menjadi catatan khusus bagi dunia informasi hari-hari ini.

Salah satu platform yang banyak digunakan masyarakat adalah YouTube. Menurut data ComeScore per Maret 2021, menyebut bahwa YouTube telah menjangkau lebih dari 100 juta orang Indonesia dewasa. (Kompas, 24/11/2021). Dengan jumlah sebanyak ini, tak mengherankan jika YouTube menjadi pasar baru yang diharapkan bisa menjanjikan secara sosial hingga finansial.

Baca juga: Politik Media: Penebar Harapan atau Ratapan?

Melihat peluang di atas – tentu dengan alasan itu – membuat reproduksi aktor-aktor baru pembuat konten YouTube juga makin beragam. Ada pemuka agama, traveller, artis, tukang masak hingga intelektual dan rektor ikut menjajal “durian runtuh” revolusi digital ini. Konten yang disajikan juga beragam ada dalam bentuk podcast, diskusi, dan ceramah.

Jelas, dalam hal ini kita bisa memiliki peran ganda. Menjadi subjek-objek-produsen informasi sekaligus dalam waktu yang bersamaan dalam satu platform media. Tentu saja, lewat YouTube hal itu sudah bisa dilakukan semua.

Kita dapat membagikan video yang kita tonton dengan bermodal jempol, kita bisa membuat konten video sendiri hanya dengan membuat akun YouTube sendiri, kemudian kita bisa meng-upload rekaman diskusi yang dilakukan berjam-jam hanya dengan modal niat saja, sambil mengatakan “jangan lupa like dan subscribe channel YouTube ini”. Mudah sekali bukan.

Bias YouTube

Dengan adanya internet, akses semua orang pada YouTube makin mudah. Dari anak-anak yang menyaksikan aksi Upin-Ipin, remaja desa bisa mengakses Drama Korea, dan emak-emak yang giat mendengar ceramah agama di YouTube kemudian dibagikan ke WhatsApp Group keluarga itu. Hal ini menandakan bahwa akses kita terhadap sumber informasi dan menyebarkan informasi makin masif dan terjangkau.

Dengan  fakta demikian, dengan sendirinya dikotomi-dikotomi masa lalu yang menjadi perdebatan sarjana-sarjana itu akan mulai memudar dengan sendirinya. Misalnya dikotomi antara desa dan kota. Jika dulu kita berargumen bahwa desa identik dengan teknologi yang masih minim, sinyal internet yang susah, bahkan listrik yang tidak ada, dll. Hari ini, kita bisa menciptakan kota bahkan melihat dunia hanya dalam genggaman saja.

Baca Juga  Visi-Misi Islam dan Agenda Strategisnya

Begitu juga dalam dunia akademik, perdebatan antara Timur dan Barat yang hari-hari ini muncul kembali sebenarnya sudah bisa dikatakan kuno dan tidak kontekstual. Kita bisa mendengar kuliah profesor terbaik di Amerika Serikat hanya bermodal sinyal internet di saung sawah sambil menjaga padi.

Baca juga: Intelektual Publik dan Media

Namun mengapa batasan itu masih tetap ada? Menurut Al Makin (2017) menyatakan hal itu hanya dipakai sebagai identitas individu dan kolektif saja, namun batasan itu tidak mampu membendung arus penyebaran informasi baik dari Barat maupun Timur, desa dan kota, dan sebaliknya.

Fakta itu menegaskan bahwa mungkin suatu saat, batas dan dikotomi itu mungkin akan benar-benar luntur dan identitas yang disandang juga lama-lama akan pudar dengan tuntutan ‘kita sebagai warga dunia’ yang mungkin menghilangkan identitas serta baju-baju kultural yang disandang dan makin mudahnya akses kita untuk mendapat dan membagikan identitas pribadi kita ke khalayak melalui platform media massa.

YouTube: Beda Gaya, Beda Pasar

Kendati YouTube bisa dikatakan sebagai media yang lahir pada era milenium ini. Tetapi para viewers dan pembuat konten YouTube bisa kita lihat dengan seksama. Misalnya konten video dari channel YouTube KOFI TV besutan Fachry Ali, yang baru saja hadir. Jika dilihat dari konten-konten yang dibuat, jelas tidak millenials sekali.

Terlihat pembuat konten hanya duduk berbicara dengan latar lukisan dengan tema yang ‘berat’ untuk kelas generasi ‘micin’ dan terlihat terlalu kaku. Dugaan saya, yang menjadi pangsa pasar channel YouTube ini adalah para pembaca setia kolom-kolom Fachry Ali di media massa dekade tahun 80-90-an. Dengan adanya konten tersebut, masyarakat berharap ada nostalgia dengan pria Aceh tersebut. Jelas pangsa pasarnya adalah kelas menengah (middle class) terdidik yang punya akses dengan kolom-kolom Fachry Ali di masa lalu. Sulit untuk meninggalkan jejak kultural Fachry Ali itu.  

Lain halnya dengan channel YouTube Deddy Corbuzier yang sudah di-subscribe belasan juta orang itu. Selain sebelumnya dikenal sebagai host salah satu program televisi swasta, Deddy juga sudah malang melintang di dunia layar kaca sebagai salah seorang pesulap tanah air.

Modal sosial tersebut membuat channel ini laris manis. Dengan sepak terjang Deddy, ditambah konten-konten yang beragam dan menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang membuat konten ini digemari.

Baca Juga  Dunia Arab Masa Depan: Prediksi dan Tantangannya Tahun 2030

Jelas, terjun dalam dunia YouTube memang harus dengan pertimbangan matang. Ada banyak faktor yang bisa membuat konten kita digemari dan ditonton banyak orang. Yang jelas pangsa pasar yang dituju dan seberapa kuat konten kita membuat orang merasa ‘penting’ untuk meng-klik konten-konten yang kita sajikan. Ingat, gaya yang kita tunjukkan menentukan siapa penonton kita.

Menanti (kembali) Revolusi YouTube

Menjelang pemilu 2019 lalu, ada banyak orang menyatakan golput setelah menonton Sexy Killer, salah satu video yang diproduksi Watchdoc, sebuah lembaga nirlaba Indonesia yang baru saja mendapat Ramon Magsaysay Awardee. Video tersebut memang di-upload menjelang pemilu 2019 dan mendapat banyak sekali tanggapan dari masyarakat luas karena menyoroti aktor bisnis dan oligarki yang bermain di pusara pemilu 2019 lalu. Ini menjadi bukti bahwa sebuah video bisa mengubah mindset orang dalam sekejap untuk mengubah keputusannya.

Baca juga: Bararea dan Kegalauan Kita di Media Sosial

Yang ingin saya katakan di sini, sudah sejauh mana prospek YouTube menjadi milestone dalam perubahan (revolusi) sosial di tanah air. Sebab, beberapa tahun lalu Facebook sudah membuktikan taringnya – walau bukan satu-satunya – faktor menjadi api penyuluh revolusi Mesir 2011 lalu. Tinta sejarah dunia pernah digores oleh Facebook untuk menjatuhkan rezim Husni Mubarak. Selain revolusi kopi di Prancis dan Amerika Serikat 1960.

Tentu saya berharap YouTube di tanah air, membawa angin perubahan sosial yang baik utamanya dalam kancah perpolitikan menjelang pemilu 2024. Bagaimana pengayaan wacana sosial, visi misi dan kritisisme rakyat pemilih bisa diasah lewat konten YouTube. Bisa juga prospek perpolitikan Indonesia di tahun 2024 nanti bisa disaring dan dipublikasikan luas lewat video-video di YouTube.

Jelas, saya juga tidak bermaksud mendukung penjatuhan rezim lewat jaringan dan dukungan YouTube seperti Facebook di Mesir. Tapi perubahan sosial itu bisa kita lakukan lewat konten-konten YouTube yang kita buat, agar pencerahan publik bisa terakomodasi dengan baik. Mungkinkah suatu saat nanti calon pemimpin kita disurvei hanya dengan jumlah subscribe dan jumlah viewers-nya di YouTube?[]

Ilustrasi: Travel.okezone.com         

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *