Mendikte Perilaku Saat Melayat

BEBERAPA hari yang lalu, saya menghadiri pemakaman di salah satu pekuburan umum di Kota Mataram. Di saat prosesi pemakaman dimulai, proses memasukkan jenazah ke liang lahat dimulaikan, yang diiringi tangis sedih keluarga duka yang berdiri di sekitaran lubang pusara. Tidak ada suara bacaan kalimat thayyibah yang mengiringi. Sementara jamaah takziah yang turut hadir mengantarkan jenazah, melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak memperlihatkan rasa simpati dan empati atas duka yang diderita oleh keluarga yang meninggal.

Sambil berdiri, para pelayat membentuk firkah-firkah kecil dengan berbagai aktivitas yang berbeda-beda. Ada firkah selfi dengan berbagai gaya dan sunggingan senyum, ada firkah yang membahas tema-tema kantor, ada firkah yang membahas tema-tema seputar aktivitas pensiunan, ada firkah anak muda yang membahas tontonan, dan banyak lagi firkah yang lain dengan tema yang berbeda, termasuk tema gibah dan gunjing.

Baca juga: Kematian: Keniscayaan yang Alamiah

Para anggota firkah itu lupa bahwa mereka sedang berdiri di mana, lupa mereka sedang melaksanakan aktivitas apa, mereka lupa ada saudaranya yang sedang dalam proses masuk ke liang lahat, dan mereka lupa bahwa di sekitaran lubang pusara itu ada saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan dukungan dan kekuatan hati, membutuhkan empati dan simpati untuk menyangga kerapuhan jiwanya yang sedang dilanda duka yang mendalam.

Melalui tulisan ringan ini, saya menyampaikan pesan kepada kita semua, bahwa saat kita menghadiri prosesi pemakaman saudara kita yang mendahului menghadap Tuhan robbul alamin, ingatlah bahwa kita tidak sedang menyaksikan proses menanam bibit pohon atau bangkai hewan, kita tidak sedang menghadiri upacara penanaman peletakan batu pertama sebuah bangunan, akan tetapi saat itu kita sedang mengantarkan saudara kita menghadap Tuhan.

Lubang itu hanya simbol pengembalian diri ke sumber asal penciptaan, hakikat yang sesungguhnya dari prosesi pemakaman itu adalah kita sedang mengantarkan saudara kita yang sedang menuju keharibaan Tuhan, kehadiran kita tentunya memberi persaksian dan support moral-religius, agar perjalanannya damai dan indah.

Baca Juga  Tutup Usia, Tutup Buku

Ada tata cara yang mengandung nilai moral dan ibadah yang perlu kita budayakan saat kita sedang menjadi bagian dari jamaah pengantar jenazah di atas kuburan, untuk membedakan aktivitas menanam pohon, hewan, dan batu dengan aktivitas memakamkan saudara kita yang mendahului menghadap Tuhan.

Diajak kita oleh para alim ulama sebagai pewaris Rasul saw untuk melafalkan kalimat-kalimat thayibah saat prosesi pemakaman, di samping sebagai etika dan moral, aktivitas melafalkan kalimat thayyibah juga menjadi simbol pemahaman kita, bahwa saat itu saudara kita yang jenazahnya kita antar akan menghadap kepada Tuhan, pantasnya kita antar dengan lantunan kalimat-kalimat indah yang Tuhan sukai.

Baca juga: Memahami Kematian, Menghargai Arti Hidup

Bisa dengan membaca ayat-ayat pendek, bisa dengan membaca selawat kepada baginda Rasul saw, bisa dengan membaca tahlil, atau bisa juga dengan mengajak para pelayat membaca kalimat-kalimat thoyyibah lainnya. Seperti kalimat yang dalam tuntunan hadis Rasul saw, “kalimatani khafifatani ‘alallisani tsaqilatani fil mizan habibatani ilarrahman, subhanallahi wabihamdihi subhanallahil ‘azim”. Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dan disukai Arrahman, subhanallahi wabihamdihi subhanallahil azim.”

Bacaan-bacaan yang dianjurkan untuk kita baca saat prosesi pemakaman, di samping sebagai pembeda dari proses penanaman pada umumnya, juga mengandung unsur pembelajaran diri, bahwa dengan melafalkan kalimat thayibah minimal akan menghilangkan aktivitas firkah-firkah yang tidak etik, menyadarkan jiwa kita bahwa suatu saat kita akan menjalani proses dimakamkan, menasihati diri bahwa ada keluarga duka yang membutuhkan dukungan simpati dan empati, dan mendidik diri sendiri bahwa kita sedang memberi support perjalanan saudara kita menuju keharibaan Tuhan.

Sabda Nabi saw yang begitu populer tentang kematian, penting kita renungkan saat menjadi bagian dari pelayat yang mengikuti prosesi pemakaman. “Kafa bil mauti wa’izha”. Cukuplah kematian itu menjadi pelajaran buat kalian.

Baca Juga  Tuhan pun Berselawat

Belajarlah memahami bahwa kematian itu awal dari perjalanan panjang untuk menerima balasan dari apa yang kita kerjakan selama hidup. Belajarlah memahami bahwa kematian itu memisahkan kita dari kehidupan dunia dengan segala kelezatannya. Belajarlah memahami bahwa kematian itu akhir dari kemampuan melakukan daya dan kekuatan yang selama ini kita miliki.

Baca juga: Menjalani Takdir sebagai Penunggu

Belajarlah untuk memahami rasa sedih yang dialami oleh keluarga yang sedang berduka. Belajarlah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang terjadi, agar sikap dan perilaku kita tidak jauh beda dengan yang seharusnya kita perlihatkan.

Jika kita mau mengambil pelajaran dari kematian itu, maka kita selayaknya menjadi malu apabila kita terlihat tidak ikut dalam duka saudara kita, malu rasanya membentuk firkah-firkah gibah, gunjing, gelak tawa, selfi, dan firkah lainnya di tengah suasana layatan.

Di atas lahan pekuburan—apalagi di saat prosesi pemakaman, merenung tentang kematian adalah yang disunnahkan Rasul saw, sebagai bentuk penyadaran diri bahwa semua kita akan mengalami kematian—cepat atau lambat, dan dengan perenungan itu, kita akan menyadari bahwa kematian itu tidak membungkus semua kesalahan yang kita lakukan selama hidup, maka kita akan senantiasa membuat rencana-rencana indah untuk menjemput kematian kita nanti dalam suasana yang indah pula.[]    


1 komentar untuk “Mendikte Perilaku Saat Melayat”

  1. Ya Allah….naudzubillahi min dzalik 🤲
    Pengingat diri n nasihat untuk para pembaca semua.
    Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmusholihaat 🤲🥰

    Terima kasih ayahanda
    Sehat n berkah selalu bersama keluarga 🤲🤍 aamiin aamiin Allahumma aamiin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *