SELAIN sebagai ekonom, Muhammad Dawam Rahardjo, yang wafat pada 30 Mei 2018, adalah salah seorang tokoh pembaru Islam yang cukup penting di Indonesia. Selama kuliah, saya tidak cukup beruntung bertemu langsung dengannya. Perkenalan saya hanya melalui buku dan tulisan-tulisannya yang melimpah.
Buku Ekonomi Islam: Perspektif Deklarasi Makkah (Mizan, 1992) adalah ‘pertemuan’ pertama saya dengan Mas Dawam, sebuah buku yang lumayan ‘berat’ bagi mahasiswa semester awal, terlebih saya tidak punya dasar ilmu ekonomi. Kendati buku ini tidak semata bicara tentang rumus dan teori ekonomi yang rumit, namun bagi saya yang baru memasuki wacana ilmiah, buku tersebut tetap sulit dicerna. Apalagi ditulis dengan bahasa berat.
Satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan adalah teringat dengan pesan dosen saya, Muh Natsir Mahmud, yang menganjurkan agar tetap membaca satu bacaan tertentu meski kita tidak paham seluruh isinya. Suatu saat, katanya, memori kita akan memanggil hasil-hasil bacaan itu ketika membahas topik yang sama.
Baca juga: Tanda Jejak Buya Syafii
Saya tidak tahu apakah pendapat ini ada dasarnya atau sekadar trik beliau untuk membesarkan hati saya karena gagal memahami bacaan berat. Yang pasti, saran itu cukup ampuh ‘menghasut’ saya untuk lebih bersemangat membaca dan terlibat dalam berbagai aktivitas intelektual di kampus. Saya jadi rajin mendatangi dan menghadiri kajian, diskusi, bedah buku dan sejenisnya.
Keterlibatan Mas Dawam dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan segenap kontroversi yang menyertai kelahiran dan sepak terjang organisasi tersebut, maupun dukungannya terhadap kontroversi gagasan pembaruan Nurcholish Madjid (Cak Nur) akhirnya semakin mengakrabkan hubungan saya dengannya.
Pada tahun 1996, saat saya melakukan penelitian tugas akhir tentang pesantren, saya juga banyak bertemu dengan tulisan-tulisannya tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini. Sebagai pimpinan LP3ES, Mas Dawam memang banyak terlibat dalam proyek penelitian, publikasi, dan pemberdayaan pesantren. Sebuah terobosan yang cukup berjasa dalam memperkenalkan dunia pesantren kepada masyarakat luas.
Jika selama ini pesantren selalu dianggap tertutup dan – seperti kata Zamakhsyari Dhofier, “seolah merupakan gugusan pulau yang terpisah” dari kehidupan sosial, maka Mas Dawam, dkk berhasil menunjukkan bahwa pesantren sejatinya memiliki kekuatan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat sekitarnya.
Selain pernah memimpin majalah “Prisma”, majalah sosial-ekonomi yang berkelas di zamannya, Mas Dawam juga menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Quran (UQ) yang berfokus pada kajian-kajian keislaman yang juga cukup bergengsi.
Baca juga: Buku Itu Mahal Harganya: Tribute untuk Taufik Abdullah
Bagi mahasiswa miskin seperti saya, dan di tengah kelangkaan bacaan bermutu di zaman kuliah, maka membeli dan membaca jurnal itu merupakan sebuah kemewahan. Kendati tidak berlangganan, tapi saya selalu memburu jurnal ini tiap edisinya, bahkan sesekali kami bedah. Mas Dawam sendiri adalah seorang sarjana ekonomi moneter. Namun minatnya cukup luas, ia dikenal sebagai pemamah filsafat, pengkaji Quran yang intens, aktivis LSM, peneliti, pembaru Islam di samping menguasai bidang ekonomi sebagai studi mayornya.
Di jurnal UQ ia secara rutin menulis serial “Ensiklopedia Quran” (yang kemudian dibukukan) yang cukup panjang sekaligus menggambarkan minatnya cukup tinggi pada studi-studi Quran. Meski ia tidak bisa berbahasa Arab maupun membaca kitab kuning, namun hal itu sama sekali tidak menghalanginya memperdalam studi Quran.
Dengan bekal ilmu-ilmu sosial yang dimilikinya, terutama ilmu ekonomi, ia dengan leluasa membahas aneka topik sosial, ekonomi dan politik dengan bertolak dari perspektif Quran. Ini yang kemudian melahirkan keunikan tersendiri dibandingkan pembahasan tafsir Quran secara konvensional.
Seperti kata Syekh Abdullah Darraz, Quran itu bagaikan permata yang bisa memantulkan cahaya dari tiap sudutnya. Seorang intelektual ‘sekuler’ dan aktivis sosial seperti Mas Dawam tentu akan menangkap pesan-pesan kitab suci dengan cara berbeda dari ahli-ahli tafsir konvensional, dan hal itu sah adanya.
Dengan latar belakang dan rekam jejak yang beragam, maka pikiran dan sepak terjang Mas Dawam juga terlihat unik. Dia dikenal sebagai pemikir sosial-ekonomi yang tangguh, pembaru Islam yang ‘galak’, sekaligus aktivis LSM yang kritis.
Ada saatnya dia mengambil posisi pro terhadap kekuasaan sehingga terkesan terkooptasi, tapi di waktu lain, ia menampilkan diri sebagai pejuang kebebasan, HAM, dan demokrasi. Dukungannya terhadap gagasan sahabatnya Cak Nur tentang “Islam Yes, Partai Islam No?” dianggap sebagian kalangan Islam sebagai upaya menggembosi aspirasi politik Islam.
Kendati begitu, Mas Dawam juga menyimpan kegelisahan atas dominasi teori-teori modernisasi dalam konteks pembangunan di bawah rezim Orde Baru, termasuk yang mempengaruhi gagasan Cak Nur. Untuk itu dia menawarkan pendekatan yang lebih transformatif.
Belakangan, kritik yang sama juga muncul dari sejumlah intelektual muslim lainnya seperti Mansour Fakih dengan “Teologi Kaum Tertindas”, Moeslim Abdurrahman “Islam Transformatif” , Kuntowijoyo “Ilmu Sosial Profetik”, Masdar F. Mas’udi “Teologi Populis”, dan Habib Chirzin (“Teologi Perdamaian”).
Namun, ketika mendukung kelahiran ICMI, dia malah dituduh terperangkap dalam jebakan primordialisme sempit. Dalam kasus ICMI pula relasi Mas Dawam dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) khususnya terlihat sangat berjarak. Keduanya berbeda pendapat dalam menyikapi keberadaan organisasi cendekiawan tersebut. Bagi Gus Dur, ICMI merepresentasikan semangat politik aliran yang bisa mengancam demokrasi sekaligus bentuk kooptasi negara atas kekuatan masyarakat sipil.
Sedangkan bagi Mas Dawam, penguatan ekonomi, politik dan posisi tawar umat Islam, antara lain melalui wadah itu, justru diperlukan untuk menjaga keseimbangan serta memperkecil kesenjangan ekonomi. Sebagai mayoritas, maka perbaikan ekonomi kaum muslim justru akan menguntungkan Indonesia secara keseluruhan.
Begitulah. “Cara pembacaan” terhadap Islam maupun realitas kaum muslim itu tidak tunggal. Perbedaan perspektif tersebut membentangkan banyak pilihan perjuangan dan strategi bagi generasi muslim dalam memaknai dan memperjuangkan aspirasi Islam.
Baca juga: Sumur Ilmu dari Amin Abdullah (1)
Sebagai pemikir dan pembaru Islam tentu saja gagasan dan langkah Mas Dawam menimbulkan kontroversi. Kadang harus melawan arus utama, khususnya dalam isu-isu sensitif seperti tuduhan sebagai pendukung paham “sipilis” (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) oleh MUI dan beberapa kelompok Islam.
Tapi bagi saya, kontroversi semacam itu kadang tidak terhindarkan bagi seorang pemikir dalam menyampaikan gagasan-gagasanya. Memilih sikap diam atau mengambil pilihan aktif menyuarakan gagasan di ruang publik sama-sama punya konsekuensi. Selama perbedaan itu disampaikan secara santun, jernih, dan ilmiah justru akan menciptakan iklim dan pelembagaan tradisi intelektual yang sehat. Publik dipersilakan memilih gagasan yang sesuai berdasarkan argumentasi, data, dan rasionalitas masing-masing.
Sebaliknya, jika perbedaan itu disikapi secara emosional, apalagi dengan hujatan, tentu publik tidak dapat mengambil manfaat apa pun. Kita merindukan model polemik Imam Al-Ghazali versus Ibnu Rusydi tentang kontroversi filsafat, atau minimal ala Soekarno versus M. Natsir, dkk tentang Islam dan dasar-dasar negara yang disampaikan secara anggun dan berkelas. Lebih asyik, bukan?[]
Ilustrasi: Tribunnews.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.