KEBIASAAN yang menjadi rutinitas harian atau mungkin mingguan, tak jarang berubah menjadi hobi, bahkan lama kelamaan naik status menjadi penciri yang melekat pada diri.
Bila kita perhatikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakoni oleh kawan, sahabat, teman, atau mungkin kita sendiri, betapa banyak dari kebiasaan itu berubah menjadi amalan yang sulit ditinggalkan, bahkan menjadi sesuatu yang menempel pada perilaku.
Jika kebiasaan itu berkaitan dengan ritual keagamaan dan menjadi amalan harian kita, maka sungguh merupakan keberuntungan besar, akan tetapi bila kebiasaan itu membuat kita lupa atau bahkan menjauhkan kita dari ritual syariat agama, maka sungguh menjadi kerugian besar terutama bagi kita-kita yang sudah menapaki usia senja.
Baca juga: Resolusi Diri dalam Pergantian Tahun
Penting bagi kita untuk mengontrol kebiasaan yang telah terjalankan cukup lama dalam kehidupan kita, siapa tahu kebiasaan itu hanyalah permainan yang kesenangan dan bahagianya hanya dirasakan sampai di telinga dan mata, tidak sampai ke dalam hati dan pikiran.
Sadarilah bahwa kita tidak hanya memiliki organ fisik, tetapi juga psikis. Kebiasaan-kebiasaan untuk kesenangan fisik boleh kita nikmati, tetapi jangan sampai lupa melakukan kebiasaan untuk kedamaian psikis. Terus terang, jika kita amati dengan serius, hingga memasuki usia senja, kebiasaan yang kita jalankan masih didominasi oleh kesenangan fisik.
Kini tahun 1443 Hijriah hampir sampai di ujung senja, dan tahun 1444 Hijriah sudah mengintip senja yang akan tergulung, untuk memunculkan wajahnya menjadi tahun yang baru. Pada momen inilah, sesungguhnya titik kesadaran kita menemui pemantiknya untuk bangkit menjadi manusia terbarukan.
Dan bila kesadaran untuk harus berubah telah terasa, walaupun hanya sekedar secercah percikan di hati dan pikiran, sungguh itu merupakan keberuntungan besar yang harus segera disikapi bil hal yakni evaluasi diri, menyemat ikhtiar untuk memperbaiki yang kurang, dan tentunya diiringi pula dengan rencana indah untuk menjadi manusia terbarukan—melakukan kebiasan-kebiasaan yang baik dan lebih pantas.
Sebagai rasa syukur dan terima kasih bahwa diri ini masih berkesempatan berada di lempengan waktu dalam momen pergantian tahun, maka kita harus berkomitmen terhadap diri sendiri, untuk menelisik kebiasaan-kebiasaan yang mungkin tidak sesuai lagi dengan ritme usia kita saat ini.
Hitunglah usia kita yang sudah habis dikerat oleh detik sambil membaca kebiasaan-kebiasaan yang mengiringinya, lalu teroponglah lorong waktu yang akan kita lalui sambil merenungkan kebiasaan yang pantas. Kita tidak boleh stagnan pada kenikmatan kebiasaan masa muda yang santai, yang lalai, yang main-main, dan yang hura-hura.
Ingatlah, bahwa orientasi hidup yang Tuhan canangkan untuk kita dari dulu sampai nanti adalah orientasi duniawi dan ukhrawi. Nabi saw memberi petuah melalui hadisnya agar kita dapat mengelola kebiasaan hidup yang seimbang antara dua orientasi itu.
“i’mal liduniyaka kannaka ta’isyu abadan, wa’mal liakhiratika kannaka tamutu ghadan”. Berbuatlah untuk orientasi duniamu seakan engkau hidup selamanya, dan berbuatlah untuk orientasi akhiratmu seakan engkau wafat besok pagi.
Kita boleh memiliki kebiasaan masa muda yang barangkali telah menjadi hobi yang sulit untuk ditinggalkan, akan tetapi alangkah indahnya apabila kita memanfaatkan momen pergantian tahun untuk menambah kebiasaan baru, yang orientasinya bukan hobi, namun “kesadaran” bahwa usia ini berjalan menuju titik lanjut.
Semakin usia kita bergerak ke depan, maka kita akan semakin dekat dengan masa untuk kembali ke asal, kitalah yang mesti tahu kebiasaan apa yang pantas, jangan sampai terlena dengan menghabiskan masa hidup ini dengan kebiasaan yang hanya menjadi hobi.
Perlu kita merenung sejenak, bahwa hari-hari yang kita lalui tidak ubahnya seperti membuat karya tulis, dan setiap momen pergantian tahun adalah momen untuk membaca ulang karya yang telah kita tulis 360 halaman, kita edit dan kita melanjutkan kembali menorehkan ide-ide cemerlang untuk setahun berikutnya.
Bagi kita yang telah berusia senja, saatnya untuk menorehkan catatan-catatan ketaatan dan kesalehan, mulailah kita imbangi kebiasaan-kebiasaan yang menjadi hobi dengan membiasakan diri melakukan aktivitas orang-orang taat dan saleh.
Dalam konsep syariat agama, bahwa kondisi yang kita ciptakan di akhir pengkhidmatan hidup, akan menentukan kondisi yang akan kita terima di hadirat Tuhan nanti. Bahasa Nabi saw, “Bikhawatimiha”, tergantung pada amal penutupnya.
Marilah kita sadari, soal kebiasaan-kebiasaan diri masing-masing, mulai dari kebiasaan harian, mingguan, bulanan, hingga kebiasaan tahunan, untuk memastikan bahwa kita telah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang pantas di usia kita yang sudah beranjak senja.
Baca juga: Pergantian Tahun: Momen Menemukan Titik Sadar
Sangat baik bila kita renungkan apa yang ditulis Imam Nawawi di dalam kitab Al Arba’in An Nawawiyah, bahwa ada seorang hamba yang jarak dirinya dengan neraka tinggal satu jengkal, “hatta bainahu wabainannar illa dzira’.”, akan tetapi di penghujung hidupnya “ya’malu bi’amali ahlil jannah”, dia melakukan kebiasaan yang dilakukan oleh penghuni surga, maka Tuhan mengampuni dan memasukkannya ke dalam surga.
Kita tidak pernah tahu ujung dari kehidupan ini, karenanya ikhtiar untuk melakukan kebiasaan–kebiasaan baik setiap saat dan setiap waktu di usia senja adalah keniscayaan.
Andai tiba-tiba kita harus kembali ke asal, maka kita sudah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang pantas, tentunya dengan bermodal keyakinan bahwa “Wa lal-ākhiratu khairul laka minal-ụlā”. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang. (QS. Ad Dhuha ayat 4).[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram