MESKI saya bukanlah penggemar berat sepak bola, apalagi fans fanatik salah satu klub, namun tergerusnya nasionalisme saat ini, menurut saya, mirip dengan kekalahan FC Barcelona dari Real Madrid di Camp Nou pada leg pertama tahun 2017.
Gara-gara keasyikan menyerang, Messi dkk, malah menelan kekalahan pahit 1-3 dari rival abadinya tersebut. Sayangnya, ketika bertandang di kandang lawan pagi besoknya, punggawa FC Barcelona tambah babak belur ditekuk 2-0 tanpa balas, meski skuat Zidane tampil tanpa Ronaldo akibat akumulasi kartu. Di luar dugaan, serangan balik skuad anak asuh Zidane tersebut menyebabkan lini pertahanan El Barca kocar-kacir.
Berkali-kali, tim Catalan tersebut kewalahan mengantisipasi teror yang dilancarkan tim Ibukota. Ketika para punggawa El Barca asyik mengepung, entah mengapa lini belakang Real Madrid selalu berhasil lolos dari kemelut, dan tiba-tiba pemain belakangnya melesakkan bola jauh ke jantung pertahanan El Barca.
Baca juga: Akar-Akar Harmonisasi Kemanusiaan di Indonesia
Mendapat distribusi bola seperti itu, Benzema, Romario dan Ronaldo dengan speed yang dimilikinya berhasil membalikkan keadaan. Akibatnya, Messi dan Suarez kelimpungan mengejar dan mengantisipasi serangan balik itu. Apalagi sejak kepergian Neymar, praktis keduanya kehilangan ketajamannya. Hasilnya, kelengahan itu berhasil dikonversi menjadi gol-gol cantik nan memukau.
Mirip dengan “kutukan” atas El Barca tersebut, menguatnya politik identitas dewasa ini merupakan buah dari kelengahan kita akibat euforia reformasi. Di masa-masa awal reformasi dulu, semangat menggebu-gebu untuk segera keluar dari kepengapan politik rezim otoriter Orde Baru mengakibatkan kita semua – erutama pemerintah – lupa mengawasi “pintu belakang” rumah kita.
Akibatnya, kala semua orang bersorak kegirangan dan berpesta, ketika kita sibuk dengan berbagai kontestasi untuk mengekspresikan dan merayakan kebebasan, kita abai, bahwa di tengah kemeriahan pesta itu ada “penyusup” yang hendak mengacaukan suasana. Kita lengah bahwa selalu ada “penumpang gelap” yang memanfaatkan situasi.
Sialnya, ketika ada yang berupaya merusak pesta itu barulah kita sadar. Ketika tiba-tiba ada yang bernada tinggi kala yang lain bernada rendah, barulah kita sadar bahwa ada pembuat onar yang merusak harmoni orkestra keindonesiaan kita. Kita terkaget-kaget begitu mengetahui banyak pelajar yang menyatakan Pancasila sudah tidak relevan dengan zaman kini.
Baca juga: Tikar Kebangsaan yang Masih Harus Dianyam
Kita terhenyak dengan hasil survei bahwa banyak masyarakat yang menyatakan setuju dengan tindakan kekerasan dalam ekspresi keagamaan. Kita kaget karena ternyata empat juta orang kita secara terbuka menyatakan mendukung ISIS. Kita tercenung kala pergerakan organisasi radikal ISIS sudah sampai di Marawi, Filipina Selatan, yang radiusnya tinggal selemparan baru dari halaman rumah kita.
Kita baru sadar, setelah mengetahui warga kita menjadi pentolan maupun pelaku bom bunuh diri. Kita baru tercenung ketika para pengusung ideologi radikal itu menyerang dan membunuh sesama muslim, bahkan ketika saudaranya sedang beribadah dalam rumah ibadah!
Sekarang, kala sikap patriotik dan nasionalisme itu nyaris terjun bebas, barulah kesadaran itu muncul. Tiba-tiba saja kita merasakan aura dan marwah kebangsaan itu telah lama hilang dari ruang-ruang kebangsaan kita. Barulah kita menyadari makna pentingnya penataran P4, pelajaran PMP, PSPB, Kewiraaan, Wawasan Nusantara, Widyamandala dan lain-lain itu.
Begitu pula lagu-lagu nasional dan perjuangan yang hari-hari ini terasa asing di telinga kita. Meski berbagai pelajaran kebangsaan itu kini sudah berganti kemasan menjadi IPS Terpadu, PPKN atau Kewiraan, namun jelas gaungnya terasa hambar, bahkan mati rasa. Pelajaran-pelajaran itu telah kehilangan ruhnya, ia seolah sekadar pelengkap penderita dari ornamen dunia pendidikan.
Karena kesadaran akan pentingnya ke-bhinekatunggalika-an itu baru muncul sekarang, maka mengembalikan perasaan nasionalisme yang sudah lama tergerus itu bukanlah hal mudah. Di sana-sini masih terjadi distorsi. Dalam ajang berbagai perlombaan menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus misalnya, saya nyaris tidak mendengar lagu-lagu perjuangan itu diperdengarkan oleh panitia di tempat pelaksanaan acara.
Sebaliknya, acara hiburan malah diisi dengan orgen tunggal dengan tembang-tembang dangdut koplo seperti “Sakitnya Tuh di Sini”, “Menunggu” dll. Malah pernah ketika anak-anak Pramuka lewat di depan rumah, hendak mencari kayu api unggun di hutan, sang guru menyetel lagu “Aku hamil duluan…sudah tiga bulan…” Waduuuhhhh…
Di Dompu, bukan hanya nasionalisme tapi juga berbagai praktik budaya lokal sudah lama ikut tergerus. Misalnya, berkali-kali saya menyaksikan perayaan ulang tahun anak-anak justru diisi dengan lagu-lagu dewasa beraroma seks. Meski acaranya anak-anak dan dihadiri para bocah, tapi nyaris tidak terdengar lagu anak-anak di acara semacam ini.
Di akhir acara, bahkan kadang diisi goyangan sensual orang-orang dewasa. Sedangkan pertunjukan tarian tradisional seperti “Tarian Bongi Monca”, “Gantau” atau “Mancabaleba” kini nasibnya – seperti bunyi iklan motor Yamaha – “nyaris tidak terdengar”.
Kendati kini kita hidup dalam – meminjam istilah seorang penulis India – “abad kebencian”. Namun, hemat saya kita belum terlambat untuk memulai, yakni merajut kembali benang-benang nasionalisme yang terkoyak maupun budaya lokal yang telah tergerus itu.
Baca juga: Menilik Narasi Gerakan Politik Islam Indonesia
Betapa pun, menghadapi terjangan air bah dan turbulensi globalisasi, kita semakin merasakan pentingnya untuk saling berpegangan tangan dan menguatkan diri sebagai satu bangsa. Maka, sikap respek dan saling kerja sama adalah salah satu kunci hidup di tengah bangsa besar dan majemuk ini. Berhentilah bersikap nyinyir dan meremehkan sesama anak bangsa.
Sebab, jika euforia kebebasan itu terus dituruti, saya khawatir bangsa ini akan terkena “kutukan” ala FC Barcelona itu: kita asyik saling melecehkan dan menyerang orang lain, tetapi tanpa sadar bahwa kita semua – para penumpang “kapal” Indonesia itu – sesungguhnya sedang karam menuju dasar samudera. Kita semua sedang menuju tiang kematian![]
ilustrasi: detik.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.