Menilik Sisi Lain Agama

Judul Buku      : When Religion Becomes Evil: Five Warning Signs
Penulis             : Charles Kimball
Penerbit           : Harper Collins E-books
Halaman          : 280 Halaman

 

AGAMA adalah salah satu sumber kekuatan yang paling berpengaruh terhadap cara pandang para pengikutnya dalam bertindak sehari-hari. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan manusia seperti bermasyarakat, berpolitik, dan bernegara.

Selain itu, agama juga merupakan petunjuk dan jalan menuju Tuhan (straight path to the heaven), sehingga agama memiliki standar kebenaran terhadap nilai kebaikan dan keburukan dalam menuntun umatnya. Namun, kehadiran agama dalam sejarah kehidupan umat manusia juga diwarnai dengan berbagai sisi kegelapan karena beberapa kisah dan peristiwa kelam dalam sejarah kehidupan manusia juga banyak ditemukan atas dorongan dan internalisasi ajaran agama.

Di antaranya, kekejaman otoritas agama terhadap para ilmuwan di abad kegelapan (dark ages), Perang Salib, penyerangan gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon, bahkan beberapa peristiwa teror dan kekerasan atas nama agama yang sering terjadi di berbagai negara, seluruhnya merupakan hasil dari interaksi manusia dengan agama. Kesemuanya seolah menyiratkan bahwa agama merupakan salah satu sumber kekacauan dan kejahatan (evil).

Baca juga: Potensi Kekerasan yang Bernama Kelembutan

Kimball, dalam bukunya menilai setidaknya ada lima tanda peringatan (five warning signs) mengapa agama berpotensi menjadi trigger factor atau pemicu terjadinya tindakan kejahatan dan kekerasan. Kimbal menyebutnya sebagai “the red flag”, antara lain:

Klaim Kebenaran Mutlak (Absolute Truth Claim)

Tanpa klaim kebenaran, agama tentu sulit memiliki pengikut, eksis, dan bertahan. Namun, ketika klaim kebenaran bersifat mutlak, maka saat itulah agama berubah menjadi bencana. Hal senada juga disampaikan oleh Charles Kimball (2002) yang menyebutkan bahwa pada prinsipnya kebenaran tidak dapat dipisahkan dari agama sama sekali. Dikatakan demikian karena memang terbukti dari beberapa kasus kekerasan atas nama agama yang bersumber dari tuntutan dan perjuangan atas kebenaran.

Menurut Kimball, ada banyak contoh faktual untuk menggambarkan klaim kebenaran mutlak. Salah satunya yang dikemukakan Kimball adalah berbagai tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh ekstremis muslim di seluruh dunia.

Klaim kebenaran mutlak tergambar jelas dalam tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama tersebut. Menurutnya, tidak mungkin mereka rela mengorbankan diri dan orang-orang yang tidak bersalah, tanpa klaim kebenaran yang mutlak (Kimball, 2002, h.62-63).

Menanggapi hal ini, Kimball menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat tentang kebenaran agama yang dianutnya sebenarnya sah-sah saja, bahkan seharusnya seperti itu selama mereka dinamis dan rasional dalam memahami agamanya, dan tidak terjebak dalam pemikiran yang sempit dalam memaknai kebenaran.

Apabila klaim kebenaran mutlak itu terkunci, tidak fleksibel, dan terbatas, maka akan lahir orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai perpanjangan “tangan Tuhan” untuk membenarkan tindakan kekerasan atas nama agama. Orang seperti ini biasanya akan lebih berani melakukan tindakan kekerasan atas agama (Kimball, 2002, h.80).

Ketaatan Buta (Blind Obedience)

Ketaatan buta, menurut Kimball (2002), merupakan poin penting di mana agama sering menjadi titik balik menjadi pemicu kekerasan. Gejalanya biasanya berupa hadirnya pemimpin keagamaan yang karismatik dan memiliki pengikut yang fanatik, yaitu pengabdian secara total dan buta terhadap pemimpinnya. Ketaatan buta ini sampai pada tingkat yang paling ekstrim seperti menutup peluang bagi kebebasan berpikir dan kritis.

Baca juga: Kekacauan dalam Agama, Mengapa Terjadi?

Baca Juga  Mawar Merah Darah dan Perayaan Studio Kita

Dalam tradisi hampir semua agama-agama di dunia, gejala ini biasanya dapat ditemukan pada kelompok agama yang dikenal sebagai sekte di mana pemimpin agama memiliki power dan selalu ditaati secara total. Ketaatan total ini, oleh Kimball, dinilai merupakan tanda bahaya dalam agama, di mana agama saat itu dapat dengan mudah menjadi kekuatan untuk berbagai jenis kekerasan dan kehancuran

Kimball di sini melihat bahwa agama dapat dengan mudah menjadi alat untuk kekerasan dan kehancuran ketika orang menyerahkan tanggung jawab pribadi dan tunduk pada otoritas seorang pemimpin karismatik atau menjadi budak ide-ide tertentu atau doktrin.

Kimball juga menegaskan  bahwa ketika seorang pemimpin agama memiliki kekuatan besar atas pengikutnya, selalu ada potensi bahaya, karena di situ ada potensi yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan provokasi dan menggerakkan para pengikutnya.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri faktor ini, Kimball menekankan bahwa kemungkinan suatu agama atau gerakan keagamaan menjadi penyebab kekerasan dapat terhindarkan apabila kebebasan berpikir dihormati dan prinsip kejujuran ditegakkan antara seorang pemimpin keagamaan dan para pengikutnya (Kimball, 2002, h.99-100).

Membangun Kehidupan yang Ideal (Establishing The “Ideal” Time)

Membangun kehidupan sosial yang ideal sebenarnya dianggap wajar sebagai cita-cita semua agama. Cita-cita tersebut biasanya bersifat eskatologis, di mana kehidupan yang ideal dan bahagia akan berada dan dinikmati oleh pemeluk agama yang taat setelah meninggal yaitu di surga.

Namun, ada sejumlah kelompok agama yang mendambakan kehidupan ideal ini di dunia. Mereka percaya bahwa kehidupan dunia saat ini secara umum telah rusak dan jauh dari cita-cita mereka.

Pada tingkat ini, imajinasi yang mereka bangun tentang kehidupan ideal sebenarnya masih wajar, meski mereka biasanya cenderung terisolir dari kehidupan luar. Imajinasi tentang kehidupan yang ideal itu akan meningkat menjadi masalah apabila ketika mereka kemudian memaksakan cita-cita tersebut pada orang lain.

Dengan mengklaim bahwa mereka mewakili kehendak Tuhan untuk membangun sebuah sistem yang ideal itu “theocratic state”. Di sinilah agama menjadi titik terjadinya kekerasan dan perselisihan.

Kimball menyatakan bahwa upaya untuk mewujudkan “ideal time” oleh kelompok agama sebenarnya merupakan ilusi yang tidak dapat diwujudkan. Mereka yang mencoba mengubah struktur politik negara menjadi negara teokratis sambil mengaku sebagai wakil dan kehendak Tuhan adalah sosok yang berbahaya dalam sebuah agama.

Baca Juga  Menjaga Eksistensi Islam
Membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan (The End Justifies Any Means)

Menurut Kimball, manifestasi nyata yang menandai tanda bahaya keempat adalah ketika agama mempertahankan “tempat suci” masing-masing, karena setiap agama memiliki doktrin bahwa memelihara “tempat suci” adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan. Oleh karena itu, semua pemeluk agama wajib mempertahankan ‘kesuciannya’ (Kimball, 2002, h.140-141).

Dan biasanya untuk mempertahankan tempat suci tersebut, pemeluk suatu agama akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya, termasuk kekerasan karena itu perintah agama.

Baca juga: Gerakan Moderasi Beragama

Kimball melihat bahwa banyak penganut agama yang kehilangan fokusnya sehingga hanya memikirkan bagaimana cara untuk mencapai tujuannya. Mereka menjadi pemilik klaim kebenaran tunggal dan fanatik buta untuk mencapai tujuan ini, dan ini sangat berbahaya bagi umat manusia secara global.

Menyerukan “Peperangan Suci” (Declaring for “Holy War”)


Dalam hal ini, Kimball menyatakan, bahwa agama akan menjadi bencana ketika agama membenarkan peperangan melawan agama lain, biasanya hal tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa agama lain sesat dan pemeluk agama lain adalah sosok jahat yang pantas dikutuk dan dimusnahkan.

Panggilan untuk peperangan suci yang bersumber dari kesalahan tafsir kitab suci inilah yang terbukti menjadi pemicu berlarut-larutnya konflik antarumat beragama hingga saat ini. (Kimball, 2002, h.169).

Menurut Kimball, menyatakan perang sebagai sesuatu ‘panggilan suci’ atas perintah agama merupakan pemahaman agama yang keliru. Kimball menolak segala pemahaman yang membenarkan tindakan kejahatan yang mengatasnamakan agama karena agama seharusnya menjadi sumber perdamaian dan keadilan (Kimball, 2002, h.196).

Dalam Islam, istilah ‘perang suci’ identik dengan kata ‘jihad’. Kimball menjelaskan panjang lebar dan mengutip berbagai referensi dari para pemikir Islam, tentang arti sebenarnya dari ‘jihad’. Antara lain, Kimball menulis bahwa meskipun dalam al-Qur’an ada ayat yang menyeru umat Islam untuk memerangi orang-orang yang menyerang Islam.

Ada juga ayat-ayat yang menyerukan perdamaian, misalnya QS 8:61, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Oleh karena itu, Kimball sebenarnya ingin mengatakan bahwa agama bukan merupakan sumber kekacauan dan perselisihan, tetapi potensi agama menjadi faktor pemicu terjadinya kejahatan memang sangatlah besar.

Ketika para pemeluk agama memahami agamanya secara eksklusif dan fanatik seperti lima tanda peringatan (five warning signs) di atas, di situlah potensi agama berubah menjadi kekacauan dan kekerasan komunal dalam masyarakat.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *