Cukuplah Kita Menjadi Beban Tuhan

KEHIDUPAN yang alamiah itu ada pasang surutnya, ada saat di mana kita nyaman, tetapi ada pula saat di mana kita harus merasa terbebani.  Saat berada pada masa-masa tersulit dalam hidup, ambisi kita biasanya bergejolak untuk harus diketahui oleh semua orang.

Mungkin kondisi itu yang dinamakan pergumulan dalam hidup, sebuah tahapan yang pasti dialami oleh setiap manusia, karena sifat dari kehidupan ini fluktuatif.

Perjalanan kehidupan yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan dan harapkan, kadang tiba-tiba terjadi, akan tetapi tidak harus membuat kita kehilangan kontrol.

Di saat-saat seperti itulah kita harus pandai-pandai mencari sandaran yang tepat untuk memasrahkan semua hal yang kita rasakan. Kekeliruan memilih sandaran akan menuai kekecewaan dan penderitaan yang panjang.

Baca juga: Menjadi Orang yang Pantas

Dalam satu hadis, Rasulullah saw memberi petuah agar kita benar-benar dapat mengelola kehidupan ini dengan ikhtiar dan usaha maksimal, dalam menjemput jaminan Tuhan atas terpenuhinya segala kebutuhan hidup yang kita jalani. “Wala takunu kalla alan nas”. Janganlah sekali-kali kamu menjadi beban atas manusia lain.

Sekilas hadis di atas seperti statement biasa dari Nabi, tetapi kalau kita renungkan secara mendalam, kita akan menemukan pemahaman bahwa hadis itu bisa jadi gambaran pernyataan dari ketersinggungan Tuhan atas perilaku hamba-Nya yang bergantung kepada manusia, sehingga manjadi beban bagi saudaranya.

Tuhan tidak miskin dan tidak lemah, maka sebesar apa pun beban makhluk, Tuhan masih mampu menampungnya. Tuhan masih mampu memberikan solusi yang sesuai kebutuhan hamba-Nya. Hanya saja terkadang seorang hamba meminta sesuatu yang tidak sesuai kebutuhan, tetapi standar permintaannya adalah keinginan.

Menjadi beban sesama manusia itu suatu sikap yang tidak pantas, sekalipun sekilas terlihat menolong, akan tetapi jika seluruh kehidupan disandarkan kepada orang lain, apakah dia teman, sahabat, famili, atau apalah namanya, maka tindakan itu dalam konsep agama adalah membebani.

Baca Juga  Ramadhan: Berdamai dengan Diri Sendiri

Melepaskan diri dari ikhtiar sebagai hamba yang hidup dengan menyandarkan seluruh kehidupan kepada manusia lain, maka akan menjadi beban, baik itu beban pikiran, beban perasaan, beban fisik,  beban menafkahi, dan pada akhirnya akan menjadi beban kehidupan.

Kita harus optimis dengan Tuhan yang Maha Bertanggung jawab, bahwa apa yang kita sandarkan kepada manusia, usahakan sekenanya saja, akan lebih baik bila kita sandarkan kepada Tuhan, karena Dialah pemilik kehidupan ini, maka Dia pasti telah menyiapkan segala yang diperlukan oleh kita yang diberi kesempatan untuk hidup.

Mustahil Tuhan melepas tanggung jawab terhadap makhluk yang Dia ciptakan. Tuhan menciptakan manusia bersama dengan rezekinya, bukan diciptakan bersama dengan hutang dan penderitaannya.

Meminta bantuan dan pertolongan kepada sesama manusia terkait keperluan dan hajat, boleh saja kita lakukan, sebatas ikhtiar yang menandai bahwa kita serius menginginkannya. Tetapi ingat, jangan sampai kita berpasrah secara totalitas tanpa usaha dan penyerahan kepada Tuhan, karena hal itu sama saja dengan membebani orang lain.

Berkeluh kesah kepada kawan atau sahabat tentang kehidupan yang belum memihak kepada kita adalah hal yang wajar, akan tetapi melibatkan orang lain dalam beban material yang kita keluh kesahkan adalah membebani. Keluh kesah hanya sebatas berbagi, setelah itu libatkanlah pemilik kehidupan ini untuk membantu dan memberi solusi yang tepat dan wajar.

Baca juga: Malu, Ciri Manusia Hidup

Meminta perhatian dan simpati kepada orang lain atas realita kehidupan yang kita alami—yang mungkin pahit adalah pantas sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, akan tetapi memasrahkan diri dan seluruh urusan kehidupan kita kepada orang lain adalah tindakan tidak wajar, dan sikap itu bagian dari membebani orang lain.

Baca Juga  Menyadari Betapa Tuhan Sangat Ramah

Permintaan perhatian dan  simpati orang lain hanya kita posisikan sebagai penopang psikis agar tidak rapuh, selebihnya jangan sampai kita abai dari permintaan perhatian dan simpati Tuhan.

Menjadi beban orang lain dengan memasrahkan secara total semua urusan hidup yang kita rasakan, kata sebagian ulama sama maknanya dengan memaksa Tuhan untuk melupakan kita dalam semua urusan hidup yang kita jalani.

Artinya, bila dalam permasalahan hidup yang kita alami, kita pasrahkan dan bebankan secara total kepada selain Tuhan, itu semakna dengan melupakan Tuhan.

Tuhan masih cukup kuat untuk dibebani oleh kita-kita dalam segala permasalahan hidup yang kita jalani, maka janganlah kita membuat pesaing Tuhan dalam urusan ini.  

Penting kita camkan firman Tuhan dalam surat Al Hasyr ayat 19, “Wa lā takụnụ kallażīna nasullāha fa ansāhum anfusahum”. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Tuhan, lalu Tuhan menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri.

Ayat ini secara awam kita pahami sebagai salah satu bentuk ketersinggungan Tuhan atas hamba-Nya yang memasrahkan kehidupannya kepada sesama atau kepada orang lain, dengan mengabaikan Tuhannya yang Maharamah.

Mari kita berhati-hati dalam menyikapi kehidupan kita sendiri, kita harus cerdas dan cermat melihat ruang-ruang solusi, seperti ruang ikhtiar dan ruang dialog dengan Tuhan, yang barangkali selama ini ruang-ruang solusi tersebut belum kita maksimalkan dan belum kita yakini dengan sepenuh hati.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *